
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui pernyataan resminya pada Sabtu, 19 Juli 2025, secara tegas membantah adanya rencana pemerintah untuk membatasi layanan panggilan suara dan video berbasis internet atau Voice over Internet Protocol (VoIP), termasuk yang disediakan oleh aplikasi populer seperti WhatsApp Call. Bantahan ini disampaikan langsung oleh Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyusul maraknya pemberitaan dan kekhawatiran publik terkait wacana pembatasan layanan esensial tersebut.
"Saya tegaskan pemerintah tidak merancang ataupun mempertimbangkan pembatasan WhatsApp Call. Informasi yang beredar tidak benar dan menyesatkan," ujar Meutya dalam pernyataan tertulisnya, menepis spekulasi yang telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat luas. Pernyataan ini bertujuan untuk meluruskan informasi dan menenangkan kekhawatiran pengguna internet di Indonesia yang sangat bergantung pada layanan VoIP untuk komunikasi sehari-hari, baik personal maupun profesional.
Meutya menjelaskan bahwa akar dari pemberitaan yang menyesatkan ini adalah adanya usulan atau pandangan dari beberapa kalangan industri telekomunikasi, termasuk Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel). Usulan tersebut disampaikan dalam konteks diskusi mengenai penataan ekosistem digital secara menyeluruh, termasuk bagaimana menyelaraskan hubungan antara penyedia layanan over-the-top (OTT) global dengan operator jaringan telekomunikasi lokal. Namun, Meutya menekankan bahwa usulan tersebut hanya sebatas masukan dan belum pernah dibahas dalam forum pengambilan kebijakan resmi pemerintah. "Usulan tersebut belum pernah menjadi bagian dari agenda resmi kementerian," tegasnya, mengklarifikasi bahwa tidak ada langkah konkret atau niat kebijakan yang mengarah pada pembatasan layanan digital tersebut.
Menkomdigi juga menyampaikan permohonan maaf atas keresahan yang timbul di masyarakat akibat informasi yang simpang siur. Ia telah menginstruksikan jajaran terkait di Kementerian Komdigi untuk segera melakukan klarifikasi internal dan memastikan bahwa tidak ada kebijakan yang diarahkan pada pembatasan layanan digital yang vital bagi kehidupan modern. Komitmen kementerian saat ini tetap fokus pada agenda prioritas nasional yang telah ditetapkan, antara lain perluasan akses internet di wilayah tertinggal dan terpencil, peningkatan literasi digital di seluruh lapisan masyarakat, serta penguatan keamanan dan perlindungan data di ruang digital. Ini menunjukkan bahwa fokus utama Komdigi adalah memajukan konektivitas dan keamanan siber, bukan membatasi akses masyarakat terhadap teknologi.
Wacana Awal yang Menimbulkan Keresahan: Mengapa Ide Pembatasan Muncul?
Sebelumnya, isu mengenai potensi pembatasan panggilan telepon dan video di layanan VoIP seperti WhatsApp, Skype, Instagram, Zoom, hingga Google Meet memang sempat mencuat ke permukaan. Wacana ini, meskipun kini telah dibantah oleh Menkomdigi, berawal dari diskusi internal di Kementerian Komunikasi dan Digital. Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Kementerian Komdigi, Denny Setiawan, pada Kamis, 16 Juli 2025, menjelaskan latar belakang munculnya ide tersebut.
Menurut Denny, wacana ini didorong oleh adanya ketidakseimbangan yang signifikan antara penyedia infrastruktur telekomunikasi (operator seluler) dengan penyedia layanan over-the-top (OTT) global. Operator telekomunikasi di Indonesia melakukan investasi yang sangat besar untuk membangun dan memelihara jaringan internet hingga ke berbagai pelosok daerah. Investasi ini mencakup pembangunan menara BTS, fiber optik, dan infrastruktur pendukung lainnya yang menelan biaya triliunan rupiah. Ironisnya, layanan OTT seperti WhatsApp dan sejenisnya, yang sangat bergantung pada infrastruktur tersebut, tidak memberikan kontribusi finansial yang seimbang terhadap pembangunan dan pemeliharaan jaringan ini.
"Tujuannya (diregulasi panggilan WhatsApp dan lainnya) agar sama-sama menguntungkan. Sekarang kan nggak ada kontribusi dari teman-teman OTT itu, berdarah-darah yang bangun investasi itu operator seluler," ujar Denny. Pernyataan ini menyoroti keluhan operator yang merasa ‘berdarah-darah’ dalam membangun jaringan, sementara layanan VoIP menikmati keuntungan besar dari penggunaan jaringan tanpa memberikan kontribusi setimpal. Teknologi VoIP sendiri memungkinkan pengguna melakukan panggilan suara maupun video melalui jaringan internet dengan mengubah suara menjadi format digital yang dapat ditransfer melalui berbagai aplikasi.
Dalam diskusi awal tersebut, Komdigi sempat meninjau model pembatasan layanan VoIP yang diterapkan di negara lain, salah satunya Uni Emirat Arab. Denny menyebutkan bahwa di UEA, layanan dasar telekomunikasi seperti panggilan suara dan video di WhatsApp tidak dapat dilakukan oleh pengguna, namun layanan pesan instan masih berfungsi normal. Hal ini menunjukkan adanya preseden di mana negara-negara lain memilih untuk melindungi keberlangsungan operator telekomunikasi lokal mereka.
Selain opsi pembatasan langsung, wacana juga mencakup kemungkinan penerapan kewajiban Quality of Service (QoS) jika pembatasan total tidak memungkinkan. Selama ini, kualitas panggilan telepon maupun video di layanan VoIP seringkali dianggap ‘seadanya’ dan tidak selalu menjamin standar kualitas tertentu, berbeda dengan layanan panggilan tradisional dari operator telekomunikasi yang diatur ketat. Dengan menerapkan QoS, diharapkan penyedia layanan OTT akan memiliki tanggung jawab lebih terhadap kualitas layanan panggilan mereka.
Denny Setiawan menegaskan bahwa ide ini masih dalam tahap "wacana awal" dan "masih diskusi." Ini berarti proses pengambilan kebijakan akan sangat panjang dan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat, operator, dan penyedia OTT, untuk mencari jalan tengah yang menguntungkan semua pihak. "Artinya, kita cari jalan tengah, bagaimana (memenuhi) layanan masyarakat, tetap butuh kan WA ini. Tapi untuk yang membutuhkan kapasitas besar ini kan butuh kontribusi, operator yang bangun tapi nggak dapat apa-apa," pungkasnya, menggambarkan dilema antara kebutuhan masyarakat akan layanan digital dan keberlanjutan bisnis operator telekomunikasi.
Belajar dari Dunia: Negara-negara yang Telah Membatasi Layanan VoIP
Meskipun Indonesia kini telah menegaskan tidak ada rencana pembatasan, wacana ini sebelumnya memicu perbandingan dengan sejumlah negara lain yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan pembatasan layanan Voice over Internet Protocol (VoIP) seperti panggilan telepon dan video di aplikasi populer seperti WhatsApp, Telegram, Instagram, Zoom, maupun Google Meet. Aturan yang diterapkan oleh negara-negara ini bervariasi, namun umumnya layanan dasar seperti pesan instan tetap bisa dinikmati pengguna, sementara panggilan dasar telekomunikasi (telepon dan video) hanya bisa dilakukan melalui operator seluler lokal. Keputusan pembatasan ini seringkali didasari oleh berbagai alasan, mulai dari perlindungan keamanan nasional, kontrol informasi, hingga upaya untuk melindungi keberlangsungan operator telekomunikasi domestik.
Berikut adalah daftar negara-negara yang dikenal membatasi layanan VoIP:
-
Uni Emirat Arab (UEA): Sebagai negara Arab yang maju pesat, UEA memiliki regulasi ketat terhadap layanan VoIP. Panggilan WhatsApp (suara dan video) serta Facetime dilarang di negara ini. Alasan utamanya adalah faktor keamanan nasional dan upaya untuk mendukung pertumbuhan serta keberlangsungan penyedia telekomunikasi lokal. Meskipun demikian, layanan pesan instan WhatsApp masih berfungsi. Menariknya, aplikasi seperti Zoom dan Microsoft Teams diperbolehkan untuk panggilan video, kemungkinan karena lebih sering digunakan untuk keperluan bisnis atau pendidikan yang lebih mudah dipantau.
-
Arab Saudi: Serupa dengan UEA, panggilan WhatsApp (suara dan video) tidak dapat dilakukan di Arab Saudi jika menggunakan operator lokal. Namun, fitur lain seperti teks, gambar, dan pengiriman video masih bisa digunakan. Pembatasan ini tidak berlaku jika pengguna mengaktifkan paket roaming, yang menunjukkan bahwa target utamanya adalah penggunaan layanan domestik. Pemerintah Arab Saudi membatasi penggunaan layanan VoIP dengan alasan yang sama seperti UEA, yakni untuk melindungi operator telekomunikasi dalam negeri dan juga faktor keamanan.
-
Qatar: Negara Arab lainnya yang menerapkan larangan serupa adalah Qatar. Panggilan WhatsApp, baik suara maupun video, tidak bisa dilakukan oleh pengguna di negara ini. Seperti negara tetangganya, layanan dasar WhatsApp seperti pengiriman pesan teks dan media masih bisa dimanfaatkan.
-
China: Sudah menjadi rahasia umum bahwa China memiliki "Tembok Api Besar" (Great Firewall) yang ketat dalam mengontrol akses internet dan memblokir layanan global. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat perusahaan teknologi nasionalnya. Seiring dengan pertumbuhan pesat ekosistem digital China, mereka melakukan pemblokiran terhadap berbagai layanan global. WhatsApp digantikan oleh WeChat yang merupakan platform super-app lokal; Twitter/X digantikan Weibo; Amazon digantikan Alibaba; Tesla digantikan oleh BYD dalam industri otomotif; dan merek smartphone domestik seperti Huawei, Xiaomi, Realme, Vivo, Oppo telah menguasai pasar global. Pembatasan VoIP adalah bagian dari strategi besar ini untuk mengendalikan informasi dan mempromosikan produk serta layanan teknologi dalam negeri.
-
Korea Utara: Korea Utara dikenal sebagai negara yang paling ketat dalam mengontrol peredaran informasi. Akses internet sangat dibatasi, dan penggunaan layanan VoIP termasuk salah satu yang tidak bisa dipakai di negara komunis ini. Kontrol informasi yang ekstrem adalah tujuan utama pembatasan ini, untuk mencegah akses warga negara terhadap informasi dari dunia luar.
-
Suriah: Pemerintah Suriah melakukan berbagai penyensoran terhadap akses internet, terutama platform digital global. Daftar pemblokiran di Suriah sangat panjang, mencakup YouTube, Facebook, X (Twitter), Instagram, WhatsApp, Spotify, PayPal, hingga Netflix. Isu keamanan nasional, stabilitas politik, dan kontrol informasi menjadi alasan utama di balik pembatasan akses internet yang sangat luas ini.
-
Iran: WhatsApp dan Google Play sempat diblokir total di Iran pada masa lalu. Namun, pemerintah setempat kemudian melonggarkan kebijakan ini, sehingga aplikasi-aplikasi tersebut masih bisa dipakai oleh pengguna hingga batas tertentu. Isu keamanan nasional dan upaya pemerintah untuk mengendalikan informasi seringkali menjadi alasan di balik upaya pembatasan tersebut. Kebijakan di Iran seringkali fluktuatif, mencerminkan ketegangan antara kebutuhan masyarakat akan konektivitas dan kekhawatiran pemerintah terhadap kontrol informasi.
Implikasi dan Outlook ke Depan
Kasus wacana pembatasan VoIP di Indonesia, meskipun telah dibantah, menyoroti ketegangan yang kompleks antara inovasi teknologi, kebutuhan pengguna, keberlanjutan industri telekomunikasi, dan peran pemerintah dalam mengatur ekosistem digital. Di satu sisi, layanan VoIP telah merevolusi cara orang berkomunikasi, menyediakan alternatif yang lebih murah dan fleksibel dibandingkan panggilan tradisional. Di sisi lain, operator telekomunikasi menanggung beban investasi infrastruktur yang masif dan merasa dirugikan oleh layanan OTT yang tidak berkontribusi pada biaya tersebut.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komdigi, berada di posisi yang dilematis. Mereka harus menyeimbangkan kepentingan berbagai pihak: melindungi investasi operator telekomunikasi, memastikan ketersediaan layanan komunikasi yang terjangkau bagi masyarakat, dan mendorong inovasi di ruang digital. Pernyataan tegas Menkomdigi Meutya Hafid kini telah memberikan kejelasan bahwa prioritas utama adalah memastikan akses internet yang luas, literasi digital, dan keamanan data, tanpa mengorbankan kebebasan berkomunikasi masyarakat melalui layanan VoIP.
Meskipun wacana pembatasan telah dibantah, diskusi mengenai regulasi yang adil dan seimbang antara operator dan OTT kemungkinan akan terus berlanjut. Model bisnis "fair share" atau kontribusi yang lebih proporsional dari OTT terhadap infrastruktur jaringan mungkin akan menjadi topik perdebatan di masa depan. Yang terpenting, transparansi dan komunikasi yang jelas dari pihak berwenang sangat krusial untuk mencegah keresahan publik dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang akan datang dirancang dengan mempertimbangkan semua aspek secara komprehensif. Masyarakat dapat bernapas lega, setidaknya untuk saat ini, bahwa layanan VoIP favorit mereka akan tetap dapat digunakan tanpa batasan.
