Lucy Guo: Mengungkap Paradoks Kemewahan, Mengapa Miliarder Hidup Sederhana dan Jutawan Justru Suka Pamer

Lucy Guo: Mengungkap Paradoks Kemewahan, Mengapa Miliarder Hidup Sederhana dan Jutawan Justru Suka Pamer

Di tengah sorotan global terhadap gaya hidup super kaya, Lucy Guo, salah satu pendiri startup kecerdasan buatan (AI) terkemuka, Scale AI, sekaligus miliarder wanita termuda di dunia yang merintis usahanya sendiri, melontarkan pandangan yang mengejutkan. Menurutnya, tindakan pamer kemewahan dan harta benda justru lebih sering dilakukan oleh para jutawan, bukan miliarder. Tentu saja, ia merujuk pada definisi jutawan dan miliarder dalam mata uang Dolar Amerika Serikat, di mana kekayaan mereka mencapai jutaan atau miliaran dolar. Paradoks ini membuka tirai di balik psikologi kekayaan dan bagaimana status finansial memengaruhi perilaku individu.

Lucy Guo, yang kini berusia 30 tahun, mengakui bahwa ia sendiri pernah terjerumus dalam pola perilaku tersebut di masa lalu. "Saya mengakuinya, saya pernah melakukan pesta belanja itu ketika saya merasa tak aman dan merasa perlu menunjukkan sesuatu," ungkapnya kepada Fortune. Ia mengenang bagaimana dulu ia gemar memamerkan arloji mewah Patek Philippe dan tas Hermes, simbol-simbol kemewahan yang sering diasosiasikan dengan status tinggi. Namun, kini, dengan estimasi kekayaan bersih sekitar USD 1,3 miliar atau setara dengan sekitar Rp 21 triliun berdasarkan data Forbes, ia tidak lagi merasakan kebutuhan untuk memproyeksikan kekayaannya melalui barang-barang material. Transformasi ini mencerminkan perjalanan pribadi dari validasi eksternal menuju kemapanan diri yang lebih dalam.

Guo secara resmi bergabung dengan jajaran orang terkaya di dunia pada bulan April lalu, menurut laporan Forbes, sebuah pencapaian yang menempatkannya di posisi terdepan sebagai miliarder wanita termuda yang merintis usahanya sendiri, bahkan mengungguli bintang pop kenamaan Taylor Swift. Pengalaman pribadinya dan observasinya terhadap lingkaran sosialnya yang didominasi oleh individu-individu super kaya memberinya perspektif unik tentang bagaimana uang memengaruhi perilaku. Ia berpendapat bahwa mereka yang sering menghamburkan uang untuk barang-barang bermerek atau mobil mewah biasanya berada di golongan jutawan, terutama multi-jutawan. "Semua teman mereka multijutawan atau miliarder, dan mereka merasa sedikit tidak aman, jadi mereka merasa perlu tampil mencolok untuk menunjukkan kepada orang lain, ‘Lihat, saya sukses,’" jelasnya. Ini adalah cerminan dari kecenderungan manusia untuk membandingkan diri dengan orang lain, dan dalam konteks kekayaan, seringkali memicu dorongan untuk "mengejar" atau "menyamai" status yang dirasakan.

Selain itu, Lucy Guo juga menyoroti fenomena lain yang memengaruhi perilaku para miliarder di Amerika Serikat. Ia menyebut bahwa banyaknya kritik dan sentimen negatif terhadap miliarder di AS, yang seringkali dianggap sebagai representasi kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan, menyebabkan banyak orang kaya cenderung merendahkan atau menyembunyikan gaya hidup mewah mereka. "Orang ingin menunjukkan, ‘Lihat, saya bukan miliarder biasa. Saya hemat,’" cetusnya, seperti yang dikutip detikINET dari VNExpress. Ini bisa diartikan sebagai bentuk "kerendahan hati performatif," di mana para miliarder berusaha menunjukkan sisi yang lebih membumi untuk menghindari stigma atau reaksi negatif dari masyarakat. Mereka menyadari bahwa di era informasi saat ini, setiap tindakan dan pengeluaran mereka dapat dengan mudah dipantau dan dikritik.

Dalam kehidupan sehari-hari, Lucy Guo mengklaim bahwa ia kini menjalani gaya hidup yang sangat sederhana. Ia mengendarai Honda Civic tua, sebuah pilihan yang kontras dengan koleksi mobil mewah yang mungkin dimiliki oleh rekan-rekannya di Silicon Valley. Untuk kebutuhan belanja pakaian, ia bahkan tidak ragu untuk berbelanja di toko online murah seperti Shein, meskipun ia tetap menyimpan beberapa pakaian desainer untuk acara-acara khusus yang memang memerlukannya. Gaya hidup minimalis ini bukan karena keterbatasan finansial, melainkan sebuah pilihan sadar yang merefleksikan nilai-nilai barunya. Ia percaya bahwa sebagian besar miliarder pada akhirnya mengadopsi gaya hidup kasual karena mereka tidak lagi merasakan kebutuhan untuk membuat orang lain terkesan. "Mereka tidak perlu mengenakan setelan jas 24/7 karena mereka sudah selesai membuktikan diri kepada seluruh dunia. Seluruh dunia hanya menjilat mereka," katanya.

Pernyataan ini mencerminkan titik balik psikologis yang sering dialami oleh individu yang telah mencapai puncak kesuksesan finansial. Setelah melewati rintangan demi rintangan, membangun kekayaan yang melimpah, dan membuktikan kemampuan diri kepada dunia, kebutuhan akan validasi eksternal secara bertahap menghilang. "Dan saya pikir begitulah yang saya rasakan, saat saya melewati rintangan itu. Saya tak perlu membuktikan diri pada siapa pun," imbuhnya, menekankan bahwa kebebasan sejati datang dari kemerdekaan batin, bukan dari akumulasi barang-barang mewah. Ini adalah pelajaran penting tentang kepuasan diri, di mana nilai diri tidak lagi diukur dari apa yang dimiliki, melainkan dari apa yang telah dicapai dan siapa diri mereka sebenarnya.

Kisah Lucy Guo tidak bisa dilepaskan dari perjalanan kewirausahaannya yang luar biasa. Ia mendirikan perusahaan pelabelan data, Scale AI, bersama Alexandr Wang, yang kini berusia 28 tahun dan telah menjadi miliarder termuda di dunia dengan kekayaan bersih USD 3,6 miliar. Scale AI adalah perusahaan yang sangat penting di balik perkembangan kecerdasan buatan. Mereka menyediakan data berlabel berkualitas tinggi yang menjadi "bahan bakar" utama bagi algoritma AI untuk belajar dan berkembang. Misalnya, untuk melatih mobil otonom agar dapat mengenali pejalan kaki atau rambu lalu lintas, data video harus dilabeli secara akurat, dan inilah yang dilakukan Scale AI. Setelah periode kolaborasi yang sukses, jalan mereka berpisah. Saat ini, Alexandr Wang telah direkrut oleh Meta, raksasa teknologi yang dipimpin oleh Mark Zuckerberg, untuk berkontribusi pada proyek-proyek AI mereka.

Adapun Lucy Guo, ia kini menjabat sebagai CEO Passes, sebuah platform inovatif yang ia luncurkan pada tahun 2022. Passes dirancang untuk membantu kreator digital memonetisasi konten mereka secara lebih efektif dan langsung, memberikan mereka alat untuk membangun komunitas yang loyal dan menghasilkan pendapatan dari karya-karya mereka. Platform ini menunjukkan pergeseran fokus Lucy dari infrastruktur AI yang masif ke pemberdayaan individu dalam ekonomi kreator. Awal tahun ini, Passes berhasil mengumpulkan USD 40 juta dalam putaran pendanaan Seri A, sebuah bukti kepercayaan investor terhadap visi dan potensi platform tersebut di tengah booming ekonomi kreator. Pendanaan ini akan memungkinkan Passes untuk terus mengembangkan fitur-fiturnya dan memperluas jangkauannya, memberikan lebih banyak kesempatan bagi para kreator untuk berkembang.

Filosofi hidup Lucy Guo menawarkan sudut pandang yang menyegarkan tentang kekayaan. Ia menunjukkan bahwa akumulasi kekayaan yang masif tidak selalu berbanding lurus dengan kebutuhan untuk memamerkannya. Sebaliknya, seringkali justru mereka yang masih dalam tahap "membuktikan diri" secara finansial yang merasa perlu untuk menampilkan kemewahan. Bagi miliarder sejati yang telah melewati fase tersebut, validasi datang dari pencapaian, inovasi, dan dampak yang mereka ciptakan, bukan dari jam tangan mahal atau mobil mewah. Kisah Lucy Guo adalah pengingat bahwa kebebasan sejati bukan terletak pada seberapa banyak yang bisa Anda beli, melainkan pada seberapa sedikit Anda merasa perlu untuk membeli demi menunjukkan kepada orang lain. Ini adalah sebuah cerminan tentang perubahan nilai-nilai di kalangan elit global, di mana keberlanjutan, inovasi, dan dampak sosial semakin dihargai dibandingkan dengan konsumsi berlebihan.

Lucy Guo: Mengungkap Paradoks Kemewahan, Mengapa Miliarder Hidup Sederhana dan Jutawan Justru Suka Pamer

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *