
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, secara serius menyoroti urgensi pemutakhiran data pelanggan telekomunikasi di Indonesia, sebuah langkah krusial dalam upaya menekan angka kejahatan siber dan penipuan yang semakin merajalela. Dalam sebuah Rapat Kerja yang intensif dengan Komisi I DPR pada Senin, 7 Juli 2025, Meutya Hafid mengungkapkan rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) baru yang secara spesifik akan mengatur sanksi bagi penyelenggara telekomunikasi yang terbukti mengabaikan kewajiban pemutakhiran data pelanggan mereka. Inisiatif ini menandai babak baru dalam komitmen pemerintah untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman, transparan, dan bertanggung jawab.
Regulasi yang berlaku saat ini memang telah menetapkan bahwa satu Nomor Induk Kependudukan (NIK) hanya dapat digunakan untuk mendaftarkan maksimal tiga nomor telepon seluler pada satu operator yang sama. Aturan ini dirancang untuk membatasi penyalahgunaan identitas dan mempermudah pelacakan jika terjadi tindak pidana. Namun, kelemahan mendasar dari regulasi yang ada adalah absennya klausul mengenai sanksi. Ketiadaan sanksi inilah yang membuat aturan tersebut menjadi tumpul dan kurang efektif dalam mendorong kepatuhan operator. "Ini yang kita sedang exercise, mungkin kami akan keluarkan permen baru yang mengatur sanksi bagi operator seluler yang tidak mematuhi itu," ujar Meutya, menegaskan urgensi dan keseriusan pemerintah dalam merespons celah hukum ini. Sanksi yang akan diterapkan diharapkan dapat bervariasi, mulai dari denda administratif yang progresif, pembatasan layanan, hingga peninjauan ulang izin operasi, tergantung pada tingkat pelanggaran dan dampaknya.
Kebutuhan akan sanksi yang tegas dan terukur menjadi krusial untuk memastikan kepatuhan penyelenggara telekomunikasi terhadap regulasi yang berlaku. Tanpa adanya konsekuensi hukum yang jelas, operator cenderung kurang termotivasi untuk mengalokasikan sumber daya yang memadai demi menjaga akurasi dan integritas data pelanggan. Padahal, data pelanggan yang tidak valid atau kedaluwarsa menjadi celah empuk bagi para pelaku kejahatan siber untuk melancarkan berbagai modus penipuan, seperti phishing, penipuan berkedok undian, pemerasan, hingga bahkan mendukung aktivitas terorisme dan perjudian ilegal. Fenomena maraknya penipuan melalui panggilan telepon dan pesan singkat yang tidak dapat dilacak secara akurat menjadi indikator nyata betapa mendesaknya pembaruan regulasi ini.
Menyadari kompleksitas dan skala permasalahan ini, Menkomdigi beserta jajaran timnya telah secara proaktif mengadakan pertemuan dengan berbagai operator seluler di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, pemerintah secara tegas meminta seluruh operator untuk segera melakukan pemutakhiran data pelanggan secara menyeluruh guna memastikan bahwa setiap nomor telepon seluler terdaftar sesuai dengan NIK yang valid dan terkini. Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk menertibkan administrasi, tetapi juga sebagai strategi fundamental dalam memerangi permasalahan penipuan yang kian canggih dan merugikan masyarakat.
Tantangan dalam proses pemutakhiran data ini tidaklah kecil. Indonesia memiliki jumlah pelanggan seluler yang sangat masif, mencapai angka sekitar 360 juta nomor. Angka ini mencerminkan betapa besarnya upaya logistik dan teknis yang harus dikerahkan oleh para operator. "Pada prinsipnya, kami menyampaikan kepada operator seluler untuk melakukan pemutakhiran data, ini sudah kami sampaikan juga secara publik. Ini sangat rumit karena 360 nomor, jadi monggo kalau DPR mau melakukan pengawasan khusus terhadap bagaimana operator seluler melakukan pemutakhiran data sesuai instruksi Kementerian Komdigi," tutur Meutya, menyoroti skala tantangan dan mengundang pengawasan dari pihak legislatif. Proses ini memerlukan koordinasi yang erat antara operator dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri untuk memvalidasi data NIK secara akurat, serta edukasi kepada masyarakat agar proaktif dalam memperbarui data mereka.
Selain itu, Meutya juga menyoroti karakteristik unik pelanggan seluler di Indonesia yang membedakannya dari negara-negara lain. Mayoritas pelanggan di Tanah Air adalah pengguna prabayar, dengan persentase yang sangat dominan. "Kita memiliki kekhasan pelanggan di mana prabayar menempati 96,3%, sedangkan pascabayar itu 3,7%. Model ini yang saya rasa di negara lain tidak begini, yang banyak itu pascabayar," kata Meutya. Model prabayar, meskipun menawarkan fleksibilitas dan aksesibilitas yang tinggi bagi masyarakat luas, juga membawa implikasi tersendiri dalam hal pengawasan dan penelusuran identitas. Nomor prabayar cenderung lebih mudah didapatkan dan dibuang, menjadikannya pilihan favorit bagi para pelaku kejahatan yang ingin bersembunyi di balik anonimitas. Di negara-negara maju, model pascabayar lebih umum karena memungkinkan operator untuk melakukan verifikasi identitas yang lebih ketat melalui pemeriksaan kredit dan dokumen resmi, sehingga meminimalkan risiko penyalahgunaan.
Lebih lanjut, dalam konteks inovasi teknologi, Meutya juga membahas adopsi Embedded Subscriber Identity Module (eSIM) di Indonesia. Meskipun teknologi eSIM menawarkan berbagai kemudahan dan fitur keamanan yang lebih canggih dibandingkan kartu SIM fisik, tingkat pemanfaatannya di Indonesia masih tergolong rendah. Dari sekitar 25 juta smartphone yang telah mendukung fitur SIM virtual ini, baru sekitar satu juta pengguna yang benar-benar memanfaatkannya. Angka ini menunjukkan potensi besar yang belum tergali.
Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Digital, melihat eSIM sebagai salah satu solusi strategis untuk meningkatkan keamanan data pelanggan. "Ketika mereka melakukan migrasi itu sebetulnya dilakukan pendataan ulang, biometrik, dan kemudian kita dorong layanan-layanan IoT lainnya. Dan karena itu, sebetulnya kami mendorong untuk juga manfaat keamanan dan layanan lebih baik bagi masyarakat luas," ungkap Meutya. Migrasi ke eSIM, secara inheren, mengharuskan pengguna untuk melakukan proses pendaftaran ulang dan verifikasi biometrik yang lebih ketat. Proses ini secara otomatis akan memperbarui dan memvalidasi data identitas pelanggan, menjadikannya lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, eSIM juga membuka peluang untuk pengembangan layanan Internet of Things (IoT) yang lebih luas dan aman, mendukung visi Indonesia sebagai negara dengan ekosistem digital yang terintegrasi dan aman.
Rencana penerbitan Permen baru terkait sanksi bagi operator telekomunikasi yang lalai dalam pemutakhiran data pelanggan merupakan langkah progresif dan sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan kejahatan siber yang terus berkembang. Ini adalah bagian integral dari upaya pemerintah yang lebih luas untuk membangun ekosistem digital yang kuat, aman, dan dapat dipercaya. Data pelanggan yang akurat dan terverifikasi adalah fondasi utama untuk menciptakan ruang siber yang bersih dari aktivitas ilegal dan penipuan. Dengan adanya sanksi yang jelas, operator akan memiliki insentif yang kuat untuk berinvestasi dalam sistem dan proses pemutakhiran data yang lebih baik, serta untuk secara aktif mendorong pelanggan mereka agar memvalidasi identitas.
Kolaborasi antara pemerintah, operator telekomunikasi, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan inisiatif ini. Pemerintah bertugas membuat regulasi yang kuat dan konsisten, operator bertanggung jawab penuh atas implementasi dan kepatuhan, sementara masyarakat memiliki peran penting untuk proaktif dalam menjaga data pribadi mereka tetap akurat dan terverifikasi. Pada akhirnya, semua upaya ini bermuara pada satu tujuan: melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan siber, memastikan transaksi digital yang aman, dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang berkelanjutan di masa depan. Permen baru ini diharapkan tidak hanya menjadi payung hukum, tetapi juga pendorong utama terciptanya budaya kepatuhan dan tanggung jawab di seluruh rantai nilai industri telekomunikasi nasional.
