
Pendiri Amazon, Jeff Bezos, kini tengah menjadi sorotan tajam dan menuai kritik keras dari berbagai pihak, bukan hanya karena kekayaan fantastisnya, tetapi lebih spesifik karena jejak karbon yang masif dan mencolok yang ditinggalkan oleh kapal pesiar super mewahnya, Koru. Kapal pesiar senilai USD500 juta atau sekitar Rp7,7 triliun (kurs Rp15.500/USD) ini dinilai berkontribusi secara signifikan terhadap kerusakan lingkungan, menciptakan paradoks yang mengganggu di tengah komitmen publik Bezos terhadap isu-isu iklim.
Perilaku yang ditunjukkan oleh Bezos ini sangat bertolak belakang dengan citra "peduli lingkungan" yang selama ini ia bangun dan proyeksikan ke mata dunia. Selama bertahun-tahun, Bezos telah menunjukkan komitmen yang mendalam terhadap isu lingkungan melalui berbagai inisiatif besar, termasuk pendirian Bezos Earth Fund. Dana tersebut menjanjikan alokasi USD10 miliar atau sekitar Rp155 triliun untuk mengatasi perubahan iklim global, sebuah angka yang mencengangkan dan menjadikannya salah satu filantropis lingkungan terbesar di dunia. Namun, ironisnya, di saat bersamaan, Bezos juga secara konsisten menghadapi kritik pedas terkait dampak lingkungan dari operasional raksasa e-commerce-nya, Amazon, serta gaya hidup pribadinya yang sangat mewah, di mana kapal pesiar Koru ini menjadi simbol paling mencolok dari kontradiksi tersebut.
Koru, nama kapal pesiar super megah milik Bezos, saat ini berlabuh di Fort Lauderdale, Florida. Dikutip dari Business Insider, kapal ini memiliki panjang ‘hanya’ 127 meter. Meskipun ukurannya mungkin tidak sebesar beberapa kapal pesiar super lainnya yang ada di dunia dan mungkin dianggap tidak terlalu mewah bagi seorang tokoh sekaliber Bezos yang memiliki kekayaan puluhan miliar dolar, tingkat polusi yang dihasilkan oleh kapal ini sangatlah tinggi dan mengkhawatirkan. Panjang 127 meter ini setara dengan hampir dua kali panjang pesawat penumpang terbesar di dunia, Airbus A380, atau bahkan lebih panjang dari lapangan sepak bola standar, menjadikannya salah satu kapal layar terbesar di dunia.
Superyacht ini dirancang untuk kemewahan dan kenyamanan tiada batas, dilengkapi dengan segala fasilitas yang dapat dibayangkan oleh seorang miliarder. Di dalamnya terdapat kolam renang yang luas, pusat kebugaran mutakhir, helikopter pribadi lengkap dengan helipadnya, bahkan sebuah kapal selam pribadi untuk menjelajahi kedalaman laut. Pertanyaan besar yang muncul adalah seberapa sering Bezos benar-benar menggunakan semua fasilitas mewah ini. Namun, yang jelas dan tak terbantahkan adalah jejak ekologis yang ditinggalkan oleh Koru mencapai lebih dari 7.000 ton karbon dioksida (CO2) per tahun. Angka ini luar biasa besar, setara dengan emisi yang dihasilkan oleh ribuan rumah tangga rata-rata dalam setahun, atau bahkan lebih dari seribu kali jejak karbon rata-rata per kapita di banyak negara berkembang.
Para ahli lingkungan dan antropolog telah menyoroti fenomena kapal pesiar super ini dengan nada prihatin. Richard Wilk, seorang antropolog terkemuka, menggambarkan kapal pesiar super ini sebagai "hotel mewah yang terus-menerus mengapung di atas air." Metafora ini menyoroti bahwa bahkan ketika kapal ini berlabuh dan tidak sedang dalam perjalanan, mereka tetap membutuhkan awak kapal yang besar, perawatan berkelanjutan yang intensif, dan pasokan energi yang konstan karena ukurannya yang kolosal. Sebagai contoh, Koru sendiri memiliki tiga dek mewah, ditenagai oleh mesin diesel MTU yang kuat, dan memerlukan biaya perawatan tahunan yang mencapai USD25 juta atau sekitar Rp387,5 miliar. Biaya perawatan ini saja sudah lebih besar dari anggaran tahunan banyak organisasi nirlaba yang berjuang untuk mengatasi perubahan iklim.
"Emisi superyacht jauh melampaui emisi moda transportasi pribadi lainnya, termasuk jet pribadi yang juga sering dikritik. Kapal-kapal raksasa ini seharusnya berada di bawah pengawasan lingkungan yang jauh lebih ketat, terutama di tengah krisis iklim yang sedang kita hadapi saat ini," tegas Wilk dengan nada prihatin. Ia menekankan bahwa regulasi yang ada saat ini tidak memadai untuk menanggulangi dampak destruktif dari industri kapal pesiar super yang sedang berkembang pesat.
Namun, kritik terhadap kapal pesiar super seperti Koru tidak hanya terbatas pada emisi karbon dioksida saja. Kapal-kapal ini juga berkontribusi terhadap berbagai bentuk polusi lain yang tak kalah merusak. Polusi suara dari mesin besar dan generator kapal dapat mengganggu kehidupan laut, terutama mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba, yang mengandalkan suara untuk navigasi, komunikasi, dan berburu. Polusi cahaya yang dipancarkan dari kapal-kapal yang terang benderang di tengah lautan dapat mengganggu siklus alami hewan nokturnal dan bahkan ekosistem pesisir. Selain itu, limbah air, baik itu limbah hitam (kotoran) maupun limbah abu-abu (air dari kamar mandi dan dapur), serta kemungkinan tumpahan bahan bakar dan minyak, semuanya mencemari lautan dan samudra. Semua ini terjadi di lingkungan laut yang sudah sangat terancam oleh aktivitas manusia, mulai dari penangkapan ikan berlebihan, polusi plastik, hingga pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang dan kenaikan permukaan air laut.
Yang lebih buruk lagi adalah melihat seorang tokoh publik dengan kaliber dan pengaruh sebesar Jeff Bezos memutuskan untuk mempromosikan gaya hidup yang sedemikian rupa, yang begitu jauh dari prinsip keberlanjutan. Perilaku ini menciptakan kontradiksi yang tidak nyaman dan memicu kemarahan publik di era kesadaran lingkungan yang semakin meningkat. Bagaimana mungkin seorang yang mengklaim peduli lingkungan dapat membenarkan kepemilikan dan penggunaan aset yang secara inheren merusak planet?
Di luar isu perubahan iklim yang lebih luas, perilaku ini juga menunjukkan kurangnya perhatian atau bahkan empati terhadap masyarakat global yang menderita dampak buruk krisis iklim secara langsung. Kita menyaksikan kebakaran hutan yang dahsyat yang melanda berbagai benua, banjir bandang yang merenggut nyawa dan menghancurkan permukiman seperti yang sedang kita alami di berbagai belahan dunia, gelombang panas yang mematikan, hingga kekeringan parah yang menyebabkan krisis pangan dan migrasi massal. Sementara jutaan orang berjuang untuk bertahan hidup di tengah bencana iklim, para elit justru menikmati kemewahan yang memperparah krisis tersebut.
"Ketika planet ini menuntut tindakan segera dan kolektif dari seluruh umat manusia, keputusan yang diambil oleh para elit justru semakin buruk dan semakin tidak bijaksana," sindir Wilk dengan tajam. "Superyacht bukan lagi sekadar simbol kekayaan atau status sosial. Lebih dari itu, kapal-kapal ini telah menjadi simbol keterputusan total dari realitas krisis iklim yang sedang melanda." Ia menambahkan bahwa semakin banyak suara yang menuntut regulasi yang lebih ketat atau bahkan pajak khusus yang tinggi untuk jenis kapal mewah ini. "Kapal seperti ini menghabiskan sumber daya secara tidak proporsional demi keuntungan dan kesenangan segelintir orang. Ini adalah bentuk ketidakadilan lingkungan yang harus segera diatasi."
Pajak karbon atau pajak kemewahan yang lebih tinggi untuk superyacht dapat menjadi instrumen untuk mendanai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, sekaligus mengirimkan pesan kuat bahwa kemewahan yang merusak lingkungan tidak akan lagi ditoleransi. Masyarakat global, terutama generasi muda, semakin menuntut akuntabilitas dari para pemimpin dan individu super kaya. Mereka mendesak agar tindakan nyata diambil, bukan hanya janji atau donasi yang kemudian dibayangi oleh gaya hidup yang kontradiktif. Kontroversi Bezos dan Koru adalah pengingat yang kuat bahwa perang melawan perubahan iklim memerlukan konsistensi, integritas, dan pengorbanan dari semua pihak, termasuk dari mereka yang paling diuntungkan oleh sistem ekonomi global saat ini.
