
Kondisi infrastruktur internet di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal pemerataan akses dan kualitas layanan yang optimal. Di tengah pesatnya pertumbuhan layanan digital dan lonjakan signifikan trafik data, rendahnya penetrasi pembangunan infrastruktur digital di seluruh pelosok negeri menjadi isu krusial yang menghambat terciptanya ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan. Fenomena ini diperparah oleh dinamika antara operator telekomunikasi lokal yang menanggung beban investasi infrastruktur, dan platform Over-the-Top (OTT) global yang menikmati keuntungan besar tanpa kontribusi setara terhadap pembangunan jaringan.
Agung Harsoyo, anggota Dewan Pengawas Masyarakat Telematika (Mastel), secara tegas menyoroti ketimpangan ini. Menurutnya, platform digital raksasa seperti Facebook, Google, dan Netflix menghasilkan lonjakan trafik data yang masif, memaksa operator telekomunikasi untuk terus-menerus melakukan ekspansi dan peningkatan infrastruktur guna menjaga kualitas layanan. Ironisnya, meskipun platform-platform tersebut sangat bergantung pada jaringan yang dibangun dan dipelihara oleh operator, mereka tidak memberikan kontribusi finansial yang sepadan untuk biaya pembangunan atau pemeliharaan jaringan tersebut. Ini menciptakan beban berat bagi operator domestik yang harus terus berinvestasi triliunan rupiah setiap tahunnya untuk memenuhi permintaan trafik yang terus meningkat, sementara margin keuntungan mereka tertekan.
Dukungan terhadap pandangan ini juga datang dari ranah legislatif. Agung Harsoyo mengamini pernyataan Wakil Ketua Komisi VI DPR, Andre Rosiade, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR bersama jajaran Direksi Telkom dan Subholding pada Rabu, 3 Juli 2025. Andre Rosiade secara gamblang menyoroti disparitas mencolok: operator telekomunikasi di Indonesia melakukan investasi besar-besaran untuk membangun dan memperluas jaringan, namun keuntungan finansial yang signifikan justru mengalir ke kantong platform OTT global. Situasi ini tidak hanya merugikan operator, tetapi juga menghambat kemampuan mereka untuk berinvestasi lebih jauh dalam pemerataan infrastruktur, khususnya di daerah-daerah terpencil yang secara ekonomi kurang menguntungkan untuk pembangunan jaringan.
Menurut Agung, urgensi regulasi terhadap OTT tidak hanya akan menguntungkan Telkom sebagai salah satu pemain utama, melainkan juga seluruh operator telekomunikasi dan pelaku industri digital di Indonesia. Regulasi yang adil dan mengikat akan menciptakan ekosistem digital yang seimbang, berkelanjutan, dan mampu mendorong pemerataan layanan di seluruh wilayah. Tanpa kerangka regulasi yang jelas, masalah "free rider" ini akan terus berlanjut, memperlebar kesenjangan digital dan menghambat potensi penuh ekonomi digital Indonesia.
Lebih lanjut, Agung Harsoyo menekankan pentingnya peran pemerintah sebagai "arsitek" yang merancang model kerja sama yang adil antara OTT dan operator. Ia merujuk pada beberapa model internasional yang bisa menjadi inspirasi. Salah satunya adalah "Fair Share Model" yang diterapkan di Korea Selatan, yang berbasis volume trafik (cost recovery). Dalam model ini, platform OTT yang menghasilkan trafik besar diharapkan berkontribusi pada biaya operasional dan investasi jaringan sesuai dengan volume data yang mereka gunakan. Model lain yang patut dipertimbangkan adalah "Revenue Sharing" yang digagas India, di mana sebagian pendapatan OTT dari iklan dan langganan dibagi dengan operator telekomunikasi. Kedua model ini menawarkan pendekatan yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama: memastikan adanya kontribusi balik dari pihak yang paling diuntungkan oleh penggunaan infrastruktur.
Isu regulasi OTT juga memiliki dimensi keamanan dan kedaulatan nasional yang tidak kalah penting. Agung sebelumnya menyoroti maraknya penipuan melalui layanan OTT seperti WhatsApp, yang sering disalahgunakan untuk pengiriman OTP (One Time Password) atau skema penipuan lainnya. Kondisi ini diperparuk oleh fakta bahwa sebagian besar data pengguna OTT global disimpan di luar negeri, menyulitkan penegakan hukum dan pengawasan oleh otoritas Indonesia. Ketiadaan regulasi yang mampu mengatur kewajiban mereka secara adil di Indonesia berarti negara memiliki keterbatasan dalam melindungi warga negaranya dari ancaman siber dan memastikan kedaulatan data.
Indonesia sebenarnya telah memiliki kerangka pengaturan awal mengenai kerja sama antara OTT dan penyelenggara telekomunikasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, serta Peraturan Menteri Kominfo (PM) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Namun, seperti yang diungkapkan Agung, regulasi-regulasi tersebut bersifat non-imperatif atau tidak mengikat secara hukum, menjadikannya sekadar pedoman tanpa kekuatan memaksa. Hal ini disebabkan oleh tarik-menarik kepentingan pada awal penyusunan regulasi.
Pada fase awal penyusunan, pemerintah mencanangkan kewajiban kerja sama antara OTT dan operator sebagai kewajiban hukum yang mengikat. Namun, proses ini terhambat oleh perbedaan pandangan yang signifikan antara pihak "pro-investasi" dan "pro-kedaulatan". Pihak pro-investasi berargumen bahwa regulasi yang terlalu ketat dapat menghambat masuknya investasi asing dan inovasi dari perusahaan teknologi global, yang pada akhirnya dapat merugikan pertumbuhan ekonomi digital nasional. Mereka khawatir bahwa kewajiban kontribusi finansial akan membuat platform OTT enggan beroperasi atau berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, pihak pro-kedaulatan menekankan pentingnya perlindungan kepentingan nasional, termasuk kedaulatan data, keamanan siber, dan memastikan bahwa perusahaan global berkontribusi secara adil terhadap ekosistem yang mereka manfaatkan.
Akhirnya, pemerintah pada saat itu memilih pendekatan "pro-investasi", yang mengakibatkan kerja sama antara OTT dan operator tidak lagi diwajibkan secara eksplisit dalam PP 46/2021 dan PM Kominfo 5/2021. Keputusan ini, meskipun bertujuan menarik investasi, justru menciptakan celah yang memungkinkan platform global untuk terus memanfaatkan infrastruktur nasional tanpa kontribusi yang signifikan, memperparah ketimpangan dan membebani operator domestik.
Dalam situasi ini, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan baru harus mengambil langkah yang lebih berani dan progresif untuk memperkuat posisi nasional dalam ekosistem digital global. Menurut Agung Harsoyo, langkah awal yang fundamental adalah memperkuat regulasi yang ada agar bersifat imperatif dan mewajibkan kerja sama antara OTT dan operator telekomunikasi. Langkah ini krusial untuk memastikan bahwa penggunaan infrastruktur nasional oleh platform OTT global diimbangi dengan kontribusi nyata yang proporsional, baik dalam bentuk finansial maupun non-finansial, yang dapat digunakan kembali untuk pengembangan dan pemerataan infrastruktur.
Sejalan dengan desakan ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menunjukkan komitmennya melalui perumusan peta jalan kebijakan Komdigi. Peta jalan ini dirancang sebagai langkah strategis dalam memperkuat ekosistem digital nasional dan mendukung program pemerintahan Presiden Prabowo. Edwin Hidayat Abdullah, Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, dalam kesempatan lain, menjelaskan bahwa fokus utama Komdigi pada periode 2025-2030 adalah penguatan fondasi ekosistem digital, dengan prioritas utama pada pembangunan dan pemerataan infrastruktur digital nasional.
Arah kebijakan Komdigi ini menunjukkan kesadaran pemerintah akan urgensi kolaborasi dan kontribusi yang seimbang dari seluruh pelaku ekosistem digital, termasuk platform OTT global. Dengan mendorong kontribusi yang adil, pemerintah berharap beban pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur digital tidak sepenuhnya ditanggung oleh operator telekomunikasi nasional. Ini adalah langkah penting menuju visi Indonesia yang terkoneksi secara merata, di mana setiap warga negara memiliki akses setara ke layanan digital berkualitas, sekaligus memastikan bahwa kedaulatan digital dan kepentingan nasional tetap terjaga di tengah lanskap digital yang semakin kompleks dan terglobalisasi. Regulasi yang kuat dan implementasi yang tegas akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif dan berkelanjutan, memastikan bahwa keuntungan dari transformasi digital dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
