
Tim Nasional China kembali berada di persimpangan jalan, menghadapi krisis identitas dan performa setelah berpisah dengan pelatih Branko Ivankovic. Perpisahan ini menyusul kegagalan pahit Tim Naga untuk melaju ke ronde keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, sebuah hasil yang semakin mempertegas kemerosotan sepak bola negara tersebut di panggung internasional. China finis di posisi kelima Grup C dengan hanya mengumpulkan sembilan poin dari sepuluh pertandingan, sebuah catatan yang jauh dari harapan dan memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, terutama media lokal dan para penggemar yang frustrasi.
Branko Ivankovic, pelatih asal Kroasia, hanya menukangi Timnas China dalam waktu yang sangat singkat. Kedatangannya pada Februari 2024, menggantikan Aleksandar Jankovic, diharapkan membawa angin segar dan kebangkitan. Namun, di bawah asuhannya, China hanya mampu meraih satu kemenangan, dua hasil imbang, dan satu kekalahan dalam empat pertandingan kualifikasi. Kekalahan krusial 0-1 dari Korea Selatan di laga penutup babak kedua menjadi penentu kegagalan mereka, meski secara matematis masih ada peluang tipis jika hasil pertandingan lain mendukung. Kegagalan ini bukan hanya sekadar catatan statistik, melainkan cerminan dari masalah yang jauh lebih dalam dan sistemik yang telah lama menghantui sepak bola China.
Media-media di China telah lama melayangkan "serangan" dan kritik pedas terhadap Asosiasi Sepak Bola China (CFA). Akar masalahnya sangat kompleks, mencakup berbagai aspek mulai dari tata kelola liga domestik hingga pengembangan pemain muda. Kompetisi liga di China, Liga Super China (CSL), yang dulu sempat digadang-gadang akan menjadi salah satu liga terbaik di Asia dengan kedatangan pemain dan pelatih top dunia, kini mulai kehilangan daya tariknya. Krisis finansial yang melanda banyak klub, regulasi ketat yang membatasi investasi asing, hingga skandal korupsi dan pengaturan pertandingan, telah meruntuhkan fondasi yang sempat dibangun dengan susah payah. Akibatnya, kualitas permainan menurun, minat penonton merosot, dan yang paling parah, pasokan talenta untuk tim nasional menjadi sangat terbatas.
Di tengah situasi yang carut-marut ini, CFA kini dihadapkan pada tugas berat untuk mencari pelatih baru yang mampu membangkitkan kembali Timnas China. Namun, keyakinan bahwa China akan kesulitan mendapatkan pelatih top sangat kuat di kalangan pengamat dan media. "Fondasi tim nasional lemah dan mereka tidak mampu membayar gaji tinggi, sementara tekanan untuk berprestasi sangat besar. Pelatih kelas dunia tidak memiliki peluang untuk datang," demikian sorotan tajam dari media ternama Tianjin Daily, yang merangkum dilema yang dihadapi CFA.
Pernyataan Tianjin Daily ini bukanlah tanpa dasar. Fondasi sepak bola China memang sangat rapuh. Program pengembangan pemain muda belum menunjukkan hasil yang signifikan, minimnya kompetisi usia dini yang berkualitas, serta sistem pembinaan yang belum terintegrasi dengan baik, menyebabkan China kesulitan menghasilkan talenta-talenta kelas dunia. Sebagian besar pemain timnas saat ini masih bergantung pada generasi yang sama, dengan sedikit sekali munculnya wajah-wajah baru yang menjanjikan. Situasi ini diperparah dengan ekspektasi publik yang sangat tinggi namun tidak realistis, menciptakan tekanan berlebihan bagi setiap pelatih yang datang.
Dari sisi finansial, kemampuan CFA untuk menarik pelatih papan atas juga menjadi kendala besar. Diyakini, anggaran yang disiapkan untuk gaji calon pelatih baru Timnas China hanya berada di angka sekitar 1,8 juta USD per tahun, atau setara dengan Rp 29,1 miliar. Angka ini, meskipun terdengar besar bagi sebagian orang, sejatinya tidak "wah" sama sekali di pasar pelatih profesional global. Pelatih-pelatih top dunia, yang memiliki rekam jejak mentereng dan kemampuan manajerial yang teruji, lazimnya menuntut gaji yang jauh lebih tinggi, seringkali mencapai dua hingga tiga kali lipat dari angka tersebut, bahkan lebih. Dengan tawaran gaji yang relatif rendah untuk ukuran pelatih kelas dunia, ditambah dengan kondisi tim yang sedang terpuruk dan tekanan besar, pekerjaan melatih Timnas China menjadi sangat tidak menarik.
Masa lalu Timnas China sempat diwarnai oleh kehadiran nama-nama besar di kursi pelatih, seperti Marcello Lippi dan Fabio Cannavaro. Lippi, pelatih asal Italia yang pernah membawa Juventus dan Timnas Italia juara Piala Dunia, didatangkan pada tahun 2016 dengan harapan besar. Namun, meskipun sempat membawa China ke babak kualifikasi akhir Piala Dunia 2018 dan Piala Asia 2019, ia akhirnya mundur pada tahun 2019 karena merasa tidak mampu lagi memajukan tim. Fabio Cannavaro, mantan anak asuh Lippi di Juventus yang juga legenda sepak bola Italia, sempat ditunjuk sebagai pelatih interim namun tidak bertahan lama. Kehadiran mereka memang sempat menaikkan profil sepak bola China, tetapi kegagalan untuk menciptakan perubahan fundamental dan berkelanjutan menunjukkan bahwa hanya mengandalkan nama besar tidak cukup.
Kontras dengan kondisi China, di kawasan Asia, negara-negara dari Timur Tengah mulai gencar mendatangkan pelatih dan pemain top dunia. Arab Saudi, khususnya, dengan dukungan finansial yang masif dari Dana Investasi Publik (PIF), telah mengubah lanskap liganya dengan mendatangkan megabintang seperti Cristiano Ronaldo, Neymar, Karim Benzema, dan banyak lagi. Langkah ini tidak hanya mendongkrak kualitas liga domestik mereka, tetapi juga secara tidak langsung mengangkat standar sepak bola nasional dan menarik perhatian dunia. Qatar juga telah menunjukkan ambisi besar dengan investasi di infrastruktur dan program pengembangan pemain, yang puncaknya adalah keberhasilan mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan juga terus menunjukkan konsistensi dalam pengembangan sepak bola mereka, dengan liga yang stabil, program pembinaan yang terstruktur, dan performa tim nasional yang konsisten di level tertinggi Asia.
Perbedaan pendekatan dan hasil ini semakin menyoroti kemunduran China. Sementara negara-negara tetangga bergerak maju dengan strategi yang jelas, China tampak terjebak dalam lingkaran setan masalah internal. Pekerjaan melatih Timnas China bukan hanya menuntut kemampuan teknis, tetapi juga kesabaran luar biasa untuk menghadapi tantangan struktural yang mendalam. Pelatih yang datang harus siap menghadapi minimnya talenta, tekanan politik, dan birokrasi yang rumit dalam federasi. Ini adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan komitmen penuh dan visi yang jelas, bukan sekadar tugas untuk mencapai hasil instan.
Meskipun dihadapkan pada tantangan besar, beberapa nama telah muncul sebagai kandidat potensial untuk mengisi posisi pelatih kepala Timnas China. Di antaranya adalah pelatih asal Portugal, Paulo Bento, yang memiliki pengalaman melatih Timnas Portugal dan Timnas Korea Selatan, serta pernah membawa Korea Selatan tampil impresif di Piala Dunia. Pengalamannya di sepak bola Asia bersama Korea Selatan bisa menjadi nilai tambah.
Kemudian ada Felix Sanchez, pelatih asal Spanyol yang sukses membawa Qatar menjuarai Piala Asia 2019 dan meloloskan mereka ke Piala Dunia 2022 sebagai tuan rumah. Saat ini, Sanchez melatih klub Al Sadd di Liga Qatar. Rekam jejaknya dalam membangun tim dari nol dan memahami kultur sepak bola Timur Tengah mungkin menarik bagi CFA, meskipun tantangan di China jauh berbeda.
Terakhir, nama Shin Tae-yong, mantan pelatih Timnas Indonesia, juga disebut-sebut. Shin Tae-yong telah berhasil mengubah wajah sepak bola Indonesia, mengangkat performa timnas senior dan kelompok umur, serta menciptakan antusiasme besar di kalangan penggemar. Keberhasilannya dalam membangun tim dengan materi terbatas dan mengatasi tekanan besar di Indonesia mungkin menjadi daya tarik bagi CFA. Namun, Shin Tae-yong saat ini masih terikat kontrak dengan Timnas Indonesia dan sedang dalam proses negosiasi perpanjangan kontrak, membuat kemungkinan ia pindah ke China cukup kecil.
Terlepas dari siapa pun yang pada akhirnya ditunjuk sebagai pelatih, masalah mendasar sepak bola China tidak akan serta-merta terselesaikan hanya dengan pergantian nakhoda. Dibutuhkan reformasi menyeluruh mulai dari akar rumput: revitalisasi liga domestik, investasi besar dalam pengembangan pemain muda, penataan ulang struktur federasi agar lebih transparan dan profesional, serta mengurangi intervensi politik dalam urusan olahraga. Tanpa perubahan fundamental ini, Timnas China akan terus kesulitan untuk bersaing di level tertinggi, dan impian untuk kembali tampil di Piala Dunia akan tetap menjadi angan-angan belaka. Jalan menuju kebangkitan sepak bola China akan sangat panjang dan berliku, menuntut kesabaran, visi, dan komitmen yang tak tergoyahkan dari semua pihak terkait.
