
Polemik seputar kuota internet yang hangus karena habisnya masa aktif kembali mencuat ke permukaan, memicu perdebatan sengit antara pihak yang mengklaim adanya kerugian negara dan para pakar serta regulator yang menampik pandangan tersebut. Isu ini, yang menyentuh jutaan pengguna seluler di Indonesia, bukan hanya persoalan teknis layanan, tetapi juga melibatkan interpretasi ekonomi, hukum, dan praktik industri telekomunikasi global.
Kontroversi ini bermula dari klaim Indonesia Audit Watch (IAW) yang menyebutkan adanya potensi kerugian negara mencapai Rp 63 triliun per tahun akibat praktik kuota internet hangus. Menurut IAW, paket data yang tidak dipakai pelanggan tersebut seharusnya dianggap sebagai kerugian karena tidak adanya penerimaan negara dari sektor telekomunikasi atas nilai kuota yang tidak terpakai. Angka fantastis ini sontak menarik perhatian publik dan memunculkan pertanyaan besar mengenai bagaimana mekanisme kuota hangus ini seharusnya dipandang dari kacamata keuangan negara.
Namun, klaim IAW ini dibantah keras oleh pakar kebijakan publik Alamsyah Saragih. Ia menegaskan bahwa polemik kuota internet yang hangus tidak bisa dinilai sebagai kerugian negara. Menurut Alamsyah, konsep kerugian negara baru akan relevan jika ada subsidi dari pemerintah untuk layanan telekomunikasi tersebut. "Jika ada subsidi dari pemerintah baru ada kerugian negara. Justru perusahaan telekomunikasi ini membayarkan pajak hasil PPN dari pembelian kuota internet kepada negara," ujar Alamsyah di Jakarta, Rabu (19/7/2025), menjelaskan kontribusi nyata operator seluler terhadap kas negara.
Argumen Alamsyah ini krusial. Dalam konteks ekonomi pasar bebas, operator telekomunikasi beroperasi sebagai entitas bisnis swasta yang menyediakan layanan kepada konsumen. Mereka tidak mendapatkan subsidi langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk operasional layanan kuota data. Sebaliknya, setiap pembelian kuota internet oleh pelanggan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang merupakan salah satu bentuk penerimaan negara yang signifikan. Dengan demikian, meskipun sebagian kecil kuota tidak terpakai, nilai transaksi awal yang menghasilkan PPN sudah tercatat dan disetorkan kepada negara. Ini menunjukkan bahwa negara justru mendapatkan manfaat finansial dari setiap transaksi pembelian kuota, terlepas dari apakah seluruh kuota tersebut digunakan atau tidak oleh konsumen.
Lebih lanjut, Alamsyah juga menyoroti bahwa praktik kuota data internet hangus lantaran masa berlaku telah habis bukan hanya terjadi di Indonesia. Ini adalah mekanisme standar yang diterapkan di sejumlah negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, hingga Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa model bisnis ini adalah praktik global yang diakui dan diterapkan secara luas dalam industri telekomunikasi.
Sebagai contoh, Alamsyah menyebutkan NTT Docomo, penyedia layanan telekomunikasi terbesar di Jepang. Operator ini hanya menawarkan layanan data prabayar dengan masa aktif terbatas, yang umumnya adalah 30 hari. Setelah masa berlaku habis, sisa kuota akan otomatis hilang, tanpa ada sistem pengguliran ke bulan berikutnya atau yang biasa dikenal sebagai "rollover". Praktik serupa juga ditemukan di negara tetangga, Singapura. Operator seluler seperti Singtel dan StarHub memang menerapkan sistem rollover, namun seringkali dengan batasan tertentu, misalnya hanya beberapa gigabyte atau hanya untuk periode tertentu. Sementara itu, M1, operator lain di Singapura, tidak menyertakan rollover otomatis dalam sebagian besar paket prabayar mereka, yang berarti sisa kuota biasanya kedaluwarsa jika paket tidak diperpanjang tepat waktu.
Fenomena global ini mengindikasikan bahwa model penetapan masa aktif pada kuota data adalah bagian integral dari strategi bisnis dan pengelolaan jaringan operator seluler. Masa aktif ini memungkinkan operator untuk mengelola kapasitas jaringan secara efisien, memprediksi beban lalu lintas, dan mencegah akumulasi data yang tidak terbatas yang dapat membebani infrastruktur. Tanpa batasan waktu, pelanggan mungkin cenderung menimbun data dalam jumlah besar, yang bisa menyebabkan ketidakpastian dalam perencanaan kapasitas dan berpotensi menurunkan kualitas layanan bagi pengguna lain.
Pada kesempatan yang sama, Marwan O. Baasir, selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), turut memberikan pandangan yang mendukung posisi bahwa kuota hangus bukan kerugian negara, melainkan bagian dari regulasi yang berlaku. Marwan menjelaskan bahwa operator seluler menyediakan layanan kuota data berdasarkan sejumlah peraturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Dia secara spesifik menyebut ketentuan terkait masa berlaku paket internet yang terdapat dalam Pasal 82 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor 5 Tahun 2021. Pasal ini memberikan kebebasan kepada pelanggan untuk membuat pilihan serta adanya batasan penggunaan sesuai periode yang pelanggan pilih. Ini berarti, konsumen sejak awal sudah diberitahu dan menyetujui batasan waktu penggunaan kuota yang mereka beli.
Lebih jauh, Marwan mengutip Pasal 74 Ayat 2 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2021, yang secara eksplisit menyatakan bahwa "deposit prabayar memiliki batas waktu penggunaan." Regulasi ini menjadi dasar hukum yang kuat bagi operator untuk menerapkan masa berlaku pada layanan prabayar mereka. Frasa "deposit prabayar" sendiri mengacu pada sistem di mana pelanggan membayar di muka untuk mendapatkan akses ke layanan telekomunikasi dalam periode tertentu. Ini berbeda dengan model pascabayar di mana pembayaran dilakukan setelah penggunaan. Dalam model prabayar, nilai yang dibayarkan bukan hanya untuk volume data, tetapi juga untuk akses layanan dalam jangka waktu tertentu.
Ketentuan ini, menurut Marwan, sejalan dengan prinsip transparansi yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU PK) Nomor 8 Tahun 1999. UU PK menekankan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Dalam konteks kuota internet, operator wajib menginformasikan secara transparan mengenai masa berlaku paket yang dibeli. Selama informasi ini disampaikan dengan jelas di awal transaksi, maka praktik kuota hangus adalah sah dan tidak melanggar hak konsumen. Konsumen, dengan informasi tersebut, memiliki kebebasan untuk memilih paket yang sesuai dengan kebutuhan dan pola penggunaan mereka.
Sistem kuota data dengan masa aktif ini juga diatur secara komprehensif dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Telekomunikasi. Regulasi ini mencakup berbagai aspek operasional penyelenggara telekomunikasi, termasuk model layanan prabayar dan pascabayar, kualitas layanan, hingga perlindungan konsumen. Keberadaan aturan yang spesifik ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Kementerian Kominfo telah mengakui dan melegitimasi praktik masa berlaku kuota sebagai bagian dari ekosistem telekomunikasi yang diatur.
Dari sudut pandang bisnis, penerapan masa aktif pada kuota internet juga memiliki alasan yang kuat. Operator seluler memiliki biaya operasional yang sangat besar, mulai dari pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jaringan (tower, fiber optik), biaya lisensi frekuensi, hingga biaya operasional harian. Model prabayar dengan masa aktif membantu operator mengelola arus kas dan memprediksi pendapatan. Jika kuota tidak memiliki masa aktif, ada risiko pelanggan akan membeli kuota dalam jumlah besar dan menggunakannya dalam jangka waktu yang sangat panjang, mengurangi frekuensi pembelian dan berdampak pada keberlanjutan bisnis operator. Ini pada gilirannya dapat menghambat investasi baru dalam peningkatan infrastruktur dan inovasi layanan.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa klaim kerugian negara akibat kuota internet hangus tidak memiliki dasar yang kuat, baik dari perspektif ekonomi, hukum, maupun praktik industri global. Alamsyah Saragih dan ATSI telah secara lugas menjelaskan bahwa operator seluler tidak menerima subsidi pemerintah, melainkan justru berkontribusi pada penerimaan negara melalui PPN. Selain itu, praktik masa aktif kuota adalah standar global yang diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya Permenkominfo No 5 Tahun 2021, dan sejalan dengan prinsip transparansi perlindungan konsumen. Oleh karena itu, kuota internet yang hangus adalah bagian dari model bisnis prabayar yang sah dan diatur, bukan kerugian bagi negara. Pemahaman yang komprehensif mengenai mekanisme ini penting agar publik tidak terjebak dalam narasi yang keliru dan dapat melihat isu ini secara proporsional.
