
Sektor perbankan, sebagai tulang punggung ekonomi digital modern, kini menghadapi ancaman siber yang semakin canggih dan sulit dideteksi. Dengan nilai data sensitif yang luar biasa besar dan ketergantungan yang kian mendalam pada teknologi digital, bank menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kejahatan siber. Seiring dengan peningkatan volume transaksi digital yang pesat, muncul pula fenomena kejahatan siber berbasis kecerdasan buatan (AI) yang terus berevolusi, menembus batas-batas keamanan tradisional. Salah satu ancaman paling menakutkan yang kini menghantui industri ini adalah teknologi deepfake, sebuah manipulasi AI yang mampu menciptakan konten audio-visual yang sangat realistis namun sepenuhnya palsu.
Bayangkan skenario horor ini: Anda menerima panggilan video dari atasan langsung Anda, sosok yang Anda kenal baik. Dengan wajah dan suara yang begitu asli, ia menginstruksikan Anda untuk segera mentransfer sejumlah besar dana ke rekening tertentu, mungkin dengan alasan mendesak terkait proyek rahasia atau masalah mendadak. Tanpa ragu, Anda mematuhi instruksi tersebut. Namun, dalam hitungan jam, dana tersebut lenyap tak berbekas. Investigasi kemudian mengungkap fakta yang mengejutkan: atasan Anda tidak pernah melakukan panggilan tersebut. Apa yang Anda alami adalah hasil manipulasi teknologi deepfake yang sempurna, sebuah ilusi digital yang dirancang untuk menipu dan merugikan.
Cerita seperti ini, yang dulu mungkin hanya ada dalam fiksi ilmiah, kini bukan lagi sekadar teori atau skenario hipotetis. Menurut Ganda Raharja Rusli, Director of Risk, Compliance, and Legal Allo Bank, ancaman ini telah menjadi kenyataan pahit bagi industri perbankan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Teknologi deepfake telah membuka babak baru dalam perang melawan kejahatan siber, memaksa institusi keuangan untuk merombak strategi pertahanan mereka secara fundamental.
Setidaknya, ada dua jenis deepfake utama yang menjadi ancaman paling serius bagi industri perbankan saat ini, masing-masing dengan modus operandi dan dampak yang merusak:
1. Penipuan Berbasis Voice Cloning: Ketika Suara Asli Menjadi Senjata Baru
Ganda menjelaskan bahwa modus penipuan voice cloning telah menjadi senjata baru yang sangat efektif bagi para penjahat siber. Dengan kecanggihan AI, mereka mampu meniru suara seseorang dengan akurasi yang mencengangkan, bahkan menangkap nuansa, intonasi, dan karakteristik unik dari suara target. Proses ini seringkali hanya membutuhkan sampel suara yang relatif singkat, yang bisa didapatkan dari rekaman publik, panggilan telepon yang direkam secara tidak sah, atau bahkan media sosial. Setelah suara berhasil dikloning, pelaku dapat menggunakan suara palsu ini untuk menelepon target dan memberikan instruksi palsu yang terdengar sangat meyakinkan.
"Voice cloning ini menirukan orang asli dalam bentuk suara. Kasus ini sudah terjadi di luar negeri, malingnya merekayasa suara seorang pemimpin perusahaan menginstruksikan ke bawahannya untuk melakukan transfer. Karena mirip, bawahannya percaya saja. Ternyata bukan (bosnya)," tutur Ganda dalam acara roundtable dengan media tentang ancaman deepfake di kantor pusat Allo Bank, Jakarta Selatan, pada Kamis (17/7/2025).
Dalam skenario perbankan, penipuan voice cloning dapat menargetkan berbagai pihak. Misalnya, penjahat bisa menyamar sebagai direktur perusahaan yang memerintahkan bendahara untuk melakukan transfer dana mendesak, atau sebagai nasabah yang menelepon layanan pelanggan bank untuk meminta reset kata sandi atau otorisasi transaksi. Tingkat realisme suara yang dihasilkan AI membuat deteksi menjadi sangat sulit, bahkan bagi korban yang mengenal suara asli dengan baik. Dampaknya tidak hanya kerugian finansial, tetapi juga erosi kepercayaan terhadap sistem komunikasi digital dan bahkan keraguan dalam interaksi manusia itu sendiri. Bank menghadapi tantangan besar dalam memverifikasi identitas penelpon, terutama dalam sistem layanan pelanggan otomatis atau berbasis telepon.
2. Pencurian Identitas Lengkap dan Manipulasi Video: Ilusi yang Mengancam Keamanan KYC
Jenis deepfake kedua yang tak kalah mengkhawatirkan adalah pencurian identitas pelanggan secara lengkap, bahkan hingga bisa ditampilkan dalam panggilan video dengan wajah dan suara yang mirip. Ini adalah tingkat deepfake yang lebih kompleks, yang melibatkan manipulasi video secara real-time atau pra-rekaman. Teknologi ini memungkinkan penjahat untuk mengganti wajah dan suara seseorang dalam video dengan wajah dan suara orang lain, menciptakan citra yang meyakinkan seolah-olah orang tersebut benar-benar berbicara atau melakukan tindakan tertentu.
"Bahkan seorang pemimpin negara pun bisa dibikin parodi dengan AI video, mulutnya seolah berbicara sungguhan sesuai dengan kata-katanya, bahkan suaranya mirip," Ganda memberikan gambaran tentang kemampuan teknologi ini. "Jadi kalau dulu-dulu kita lihat ini sekadar lucu-lucuan, sekarang digunakan oleh pelaku kejahatan cyber."
Dalam konteks perbankan, ancaman ini sangat relevan dengan proses Know Your Customer (KYC) dan otentikasi biometrik. Bank digital dan lembaga keuangan semakin mengandalkan verifikasi identitas melalui panggilan video atau rekaman wajah untuk pembukaan rekening baru atau otorisasi transaksi berisiko tinggi. Jika deepfake video digunakan, penjahat dapat menyamar sebagai nasabah yang sah, melewati sistem verifikasi identitas yang ada, dan mendapatkan akses ke rekening atau melakukan transaksi yang tidak sah. Ini berarti seseorang bisa membuka rekening atas nama orang lain, mengajukan pinjaman palsu, atau bahkan mengambil alih rekening yang sudah ada. Kecanggihan teknologi ini bahkan bisa membuat "liveness detection" (sistem yang mendeteksi apakah orang di depan kamera adalah manusia hidup atau hanya gambar/video) menjadi tidak efektif jika deepfake mampu meniru gerakan mata, kedipan, atau ekspresi mikro yang alami.
Implikasi yang Lebih Luas bagi Industri Perbankan
Seiring dengan semakin kompleksnya modus penipuan dan pesatnya kemajuan teknologi deepfake, tantangan bagi bank digital menjadi berlipat ganda. Bank digital, dengan karakteristik operasional yang sepenuhnya online, volume transaksi yang tinggi, dan kecepatan layanan yang menjadi keunggulan, secara inheren lebih rentan terhadap serangan siber yang menargetkan identitas digital.
Erosi Kepercayaan Nasabah: Ancaman terbesar dari deepfake bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga potensi erosi kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan digital. Jika nasabah merasa bahwa identitas mereka tidak aman atau bahwa bank tidak mampu melindungi mereka dari penipuan canggih, mereka akan ragu untuk menggunakan layanan digital, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekosistem keuangan digital.
Tantangan Regulasi dan Kepatuhan: Regulator perbankan, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia, akan semakin menuntut bank untuk menerapkan langkah-langkah keamanan yang lebih ketat dan inovatif. Kegagalan dalam mengantisipasi dan mengatasi ancaman deepfake dapat berujung pada sanksi regulasi, denda, dan kerugian reputasi yang signifikan. Bank perlu berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan untuk tetap selangkah lebih maju dari para penjahat.
Biaya Operasional yang Meningkat: Penanganan kasus penipuan deepfake memerlukan investigasi yang kompleks, melibatkan sumber daya manusia dan teknologi yang besar. Proses pemulihan bagi korban juga dapat memakan waktu dan biaya, yang semuanya akan membebani operasional bank.
Strategi Antisipatif Allo Bank: Menyeimbangkan Pengalaman dan Keamanan
Menyadari urgensi ancaman ini, Ganda Raharja Rusli menekankan bahwa bank digital perlu mengadopsi langkah-langkah antisipatif yang seimbang. Ini bukan hanya tentang memperketat keamanan, tetapi juga bagaimana melakukannya tanpa mengorbankan kenyamanan dan kecepatan yang menjadi ciri khas bank digital.
"Bank digital perlu menerapkan strategi optimasi risiko yang mampu menyeimbangkan antara pengalaman nasabah dan aspek keamanan, guna menjaga kepuasan serta loyalitas jangka panjang," ujarnya. Ini berarti bank harus mencari solusi keamanan yang canggih namun transparan bagi pengguna, meminimalkan friksi dalam proses otentikasi, sambil tetap memberikan perlindungan maksimal. Pendekatan ini menuntut inovasi yang berkelanjutan dalam teknologi keamanan, serta pemahaman mendalam tentang perilaku pengguna dan pola serangan siber. Allo Bank, sebagai salah satu pelopor bank digital di Indonesia, berkomitmen untuk terus berinvestasi dalam teknologi keamanan terbaru dan memperkuat kerangka kerja manajemen risiko mereka.
Peran Teknologi Inovatif: Solusi dari Advance.AI
Dalam menghadapi musuh yang tak terlihat ini, kolaborasi antara bank dan penyedia solusi teknologi menjadi krusial. Anggraini Rahayu, Country General Manager Advance.AI, sebuah perusahaan teknologi penyedia solusi keamanan berbasis AI, menyoroti bahwa evolusi teknologi deepfake yang begitu cepat dan dampaknya terhadap sektor keuangan merupakan ancaman serius bagi fondasi utama kepercayaan konsumen dalam perbankan digital.
Advance.AI, misalnya, menyediakan solusi keamanan berbasis AI yang dirancang khusus untuk mendeteksi dan mencegah penipuan deepfake. Solusi ini umumnya melibatkan kombinasi teknologi seperti:
- Deteksi Kehidupan (Liveness Detection): Menggunakan AI untuk menganalisis gerakan mikro wajah, kedipan mata, atau respons terhadap perintah tertentu untuk memastikan bahwa individu yang diverifikasi adalah manusia hidup, bukan gambar atau video yang diputar ulang.
- Analisis Biometrik Multimodal: Menggabungkan verifikasi wajah, suara, dan data biometrik lainnya untuk menciptakan lapisan keamanan yang lebih kuat. Jika ada anomali pada salah satu modalitas (misalnya, wajah asli tapi suara kloningan), sistem akan memberikan peringatan.
- Analisis Perilaku (Behavioral Biometrics): Memantau pola interaksi pengguna (misalnya, cara mengetik, gerakan mouse, kecepatan navigasi) untuk mengidentifikasi anomali yang mungkin menunjukkan aktivitas penipuan.
- Pembelajaran Mesin untuk Anomali: Algoritma AI terus belajar dari data transaksi dan pola penipuan untuk mengidentifikasi perilaku yang tidak biasa atau mencurigakan secara real-time.
Anggraini menegaskan bahwa "Pendekatan keamanan yang proaktif tidak hanya penting untuk melindungi pengguna dari potensi kerugian pribadi, tetapi juga krusial dalam menjaga reputasi institusi keuangan." Ini berarti bank tidak bisa lagi hanya reaktif terhadap serangan, tetapi harus secara aktif mengidentifikasi kerentanan dan menerapkan solusi pencegahan sebelum serangan terjadi. Kemitraan dengan perusahaan seperti Advance.AI memungkinkan bank untuk mengakses teknologi AI mutakhir tanpa harus mengembangkan semuanya dari nol, mempercepat kemampuan mereka dalam beradaptasi dengan lanskap ancaman yang terus berubah.
Masa Depan Keamanan Perbankan Digital
Ancaman deepfake adalah pengingat yang kuat bahwa keamanan siber adalah medan perang yang terus berkembang. Perbankan digital tidak hanya harus melindungi data dan transaksi, tetapi juga harus mempertahankan integritas identitas dan kepercayaan nasabah di era di mana batas antara realitas dan ilusi semakin kabur. Ini menuntut pendekatan multi-lapisan yang mencakup teknologi canggih, kebijakan yang ketat, pendidikan nasabah, dan kolaborasi industri.
Allo Bank, dengan komitmennya untuk menyeimbangkan pengalaman nasabah dan keamanan, bersama dengan dukungan dari penyedia teknologi seperti Advance.AI, berada di garis depan dalam pertempuran ini. Mereka menunjukkan bahwa dengan inovasi berkelanjutan dan strategi proaktif, industri perbankan dapat terus melindungi aset digital dan menjaga kepercayaan publik, memastikan bahwa masa depan keuangan digital tetap aman dan terpercaya bagi semua.
