
Sebuah penemuan ilmiah yang mengubah pandangan kita tentang ekosistem laut purba telah terungkap melalui metode penelitian inovatif. Tim peneliti Jepang, yang sebagian besar berasal dari Universitas Hokkaido, berhasil menyingkap sebuah fakta mengejutkan: lautan pada periode Kapur akhir, sekitar 70 hingga 100 juta tahun yang lalu, ternyata dipenuhi oleh cumi-cumi. Populasi mereka jauh melampaui ikan dan amonit, dua kelompok hewan laut yang sebelumnya diyakini mendominasi lautan pada era tersebut. Penemuan ini dimungkinkan berkat pengembangan teknik baru yang disebut penambangan fosil digital, sebuah pendekatan revolusioner yang memungkinkan para ilmuwan untuk "melihat" ke dalam batuan tanpa merusaknya.
Selama puluhan tahun, para paleontolog menghadapi tantangan besar dalam memahami evolusi dan keberhasilan cumi-cumi di masa lalu. Berbeda dengan ikan atau amonit yang memiliki struktur keras seperti tulang atau cangkang yang mudah memfosil, tubuh cumi-cumi sebagian besar terdiri dari jaringan lunak. Hanya sedikit bagian tubuh mereka, seperti paruh yang terbuat dari kitin, yang memiliki potensi untuk memfosil. Itulah mengapa fosil cumi-cumi dengan jaringan keras sangat jarang ditemukan, meninggalkan celah besar dalam catatan fosil dan membuat proses evolusi serta tingkat keberhasilan mereka di lautan purba menjadi misteri yang belum terpecahkan. Kondisi ini menyulitkan para ilmuwan untuk memperkirakan populasi cumi-cumi atau memahami peran ekologis mereka dalam ekosistem laut purba. Fosil yang ditemukan seringkali kecil, rapuh, dan tersebar, menjadikannya sangat sulit untuk diidentifikasi dan dipelajari dengan metode konvensional.
Menyadari keterbatasan ini, Profesor Madya Yasuhiro Iba dari Universitas Hokkaido, bersama dengan rekan-rekan penelitinya, mengembangkan metode baru yang mengubah permainan: penambangan fosil digital. Teknik inovatif ini melibatkan pemotretan bagian dalam batuan dalam irisan melingkar yang sangat tipis dan beresolusi tinggi. Prosesnya dimulai dengan memoles batuan yang mengandung fosil hingga permukaannya sangat halus. Kemudian, permukaan yang telah dipoles tersebut difoto secara berulang-ulang, setiap kali dengan menghilangkan lapisan batuan setebal beberapa nanometer. Bayangkan sebuah pemindaian MRI, tetapi untuk batuan purba dan dengan tingkat detail yang jauh lebih tinggi. Setiap irisan yang difoto kemudian digabungkan secara digital untuk menciptakan rekonstruksi tiga dimensi (3D) dari struktur internal batuan dalam warna penuh dan resolusi tinggi. Metode ini memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi dan menganalisis fosil-fosil mikroskopis yang terperangkap di dalam batuan tanpa perlu mengekstraknya secara fisik, sebuah proses yang seringkali merusak atau menghancurkan spesimen yang rapuh.
Dengan menggunakan teknik canggih ini, tim tersebut meneliti batuan dari lapisan Kapur akhir di Hokkaido, Jepang, sebuah wilayah yang kaya akan catatan geologis dari periode tersebut. Fokus utama mereka adalah membandingkan jumlah dan jenis fosil cumi-cumi dengan fosil ikan dan amonit yang berasal dari periode geologi yang sama. Perbandingan ini dilakukan untuk memperkirakan kepadatan populasi masing-masing kelompok hewan tersebut dan memahami dinamika ekosistem laut pada masa itu. Pendekatan digital ini tidak hanya memungkinkan identifikasi fosil yang sebelumnya tidak terlihat, tetapi juga memberikan data kuantitatif yang lebih akurat mengenai kelimpahan relatif berbagai spesies.
Hasil penelitian ini sangat mencengangkan dan mengubah paradigma. Dikutip dari Japan Times, studi tersebut menemukan fakta bahwa lebih banyak cumi-cumi yang hidup di lautan pada periode Kapur daripada ikan dan amonit, dua kelompok hewan laut yang selama ini diketahui berkembang biak secara masif dan mendominasi lautan purba. Secara total, melalui metode penambangan fosil digital, tim tersebut berhasil menemukan 1.000 fosil paruh sefalopoda, yang merupakan satu-satunya bagian tubuh cumi-cumi yang keras dan cenderung memfosil. Dari jumlah tersebut, sebanyak 263 di antaranya adalah fosil cumi-cumi, sebuah angka yang signifikan mengingat kelangkaan fosil cumi-cumi di masa lalu. Lebih menakjubkan lagi, 39 dari 40 spesies cumi-cumi yang berhasil diidentifikasi merupakan spesies baru yang sebelumnya belum pernah tercatat dalam ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan keanekaragaman cumi-cumi yang luar biasa pada periode tersebut, jauh melampaui apa yang pernah dibayangkan.
Penemuan ini memiliki implikasi besar terhadap pemahaman kita tentang evolusi cumi-cumi dan ekologi laut purba. Fosil cumi-cumi tertua yang ditemukan dalam penelitian ini berasal dari sekitar 100 juta tahun yang lalu. Fakta bahwa fosil serupa belum ditemukan di formasi geologi sebelumnya menunjukkan kemungkinan kemunculan cumi-cumi modern selama periode Kapur awal hingga pertengahan. Yang lebih menarik adalah bukti diversifikasi cumi-cumi yang pesat selama sekitar 6 juta tahun setelah kemunculan awal mereka. Periode Kapur merupakan era geologis yang dinamis, ditandai oleh perubahan iklim, pergerakan lempeng tektonik, dan evolusi berbagai bentuk kehidupan. Lautan pada masa itu hangat dan produktif, menyediakan banyak sumber makanan dan relung ekologis bagi organisme laut. Dalam lingkungan seperti itu, cumi-cumi dengan kemampuan adaptasi luar biasa seperti kamuflase, kecepatan berenang, dan strategi berburu yang cerdas, mungkin menemukan peluang besar untuk berkembang biak dan mendiversifikasi diri.
Dominasi cumi-cumi di lautan Kapur menunjukkan bahwa mereka kemungkinan memainkan peran ekologis yang sangat penting dalam jaring makanan purba. Sebagai predator lincah, mereka mungkin menjadi konsumen utama bagi ikan kecil, krustasea, dan bahkan amonit. Keberhasilan evolusioner mereka juga bisa jadi merupakan respons terhadap tekanan seleksi dari predator lain atau persaingan untuk sumber daya. Kemampuan mereka untuk berkembang biak dengan cepat dan beradaptasi dengan berbagai lingkungan laut mungkin menjadi kunci dominasi mereka. Penemuan ini secara fundamental mengubah narasi tentang lautan Kapur, yang sebelumnya sering digambarkan sebagai dunia yang didominasi oleh dinosaurus laut besar, ikan bertulang, dan amonit yang berlimpah. Kini, kita harus membayangkan lautan yang juga dipenuhi oleh kawanan cumi-cumi purba, yang mungkin berburu dan berinteraksi dalam cara yang kompleks.
Metode penambangan fosil digital ini membuka jalan baru untuk penelitian paleontologi di masa depan. Tidak hanya untuk cumi-cumi, tetapi juga untuk organisme bertubuh lunak lainnya yang jarang meninggalkan jejak fosil. Bayangkan potensi untuk mengungkap kehidupan purba dari ubur-ubur, cacing laut, atau organisme mikroskopis lainnya yang sebelumnya dianggap "tidak terlihat" dalam catatan fosil. Teknologi ini berpotensi merevolusi cara kita mempelajari sejarah kehidupan di Bumi, memungkinkan para ilmuwan untuk mengakses informasi yang sebelumnya tidak dapat dijangkau dan mengisi celah-celah penting dalam pemahaman kita tentang evolusi.
Studi ini tidak hanya memberikan wawasan baru tentang cumi-cumi purba, tetapi juga menegaskan pentingnya inovasi teknologi dalam ilmu pengetahuan. Batasan-batasan yang sebelumnya dianggap tidak dapat diatasi dalam paleontologi kini dapat diterobos berkat pengembangan metode-metode baru yang cerdas dan canggih. Penemuan ini adalah bukti bahwa masih banyak misteri yang menunggu untuk dipecahkan dari masa lalu Bumi, dan kunci untuk mengungkapnya seringkali terletak pada cara-cara baru dalam melihat bukti-bukti lama. Keberhasilan tim Universitas Hokkaido ini diharapkan akan memicu penelitian lebih lanjut, tidak hanya di Hokkaido tetapi juga di situs-situs geologis lainnya di seluruh dunia, untuk mencari lebih banyak bukti tentang dominasi cumi-cumi dan organisme bertubuh lunak lainnya di lautan purba. Pada akhirnya, penemuan ini memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas dan dinamisme ekosistem laut sepanjang sejarah geologi Bumi, mengingatkan kita bahwa setiap era memiliki penguasa tak terduga yang menunggu untuk ditemukan.
