
Bayangkan kembali tahun 2009. Di tengah hiruk pikuk kehidupan perkotaan, Anda mengeluarkan BlackBerry Bold 9700 dari saku, jempol menari lincah di atas keyboard QWERTY fisik yang ikonik, dan langsung terhubung dengan teman-teman melalui BlackBerry Messenger (BBM). Ya, sebelum era dominasi iPhone dan Android, BlackBerry bukan hanya sebuah ponsel; ia adalah simbol status, alat produktivitas tak tergantikan, dan gerbang utama menuju komunikasi instan yang aman. Pada puncaknya di awal tahun 2000-an, BlackBerry menguasai lebih dari 50% pangsa pasar Amerika Serikat dan sekitar 20% pasar smartphone global, menjadikannya raksasa teknologi yang tak tergoyahkan.
Perusahaan asal Kanada, Research In Motion (RIM), yang kemudian dikenal sebagai BlackBerry Limited, membangun kerajaannya di atas fondasi keamanan, keandalan, dan fitur push email yang revolusioner. BlackBerry Enterprise Server (BES) memungkinkan para profesional dan eksekutif untuk menerima email secara instan di mana pun mereka berada, mengubah cara dunia bisnis beroperasi. Keyboard fisiknya yang ergonomis menjadi standar emas bagi mereka yang membutuhkan kecepatan dan akurasi dalam mengetik email panjang atau pesan penting. BBM, dengan PIN uniknya, menawarkan platform komunikasi yang eksklusif, pribadi, dan aman, lengkap dengan fitur ‘D’ (Delivered) dan ‘R’ (Read) yang menjadi tolok ukur interaksi sosial di masanya. Julukan "CrackBerry" bukanlah hiperbola, melainkan cerminan nyata dari kecanduan yang diciptakan oleh perangkat yang selalu terhubung ini.
Namun, takdir berkata lain. Kedatangan iPhone pada tahun 2007, dengan layar sentuh multi-sentuh yang intuitif dan ekosistem aplikasi yang tak terbatas, menjadi titik balik yang mengguncang industri. Diikuti oleh kebangkitan Android dengan model-model yang lebih terjangkau dan fleksibel, lanskap mobile berubah drastis. BlackBerry, yang terlalu lambat beradaptasi dengan pergeseran paradigma dari keyboard fisik ke layar sentuh, dan dari fokus bisnis ke hiburan konsumen, mulai kehilangan pijakannya. Upaya mereka untuk mengejar ketertinggalan, seperti tablet PlayBook yang kurang sukses atau sistem operasi BlackBerry 10 yang datang terlambat dan minim aplikasi, tidak mampu menghentikan gelombang pasang para pesaing. Perlahan tapi pasti, pangsa pasar BlackBerry menyusut drastis, hingga akhirnya pada tahun 2022, perusahaan secara resmi menghentikan dukungan untuk perangkat lawasnya, menandai akhir sebuah era. Banyak yang mengira, kisah BlackBerry telah tamat.
Kini, di pertengahan tahun 2020-an, sebuah fenomena tak terduga muncul, terasa seperti mengulang kembali tren dari awal tahun 2000-an. Seperti yang baru-baru ini dilaporkan oleh New York Times dengan tajuk menarik "Semua yang Disukai Generasi Milenial Kembali Keren," dan secara mengejutkan, itu termasuk BlackBerry. Media sosial, khususnya TikTok, menjadi panggung utama kebangkitan yang tak terduga ini. Tagar #blackberry kini telah mengumpulkan ratusan ribu postingan, menampilkan video-video yang memperlihatkan para pengguna, terutama dari kalangan Generasi Z dan Milenial, dengan bangga memamerkan perangkat BlackBerry lawas yang mereka beli atau temukan kembali.
"Mendapatkan blackberry bold," kata seorang pengguna TikTok, sambil mengangkat BlackBerry Bold yang dibelinya di eBay seharga USD 40, sebuah harga yang relatif terjangkau untuk sebuah "artefak" teknologi. "Ini adalah kalimat yang tidak pernah terpikirkan akan saya ucapkan, terutama di tahun 2025," tulis pengguna lain, dengan gembira membuka kotak BlackBerry Bold 9900 bekasnya. "Saya mendapatkan Blackberry." Komentar lain yang menarik perhatian adalah pengakuan dari seorang pengguna muda: "Ponsel pertama saya adalah iPhone di kelas 6, jadi saya tidak pernah mendapat kesempatan untuk mendapatkan Blackberry seperti yang selalu saya inginkan. Ini selalu menjadi impian saya." Pernyataan ini menunjukkan adanya keinginan untuk merasakan pengalaman teknologi yang berbeda dari generasi sebelumnya, sebuah nostalgia akan masa lalu yang belum pernah mereka alami sendiri.
Model-model ponsel yang sudah lama terlupakan seperti BlackBerry Classic Q20 dan BlackBerry Curve ungu kembali menjadi incaran. Video-video viral seperti "POV: Anda membeli BlackBerry pada tahun 2025 sebelum iPhone menghancurkan hidup Anda," yang mengumpulkan 6,4 juta tayangan, menggarisbawahi sentimen anti-smartphone modern yang mulai merebak. Para pengguna merindukan kesederhanaan, fokus, dan koneksi yang lebih otentik yang ditawarkan oleh perangkat ini. Komentar seperti "Ini adalah teknologi PUNCAK," yang dikutip oleh detikINET dari Fast Company, menunjukkan apresiasi terhadap desain, keyboard, dan fungsi dasar BlackBerry yang dinilai lebih efisien dalam beberapa aspek dibandingkan smartphone canggih saat ini.
Kebangkitan BlackBerry ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari tren yang lebih luas, di mana "estetika Y2K" dan "retro-futurism" kembali digemari, dari gaya busana hingga teknologi. Generasi muda yang tumbuh besar dengan layar sentuh dan notifikasi tanpa henti mulai mencari alternatif yang menawarkan "detoks digital" atau sekadar pengalaman yang lebih unik dan personal. Keyboard fisik BlackBerry menawarkan sensasi taktil yang memuaskan, berbeda dengan mengetik di layar kaca. Keterbatasan fitur yang ada pada BlackBerry lawas, ironisnya, menjadi daya tarik tersendiri. Tidak ada aplikasi yang mengganggu, tidak ada feed tak berujung yang membuat ketagihan. Ia adalah ponsel untuk berkomunikasi, bukan untuk menghabiskan waktu. Ini sejalan dengan tren "dumb phone" atau ponsel fitur yang juga mulai populer, di mana pengguna secara sadar memilih perangkat dengan fitur terbatas untuk mengurangi waktu layar dan meningkatkan fokus.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah kebangkitan ini sekadar nostalgia sesaat, ataukah BlackBerry memiliki peluang untuk kembali dengan luar biasa? Sebuah unggahan Reddit baru-baru ini bahkan mengisyaratkan kemungkinan BlackBerry akan dibuat lagi. Spekulasi ini memicu beragam reaksi. Beberapa orang skeptis, mengingatkan akan realitas pasar yang kejam. "Harap realistis," tulis seseorang, menyiratkan bahwa mengulang kejayaan masa lalu di era yang berbeda adalah hal yang mustahil. Namun, tidak sedikit pula yang tidak dapat menahan kegembiraan mereka. "Saya tertarik jika ini benar-benar terwujud," imbuh yang lain, menunjukkan adanya basis penggemar setia dan calon pengguna baru yang mendambakan perangkat yang menggabungkan keunggulan BlackBerry dengan sentuhan modern.
Jika BlackBerry benar-benar kembali, pertanyaannya adalah dalam bentuk apa? Sangat tidak mungkin BlackBerry akan mencoba bersaing langsung dengan iPhone atau Samsung dalam pasar smartphone kelas atas yang jenuh. Namun, ada ceruk pasar yang bisa digarap. Bayangkan sebuah BlackBerry baru yang mempertahankan keyboard fisik ikoniknya, namun berjalan di atas sistem operasi Android yang dimodifikasi, dengan fokus pada privasi, keamanan, dan produktivitas. Bisa jadi ia diposisikan sebagai "ponsel kedua" untuk keperluan kerja, atau sebagai perangkat "detoks digital" premium yang menawarkan keseimbangan antara konektivitas esensial dan minimnya gangguan. Pengalaman mengetik yang superior, daya tahan baterai yang panjang, dan potensi untuk mengintegrasikan fitur-fitur keamanan yang selalu menjadi ciri khas BlackBerry, bisa menjadi daya tarik utama.
Pada akhirnya, kisah BlackBerry adalah cerminan dari siklus teknologi dan budaya. Dari pahlawan inovasi, menjadi korban disrupsi, hingga kini menemukan dirinya kembali sebagai ikon retro yang dicari. Kebangkitan ini mungkin bukan tentang mengulang dominasi pasar, melainkan tentang pengakuan akan dampak budaya yang pernah diciptakan BlackBerry, serta keinginan kolektif untuk menemukan keseimbangan dalam dunia digital yang semakin kompleks. Apakah ini hanya sebuah gelombang nostalgia yang akan surut, ataukah pertanda awal dari era baru di mana kesederhanaan dan fungsionalitas dihargai di atas segala-galanya, hanya waktu yang akan menjawabnya. Namun yang pasti, nama BlackBerry kini kembali berdengung, membuktikan bahwa bahkan legenda yang terlupakan pun bisa menemukan jalan kembali ke hati para penggemarnya.
