
Menurut laporan yang pertama kali diungkap oleh The Athletic, Badan Kontrol Keuangan Klub (CFCB) UEFA telah merampungkan serangkaian pemantauan ketat terhadap beberapa klub sepanjang musim 2024/2025. Hasil dari investigasi menyeluruh ini menunjukkan bahwa sejumlah klub gagal memenuhi standar yang ditetapkan oleh regulasi keuangan UEFA, yang kini dikenal sebagai Club Licensing and Financial Sustainability Regulations (CLFSR), sebuah evolusi dari Financial Fair Play (FFP) yang lebih awal.
Chelsea, salah satu raksasa Liga Primer Inggris, menerima hukuman ganda yang mencerminkan pelanggaran serius terhadap aturan finansial. Klub asal London Barat itu didenda total 31 juta Euro. Denda ini terbagi menjadi dua bagian utama: 20 juta Euro untuk pelanggaran aturan keuangan umum, dan tambahan 11 juta Euro karena melanggar aturan biaya skuad. Namun, besaran denda yang harus ditanggung Chelsea berpotensi jauh lebih besar. Sebagai bagian dari kesepakatan penyelesaian dengan UEFA, The Blues bisa saja menghadapi total denda hingga 91 juta Euro, termasuk denda bersyarat yang akan berlaku selama empat tahun ke depan jika mereka gagal mematuhi aturan di masa mendatang.
Salah satu pelanggaran signifikan yang dilakukan Chelsea terkait dengan rasio nilai skuad mereka. Pada tahun sebelumnya, rasio biaya skuad Chelsea dilaporkan melebihi 80 persen dari pendapatan klub, sebuah ambang batas yang ditetapkan oleh UEFA untuk mengendalikan pengeluaran berlebihan pada gaji dan biaya transfer pemain. Akibatnya, Chelsea kini akan menghadapi pembatasan ketat dalam belanja pemain yang masuk daftar A UEFA. Ini berarti, biaya akuisisi pemain baru tidak boleh melebihi nilai pemain yang dilepas, sebuah strategi yang dikenal sebagai "sell to buy" yang akan sangat memengaruhi aktivitas transfer mereka di jendela mendatang. Pembatasan ini bertujuan untuk memaksa klub menyeimbangkan neraca pengeluaran dan pemasukan dari aktivitas transfer, serta mendorong pengelolaan keuangan yang lebih hati-hati.
Pelanggaran keuangan lainnya yang menimpa Chelsea adalah terkait dengan penjualan skuad wanita mereka ke BlueCo, perusahaan induk yang juga memiliki Chelsea, pada akhir Mei lalu. UEFA secara tegas melarang penjualan aset berwujud kepada perusahaan yang memiliki kepemilikan serupa atau "sister company." Praktik semacam ini dianggap sebagai upaya untuk menciptakan pendapatan artifisial yang tidak berasal dari operasional bisnis sepak bola inti, dan dapat digunakan untuk mengakali aturan FFP. UEFA melihat transaksi semacam ini sebagai celah yang dapat dimanfaatkan klub untuk meningkatkan pendapatan secara tidak organik, sehingga mereka memutuskan untuk menutup celah tersebut dengan menjatuhkan sanksi. Meskipun demikian, sumber dari The Athletic melaporkan bahwa perwakilan Chelsea, dalam pembicaraan pada bulan April, menyatakan sikap "santai" terhadap potensi sanksi yang mungkin mereka hadapi, mengindikasikan kepercayaan diri mereka dalam menavigasi situasi ini.
Di sisi lain, raksasa La Liga Spanyol, Barcelona, juga tidak luput dari jerat FFP. Klub Catalan itu didenda sebesar 15 juta Euro atas pelanggaran serupa. Meskipun detail spesifik pelanggaran Barcelona tidak dirinci selengkapnya dalam laporan awal, pelanggaran "serupa" ini kemungkinan besar berkaitan dengan upaya mereka untuk menyeimbangkan keuangan klub melalui penjualan aset atau praktik akuntansi yang tidak sesuai dengan pedoman UEFA. Dalam beberapa tahun terakhir, Barcelona memang dikenal memiliki masalah keuangan yang cukup pelik, bahkan sampai harus mengaktifkan "tuas ekonomi" (penjualan aset masa depan) untuk mendanai aktivitas transfer dan memenuhi persyaratan La Liga. Denda ini menambah beban finansial bagi klub yang sedang berjuang keras untuk kembali ke puncak kejayaan sambil menstabilkan kondisi keuangan mereka.
Selain Chelsea dan Barcelona, beberapa klub lain juga menerima sanksi dari UEFA atas berbagai pelanggaran. Aston Villa, klub Liga Primer Inggris lainnya, dikenai denda total 26 juta Euro, menunjukkan bahwa regulasi FFP berlaku untuk semua klub, tidak hanya yang bermain di kompetisi Eropa. Olympique Lyon dari Prancis didenda 12,5 juta Euro, Besiktas dari Turki 900 ribu Euro, dan Panathinaikos dari Yunani 400 ribu Euro. Setiap denda ini mencerminkan tingkat dan jenis pelanggaran yang berbeda, dari pengeluaran berlebihan hingga masalah transparansi laporan keuangan.
Beberapa klub juga didenda karena jenis pelanggaran yang berbeda namun tetap berkaitan dengan keuangan. Bodo/Glimt dari Norwegia dan FK Sarajevo dari Bosnia-Herzegovina didenda karena laporan keuangan mereka untuk tahun fiskal yang berakhir pada 2023 tidak lengkap. Hal ini menunjukkan pentingnya transparansi dan kelengkapan data dalam pemantauan UEFA. Sementara itu, Wisla Krakow dari Polandia dihukum karena laporan keuangannya terlambat untuk musim 2024/2025, menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap jadwal pelaporan. AS Roma, klub Serie A Italia, juga didenda 3 juta Euro karena melebihi target keuangan yang berakhir pada tahun 2024, mengindikasikan bahwa bahkan klub yang sedang dalam proses perbaikan finansial pun tetap diawasi ketat.
Menariknya, beberapa klub besar yang sebelumnya memiliki masalah FFP atau berada dalam pengawasan ketat, seperti Inter Milan, AC Milan, Paris Saint-Germain (PSG), dan AS Monaco, kali ini dinyatakan aman dari sanksi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh keberhasilan mereka dalam mematuhi kesepakatan penyelesaian sebelumnya dengan UEFA atau karena telah berhasil melakukan restrukturisasi finansial yang signifikan untuk memenuhi persyaratan CLFSR terbaru. Keamanan mereka dari sanksi menunjukkan bahwa dengan perencanaan dan pelaksanaan yang tepat, klub-klub mampu menavigasi kompleksitas regulasi finansial UEFA.
Regulasi FFP, yang kini berkembang menjadi CLFSR, dirancang untuk memastikan bahwa klub-klub beroperasi secara berkelanjutan dari segi finansial. Tiga pilar utama CLFSR adalah Solvensi (memastikan klub dapat membayar utang tepat waktu), Stabilitas (memastikan klub beroperasi dalam batasan anggaran yang sehat), dan Kontrol Biaya (membatasi pengeluaran berlebihan). Aturan ini mengharuskan klub untuk tidak mengeluarkan lebih dari yang mereka hasilkan selama periode pemantauan tertentu. Tujuannya adalah untuk mencegah klub mengakumulasi utang yang tidak berkelanjutan, yang dapat mengancam eksistensi mereka dan mengganggu integritas kompetisi.
UEFA secara historis telah memperketat aturan FFP sejak diperkenalkan pada tahun 2010. Perubahan terbaru pada CLFSR, yang mulai berlaku penuh pada musim 2024/2025, mencakup batasan pengeluaran pada gaji pemain, transfer, dan biaya agen yang tidak boleh melebihi persentase tertentu dari pendapatan klub (awalnya 90%, lalu 80%, dan akhirnya 70%). Aturan ini juga memperkenalkan "break-even requirement," yang mengharuskan klub untuk tidak mencatat kerugian lebih dari batas yang diizinkan selama periode tiga tahun.
Keputusan UEFA untuk menjatuhkan sanksi ini mengirimkan pesan kuat kepada seluruh klub di Eropa bahwa era pengeluaran tanpa batas telah berakhir. Klub-klub harus beradaptasi dengan realitas finansial yang lebih ketat, memprioritaskan keberlanjutan, dan mengembangkan strategi bisnis yang lebih bertanggung jawab. Bagi Chelsea, sanksi ini berarti mereka harus lebih cermat dalam mengelola neraca keuangan dan mungkin harus lebih bergantung pada penjualan pemain atau pengembangan akademi untuk mendanai aktivitas transfer mereka. Sementara bagi Barcelona, denda ini menambah tekanan pada manajemen untuk menemukan solusi jangka panjang bagi masalah keuangan mereka. Penegakan FFP yang berkelanjutan oleh UEFA diharapkan akan menciptakan lingkungan yang lebih adil dan stabil bagi sepak bola Eropa di masa mendatang.
