
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyoroti fenomena "unik" dalam lanskap penyedia layanan internet (ISP) di Tanah Air, di mana investasi cenderung menumpuk di area-area tertentu alih-alih tersebar merata. Kondisi ini, bersama dengan regulasi yang dianggap usang, disinyalir menjadi salah satu penyebab utama lambatnya penetrasi dan kualitas internet tetap (fixed broadband) di Indonesia, yang bahkan tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Dalam sebuah webinar focus group discussion bertajuk ‘Penataan Kesehatan Industri dan Konektivitas Telekomunikasi’ yang diselenggarakan pada Kamis, 3 Juli 2025, Ketua Umum APJII, Muhammad Arif, memaparkan dinamika pertumbuhan jumlah ISP yang kini telah melampaui 1.300 perusahaan anggota. Angka ini mencerminkan tingginya minat dan kemudahan masuk ke industri telekomunikasi, namun juga membawa konsekuensi tersendiri. "Kebanyakan teman-teman ISP ini bergeraknya memang parsial ya, maksudnya di wilayah atau beberapa wilayah saja atau di wilayah mereka masing-masing," ujar Arif. Ia menambahkan bahwa sebagian besar ISP, bahkan lebih dari 60%, memilih untuk beroperasi di kota atau kabupaten asal mereka, atau di wilayah yang secara bisnis dianggap paling menguntungkan.
Fenomena penumpukan investasi ini mengarah pada apa yang Arif sebut sebagai "kesemrawutan industri." Investasi infrastruktur internet, khususnya untuk fixed broadband, membutuhkan biaya yang besar dan perencanaan jangka panjang. Namun, ketika puluhan bahkan ratusan ISP beroperasi di satu kota yang padat penduduk, mereka cenderung bersaing ketat di area "gemuk" tersebut, sementara wilayah lain yang kurang padat atau terpencil justru terabaikan. Ini menciptakan disparitas akses dan kualitas internet yang signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, memperlebar jurang digital. Di satu sisi, konsumen di kota-kota besar mungkin memiliki banyak pilihan ISP, tetapi di sisi lain, kompetisi yang terlalu padat dapat memicu perang harga yang tidak sehat dan mengurangi insentif untuk inovasi atau ekspansi ke area baru.
Dampak langsung dari pola investasi yang tidak merata ini terlihat jelas pada peringkat kecepatan internet Indonesia. Mengacu pada laporan Ookla di Speedtest Global Index Mei 2025, rata-rata kecepatan internet tetap di Indonesia hanya mencapai 34,73 Mbps. Angka ini jauh di bawah rata-rata global dan bahkan tertinggal dari beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam. Padahal, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah menetapkan target ambisius untuk mencapai kecepatan internet tetap 100 Mbps dengan harga terjangkau sekitar Rp 100 ribuan. Target ini, meskipun sangat dibutuhkan untuk mendorong transformasi digital nasional, terasa semakin menantang untuk dicapai di tengah kondisi industri yang ada saat ini.
Arif menjelaskan bahwa pilihan ISP untuk berinvestasi di area yang menguntungkan secara bisnis adalah logis dari perspektif komersial. Area potensial dengan populasi padat dan jarak yang berdekatan tentu menjadi incaran utama karena menjanjikan Return on Investment (ROI) yang lebih cepat dan besar. "Jadi, terus menumpuk di kota-kota yang dianggap punya potensi pasar yang baik. Jarang dari kita mau menyebar sampai ke wilayah-wilayah lain," jelasnya. Ini menciptakan lingkaran setan di mana daerah yang sudah memiliki konektivitas baik akan semakin maju, sementara daerah yang kurang terlayani akan semakin tertinggal.
Lebih lanjut, APJII menyoroti faktor krusial lain: kemudahan perizinan untuk pembuatan layanan jasa internet baru. Menurut Arif, "barrier to entry" ke industri telekomunikasi di Indonesia terbilang sangat mudah, yang berkontribusi pada ledakan jumlah ISP. Meskipun pertumbuhan jumlah pemain bisa diartikan sebagai tanda pasar yang dinamis, tanpa diiringi dengan regulasi yang adaptif dan pengawasan yang ketat, hal ini justru dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakefisienan.
APJII secara tegas menyatakan bahwa aturan-aturan di industri telekomunikasi saat ini sudah ketinggalan zaman dan perlu dibenahi secara fundamental. Regulasi yang ada mungkin tidak lagi relevan dengan dinamika teknologi dan pasar yang berkembang pesat. Sebagai contoh, aturan terkait alokasi spektrum, infrastruktur bersama, perlindungan konsumen, hingga kebijakan persaingan usaha mungkin memerlukan penyesuaian. "Itu perlu kita perbarui kembali tanpa izin disetop dulu akan sangat sulit bagi kita untuk benar-benar memperbaiki regulasi yang ada," pungkas Arif. Usulan untuk menghentikan sementara pemberian izin baru menjadi sinyal betapa gentingnya situasi ini, demi memberikan ruang bagi pemerintah dan pelaku industri untuk merumuskan ulang kerangka regulasi yang lebih kokoh dan futuristik.
Dampak Lebih Luas dan Urgensi Pembenahan
Kualitas dan pemerataan akses internet bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga fondasi bagi pertumbuhan ekonomi digital, inovasi, pendidikan, kesehatan, dan inklusi sosial. Kecepatan internet yang rendah dan disparitas akses dapat menghambat potensi ekonomi daerah, membatasi peluang belajar siswa di daerah terpencil, menyulitkan layanan telemedicine, dan memperlambat adopsi teknologi digital secara nasional. Jika Indonesia ingin bersaing di kancah global dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, pembenahan sektor telekomunikasi menjadi mutlak.
Target Komdigi untuk 100 Mbps pada harga Rp 100 ribuan adalah cerminan dari kebutuhan masyarakat dan visi pemerintah untuk masyarakat yang terkoneksi. Namun, pencapaian target ini memerlukan pendekatan holistik. Selain pembaruan regulasi, diperlukan juga insentif bagi ISP untuk berinvestasi di wilayah yang kurang menguntungkan secara komersial, mungkin melalui skema Universal Service Obligation (USO) Fund yang lebih efektif, kemitraan publik-swasta, atau insentif pajak. Kolaborasi antara pemerintah, regulator, APJII, dan seluruh pelaku industri menjadi kunci untuk merumuskan peta jalan yang jelas.
Pengaturan ulang industri tidak hanya mencakup perizinan, tetapi juga bagaimana infrastruktur dibangun dan dibagikan. Konsep infrastruktur bersama (infrastructure sharing) dapat menjadi solusi untuk mengurangi biaya investasi dan mempercepat penyebaran jaringan, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau. Selain itu, peninjauan ulang terhadap standar kualitas layanan (SLA) dan perlindungan konsumen juga menjadi esensial agar masyarakat tidak hanya mendapatkan akses, tetapi juga layanan yang berkualitas dan adil.
Pada akhirnya, tantangan yang dihadapi industri internet Indonesia saat ini adalah cerminan dari pertumbuhan yang pesat namun kurang terstruktur. Dengan jumlah ISP yang besar, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara dengan konektivitas digital yang kuat. Namun, potensi ini hanya dapat terealisasi jika pemerintah dan para pemangku kepentingan bersedia mengambil langkah berani untuk mereformasi kerangka regulasi, mendorong pemerataan investasi, dan memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia, di mana pun mereka berada, memiliki akses yang setara terhadap internet cepat dan terjangkau. Diskusi seperti yang diadakan APJII menjadi momentum penting untuk mengidentifikasi akar masalah dan merumuskan solusi konkret demi masa depan digital Indonesia yang lebih baik. Tanpa tindakan cepat dan terkoordinasi, target ambisius pemerintah akan sulit dicapai, dan Indonesia berisiko semakin tertinggal dalam perlombaan digital global.
