
Jakarta, 7 Juli 2025 – Rapat kerja antara Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) pada Senin, 7 Juli 2025, menjadi arena krusial untuk menyoroti salah satu isu fundamental di era digital: masih minimnya akses internet di berbagai daerah di Tanah Air. Para anggota dewan secara lugas menyampaikan keprihatinan mereka terhadap kesenjangan digital yang masih menganga, mengingat layanan internet kini bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan primer yang menopang hampir seluruh aspek kehidupan modern.
Anggota Komisi I DPR, Rizki Aulia Rahman, membuka diskusi dengan menegaskan urgensi akses sinyal broadband sebagai kebutuhan dasar masyarakat Indonesia. "Kita hidup di era di mana broadband atau akses kepada sinyal itu kebutuhan primer dari masyarakat Indonesia," ujar Rizki. Ia mengingatkan kembali semangat dan janji pemerintah di periode sebelumnya, yang mendengungkan semboyan "merdeka sinyal," sebuah janji yang hingga kini belum sepenuhnya terealisasi. Rizki menyatakan keyakinannya bahwa di bawah kepemimpinan Presiden saat ini, akan ada semangat dan tagline baru yang lebih ambisius untuk mengatasi persoalan ini, dan Komisi I siap memberikan dukungan penuh.
Sorotan Rizki tidak hanya tertuju pada daerah-daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang secara geografis memang menantang, tetapi juga pada wilayah-wilayah di luar kategori 3T, bahkan di Pulau Jawa sekalipun, yang masih belum tersentuh akses internet yang memadai. Ia memaparkan hasil pantauannya saat melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah, di mana ia masih menemukan banyak lokasi yang sepenuhnya tanpa akses internet. "Apa kabarnya dengan masyarakat kita yang masih berada di luar 3T, karena masyarakat kita di Pulau Jawa, bukan berada di 3T juga masih membutuhkan sentuhan (akses internet)," tambahnya, sembari meminta Komdigi untuk segera menyajikan asesmen komprehensif terkait kondisi faktual di lapangan. Kesenjangan ini, menurut Rizki, bukan hanya menghambat pertumbuhan ekonomi lokal tetapi juga membatasi akses masyarakat terhadap informasi, pendidikan, dan layanan publik yang semakin bergantung pada konektivitas digital.
Senada dengan Rizki, anggota Komisi I lainnya, Nico Siahaan, juga mengangkat isu serupa. Kepada Menkomdigi Meutya Hafid dan jajarannya, Nico secara spesifik menanyakan progres terbaru terkait pembangunan infrastruktur internet yang dicanangkan pemerintah. "Tolong jelaskan progres dari pembuatan saluran internet di daerah-daerah, yang waktu itu BTS (oleh Bakti Komdigi)," desak Nico. Pertanyaan Nico ini mengacu pada proyek-proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) yang dikelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) di bawah Komdigi, yang diharapkan menjadi tulang punggung pemerataan akses internet di seluruh pelosok negeri. Kejelasan mengenai progres proyek-proyek ini menjadi krusial, mengingat besarnya anggaran yang dialokasikan dan ekspektasi masyarakat akan manfaatnya.
Kesenjangan sinyal juga menjadi perhatian utama Andina Thresia Narang, anggota Komisi I yang mewakili daerah pemilihan di Kalimantan Tengah. Andina menceritakan pengalamannya saat pulang reses, di mana ia secara konsisten menerima keluhan mengenai masih banyaknya "blankspot" atau area tanpa sinyal internet di provinsi tersebut. "Setiap kali saya pulang reses Bu, pada RDP pertama saya mengangkat masih ada blankspot di Kalimantan Tengah, mungkin ini juga menjadi teriakan di semua provinsi Indonesia," ungkap Andina. Ia menyoroti bahwa meskipun ada peningkatan anggaran untuk tahun 2026, peningkatannya dinilai "tidak signifikan" dibandingkan dengan skala masalah yang ada. Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana strategi penanganan Komdigi terkait isu internet yang begitu merata di seluruh provinsi Indonesia, jika alokasi anggaran tidak sebanding dengan kebutuhan di lapangan?
Merespons berbagai sorotan dari anggota dewan, pihak Kementerian Komdigi, melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ismail, memaparkan tantangan terbesar yang mereka hadapi: kekurangan anggaran yang signifikan untuk tahun anggaran 2026. Ismail menjelaskan bahwa berdasarkan surat bersama dari Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Puna Pembangunan Nasional (Bappenas), pagu anggaran yang ditetapkan untuk Komdigi pada tahun 2026 adalah sebesar Rp 7,75 triliun. Angka ini jauh di bawah kebutuhan riil kementerian untuk melaksanakan program-program prioritasnya.
Setelah melakukan koordinasi internal dengan seluruh unit kerja dan lembaga independen yang berada di bawah naungan Kementerian Komdigi, terungkap bahwa kebutuhan anggaran kementerian untuk tahun depan mencapai Rp 20,3 triliun. Ini berarti, Komdigi menghadapi defisit anggaran sebesar Rp 12,6 triliun. "Untuk kebutuhan 2026 kami sudah mendapatkan masukan dari seluruh unit kerja, kebutuhan Komdigi ini ada di angka Rp 20,3 triliun sehingga dibutuhkan kekurangan anggaran Rp 12,6 triliun," terang Ismail, menggambarkan besarnya gap antara pagu yang diberikan dengan kebutuhan operasional dan programatik.
Ismail merinci bahwa kekurangan anggaran sebesar Rp 12,6 triliun tersebut rencananya akan dialokasikan untuk empat program prioritas utama Komdigi, yang semuanya krusial dalam upaya percepatan transformasi digital dan pemerataan akses di Indonesia. Pertama, program pengembangan dan penguatan infrastruktur digital, yang membutuhkan tambahan Rp 7,7 triliun. Kedua, program pengembangan dan penguatan ekosistem digital, dengan kebutuhan Rp 2,7 triliun. Ketiga, program komunikasi publik dan media, yang membutuhkan Rp 313 miliar. Dan terakhir, program dukungan manajemen, dengan kebutuhan Rp 1,7 triliun.
Secara khusus, Ismail menyoroti program pengembangan dan penguatan infrastruktur digital sebagai komponen terbesar yang membutuhkan tambahan anggaran. Dana ini, jelasnya, sangat vital untuk pemeliharaan operasional base transceiver station (BTS) yang sudah terbangun, memastikan kelangsungan akses internet di daerah-daerah terpencil, hingga operasional Satelit Republik Indonesia (Satria-1) yang telah berhasil diluncurkan pada tahun 2023. Satria-1 sendiri dirancang untuk menyediakan akses internet berkecepatan tinggi bagi 150.000 titik layanan publik di seluruh Indonesia, termasuk sekolah, puskesmas, kantor desa, dan posko TNI/Polri, terutama di daerah 3T. Tanpa anggaran yang memadai, operasional dan pemeliharaan infrastruktur vital seperti BTS dan Satria-1 akan terhambat, mengancam keberlanjutan layanan dan memperburuk kesenjangan digital.
Kesenjangan digital, atau "digital divide," bukan hanya sekadar masalah teknis ketersediaan sinyal. Dampaknya jauh lebih luas, mencakup aspek sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Di sektor pendidikan, kurangnya akses internet membatasi kemampuan siswa dan guru untuk mengakses sumber belajar daring, menghambat pembelajaran jarak jauh, dan memperlebar jurang kualitas pendidikan antara perkotaan dan pedesaan. Dalam ekonomi, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah terpencil kesulitan memasarkan produk mereka secara daring, mengakses informasi pasar, atau memanfaatkan layanan keuangan digital, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi lokal. Dari sisi kesehatan, telemedisin dan akses informasi kesehatan menjadi sulit dijangkau, padahal ini krusial bagi daerah yang minim fasilitas kesehatan. Bahkan dalam layanan pemerintahan, masyarakat kesulitan mengakses informasi atau mengurus dokumen secara daring, yang seharusnya mempermudah birokrasi.
Pemerintah melalui Komdigi, dengan dukungan BAKTI, selama ini memang telah berupaya keras membangun infrastruktur digital, seperti proyek Palapa Ring yang menghubungkan seluruh ibu kota provinsi dan kabupaten dengan jaringan serat optik, serta pembangunan ribuan BTS di daerah 3T. Namun, tantangan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas, biaya investasi dan pemeliharaan infrastruktur yang tinggi, serta kepadatan penduduk yang bervariasi, membuat pemerataan akses internet menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar dan berkelanjutan.
Defisit anggaran yang dialami Komdigi menjadi indikasi bahwa prioritas pemerintah dalam pembangunan infrastruktur digital mungkin perlu dievaluasi kembali. Tanpa alokasi dana yang memadai, visi Indonesia Emas 2045 yang bercita-cita mewujudkan masyarakat maju, sejahtera, dan adil, akan sulit tercapai jika sebagian besar warganya masih terisolasi dari dunia digital. Oleh karena itu, diperlukan dialog intensif antara Komdigi, Kementerian Keuangan, dan Bappenas untuk mencari solusi atas persoalan anggaran ini, mungkin melalui realokasi anggaran, pencarian sumber pendanaan alternatif, atau peningkatan kerja sama dengan pihak swasta yang memiliki kemampuan investasi besar.
Penyelesaian masalah akses internet di daerah-daerah bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga membutuhkan kolaborasi multi-stakeholder. Peran operator telekomunikasi swasta, penyedia layanan internet lokal, komunitas, dan pemerintah daerah sangat penting dalam memastikan tidak hanya ketersediaan infrastruktur, tetapi juga keterjangkauan harga, serta peningkatan literasi digital masyarakat agar mereka dapat memanfaatkan internet secara optimal. Tanpa konektivitas yang merata dan inklusif, cita-cita Indonesia sebagai bangsa digital yang berdaya saing global akan tetap menjadi angan-angan. DPR melalui Komisi I, dengan sorotan tajamnya, telah kembali mengingatkan pemerintah akan urgensi dan skala tantangan yang harus segera diatasi demi mewujudkan keadilan digital bagi seluruh rakyat Indonesia.
