
Jepang, sebuah negara kepulauan yang indah namun rentan, secara geografis berada di persimpangan kekuatan alam yang luar biasa. Dari getaran gempa bumi yang dahsyat dan letusan gunung berapi yang spektakuler, hingga hantaman tsunami yang mematikan, terpaan topan yang merusak, dan tanah longsor yang mengubur, negeri ini telah lama hidup berdampingan dengan risiko bencana alam yang tak terhindarkan. Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan ini semakin diperparah oleh perubahan iklim global dan pemanasan global yang menyebabkan anomali cuaca ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia, termasuk di Jepang. Curah hujan yang intensitasnya meningkat drastis, badai yang lebih sering dan kuat, serta gelombang panas yang memecahkan rekor, kini menjadi ancaman nyata yang menuntut respons inovatif dan adaptif.
Menghadapi ancaman yang kian meningkat ini, Prefektur Saitama di Jepang telah membangun sebuah mahakarya rekayasa yang luar biasa: Jaringan Gorong-gorong Bawah Tanah Wilayah Luar Metropolitan, atau yang lebih dikenal dengan nama resmi Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel (MAOUDC). Proyek raksasa ini, yang mulai beroperasi pada tahun 2006, adalah salah satu upaya mitigasi paling ambisius dan efektif yang pernah dibangun untuk menghadapi hujan ekstrem dan mencegah bencana banjir. Sejak diresmikan, kompleks terowongan raksasa ini telah menjadi tulang punggung pertahanan Saitama dari luapan air, dengan perkiraan keberhasilannya dalam mencegah kerusakan senilai lebih dari 150 miliar yen, sebuah angka yang menunjukkan efektivitasnya yang luar biasa menurut data Kementerian Pertanahan Jepang.
Fungsi utama MAOUDC adalah mengalirkan air banjir dari sungai-sungai yang rentan meluap di wilayah tersebut. Sistem ini dirancang untuk bekerja secara efisien, memindahkan volume air yang sangat besar dengan cepat dan aman. Namun, seiring dengan percepatan pemanasan global yang memicu cuaca yang semakin ekstrem, pihak berwenang di Jepang menyadari bahwa sistem yang sudah canggih ini pun perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, perbaikan besar-besaran dan perluasan kompleks MAOUDC sedang dilakukan untuk memastikan kapasitasnya tetap relevan menghadapi tantangan masa depan. Peningkatan suhu global secara langsung berkorelasi dengan peningkatan jumlah uap air di atmosfer, yang pada gilirannya menghasilkan curah hujan yang jauh lebih besar dan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Profesor Seita Emori dari Universitas Tokyo, seorang ilmuwan iklim terkemuka dan anggota kelompok yang memenangkan Hadiah Nobel pada tahun 2007 untuk karyanya di bidang ilmu iklim, menegaskan pada Oktober 2024 bahwa, "Sering meningkatnya suhu, jumlah uap air di atmosfer meningkat, sehingga menghasilkan curah hujan yang relatif lebih besar." Beliau menambahkan, "Kami memperkirakan bahwa curah hujan yang sebelumnya tidak terlihat akan turun seiring dengan meningkatnya suhu di masa mendatang," sebuah peringatan yang mendasari urgensi upaya adaptasi Jepang.
Jaringan gorong-gorong ini, yang sering disebut "kompleks katedral" karena pilar-pilarnya yang menjulang tinggi menyerupai struktur megah sebuah katedral gotik, adalah keajaiban rekayasa modern. Pembangunannya memakan waktu 13 tahun yang intensif dan menelan biaya sekitar 230 miliar yen, sebuah investasi kolosal yang mencerminkan skala dan kompleksitas proyek ini. MAOUDC terdiri dari lima silo beton raksasa yang masing-masing berukuran panjang 65 meter dan diameter 32 meter, serta serangkaian terowongan bawah tanah sepanjang 6,3 kilometer yang menghubungkan silo-silo ini. Air dari sungai-sungai kecil di sekitarnya seperti Sungai Nakagawa, Kuramatsukawa, dan Oootoshifurutonegawa akan disalurkan ke dalam silo-silo ini melalui terowongan penghubung. Dari sana, air akan dialirkan ke sebuah tangki penampungan raksasa yang terletak 50 meter di bawah tanah, yang merupakan jantung dari "katedral" tersebut.
Tangki penampungan ini adalah sebuah ruangan masif dengan panjang 177 meter, lebar 78 meter, dan tinggi 25 meter. Di dalamnya, terdapat 59 pilar raksasa yang masing-masing berbobot sekitar 500 metrik ton dan menjulang setinggi 18 meter, memberikan kesan megah seperti interior sebuah katedral. Ketika sungai-sungai di dekatnya meluap akibat curah hujan ekstrem, luapan air mengalir deras melalui terowongan bawah tanah raksasa sebelum terkumpul di waduk ini. Kapasitas waduk ini sungguh mencengangkan; ia mampu menampung air dengan volume setara dengan 100 kolam renang ukuran Olimpiade. Setelah air terkumpul, empat pompa turbin gas raksasa, masing-masing setara dengan mesin jet pesawat Boeing 747, akan memompa air keluar dengan kecepatan hingga 200 ton per detik ke Sungai Edogawa, yang kemudian mengalirkan air tersebut dengan aman menuju laut.
Salah satu contoh paling nyata efektivitas MAOUDC adalah ketika Topan Shanshan melanda Jepang. Sistem ini berhasil menangkap air dalam jumlah yang sangat besar, cukup untuk mengisi hampir empat kali stadion bisbol Tokyo Dome, sebelum memompanya dengan aman ke Sungai Edogawa. Tanpa intervensi MAOUDC, dampak Topan Shanshan bisa jauh lebih merusak bagi wilayah Saitama dan sekitarnya. Yoshio Miyazaki, seorang pejabat senior dari Kementerian Pertanahan Jepang yang bertanggung jawab atas kompleks MAOUDC, menjelaskan bahwa, "Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ada kecenderungan hujan lebat turun sekaligus dalam apa yang kami sebut hujan gerilya." Istilah "hujan gerilya" merujuk pada hujan lebat yang sangat lokal, tiba-tiba, dan intens, yang dapat dengan cepat menyebabkan banjir bandang. Miyazaki menambahkan, "Jika fasilitas ini tidak ada, permukaan air Sungai Nakagawa utama dan anak-anak sungainya bisa naik jauh lebih tinggi, yang dapat mengakibatkan banjir, bahkan kematian."
Meskipun MAOUDC adalah sistem yang sangat efektif, tantangan iklim yang terus berubah menunjukkan bahwa tidak ada satu pun solusi yang sempurna. Buktinya, sistem ini tidak sepenuhnya mampu menghentikan banjir yang melanda lebih dari 4.000 rumah di daerah aliran sungai tersebut akibat hujan topan lebat pada Juni 2023. Insiden ini menjadi pengingat pahit akan batas kapasitas dan mendorong pemerintah Jepang untuk mengambil langkah lebih lanjut. Sebagai respons, sebuah proyek besar senilai 37,3 miliar yen telah dimulai dan akan berlangsung selama tujuh tahun ke depan. Proyek ini berfokus pada penguatan tanggul dan sistem drainase air di wilayah tersebut, sebagai upaya komprehensif untuk meningkatkan ketahanan terhadap banjir.
Lebih dekat ke pusat kota Tokyo, proyek besar lainnya sedang berjalan untuk menghubungkan kanal-kanal yang menampung luapan Sungai Shirako dan Sungai Kanda. Proyek ini melibatkan pembangunan terowongan bawah tanah sepanjang sekitar 13 kilometer yang akan mengalirkan air banjir langsung ke Teluk Tokyo. Setelah selesai pada tahun 2027, sistem ini diharapkan dapat memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi ibu kota yang padat penduduk. Jaringan pembuangan Tokyo saat ini dirancang untuk menangani curah hujan hingga 75 milimeter per jam. Namun, seperti yang dicatat oleh Shun Otomo, manajer lokasi konstruksi untuk proyek baru ini, "semakin banyak badai lokal yang membawa curah hujan hingga 100 mm," sebuah intensitas yang membebani sistem secara berlebihan. Otomo menjelaskan strategi baru mereka: "Misalnya, jika terjadi hujan deras sementara di daerah aliran Sungai Kanda, kita bisa memanfaatkan kapasitas daerah aliran sungai di wilayah yang tidak hujan. Kami yakin itu akan efektif melawan hujan gerilya ini." Pendekatan ini menunjukkan pergeseran paradigma dari sekadar meningkatkan kapasitas, menjadi menciptakan sistem yang lebih terintegrasi dan adaptif, mampu merespons pola hujan yang tidak terduga.
Upaya Jepang dalam mitigasi bencana, terutama banjir, tidak hanya terbatas pada infrastruktur fisik yang megah seperti MAOUDC. Negara ini telah lama menganut filosofi pengurangan risiko bencana (DRR) yang komprehensif, mencakup sistem peringatan dini yang canggih, pendidikan dan kesadaran masyarakat, serta pembangunan kode bangunan yang ketat. MAOUDC adalah simbol dari kecanggihan teknologi dan ketahanan Jepang dalam menghadapi kekuatan alam. Namun, ia juga berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa di tengah perubahan iklim yang tak terhindarkan, adaptasi dan inovasi adalah kunci untuk melindungi kehidupan dan properti.
Di seluruh dunia, kota-kota besar menghadapi tantangan serupa dalam mengelola air hujan dan mencegah banjir. Dengan pola cuaca yang semakin ekstrem, pengalaman Jepang dengan MAOUDC dan proyek-proyek mitigasi lainnya menawarkan pelajaran berharga bagi negara-negara lain. Investasi dalam infrastruktur tahan iklim, dikombinasikan dengan strategi adaptasi yang proaktif, bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk membangun kota yang tangguh dan berkelanjutan di masa depan. Jepang, dengan kompleks katedral bawah tanahnya yang megah, terus memimpin jalan dalam pertarungan melawan elemen-elemen yang semakin tak terduga.
