
Jakarta kembali menjadi saksi bisu dari sebuah inisiatif kemanusiaan yang mengharukan dan penuh inspirasi di kancah sepak bola nasional. Sebanyak 22 anak-anak istimewa, terdiri dari anak-anak dengan down syndrome dari komunitas POTADS (Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome) serta anak-anak kolong jembatan yang bernaung di bawah Rumah Belajar Merah Putih, diberikan kesempatan emas untuk menjadi pendamping para pemain Timnas Indonesia U-23. Mereka akan melangkah bersama para pahlawan lapangan hijau di gelaran Piala AFF U-23 2025, sebuah momen yang tidak hanya menjadi impian bagi anak-anak tersebut, tetapi juga pesan kuat tentang inklusi dan kesetaraan di tengah gemuruh stadion.
Pertandingan yang menjadi latar belakang momen bersejarah ini adalah laga antara Timnas Indonesia U-23 melawan Timnas Brunei Darussalam U-23, yang dijadwalkan berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SU GBK) pada pukul 20.00 WIB. SU GBK, dengan segala megahnya, akan menjadi panggung bagi perpaduan antara semangat olahraga dan nilai-nilai kemanusiaan, di mana sorotan tidak hanya tertuju pada para pemain yang akan bertanding, tetapi juga pada senyum polos anak-anak yang mendampingi mereka.
Dua di antara 22 anak-anak yang beruntung tersebut adalah Diva Narmansyah, seorang gadis berusia 12 tahun, dan Qisthi Syakira, 10 tahun, keduanya berasal dari komunitas POTADS. Mereka dipilih untuk mengemban tugas mulia sebagai pendamping pesepakbola di laga krusial tersebut. Bagi Diva dan Qisthi, serta 20 anak lainnya, kesempatan ini adalah realisasi dari sebuah mimpi yang mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya, sebuah langkah kecil yang bermakna besar dalam perjalanan hidup mereka.
Wiwik, 52 tahun, ibunda dari Diva Narmansyah, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat kabar bahagia itu datang. "Aku juga kaget dari grup POTADS, jadi komunitas down syndrome, kaget bacanya," tutur Wiwik kepada detikSport, dengan nada suara yang masih mengandung getar haru. "Karena anak saya perempuan, sedangkan dia mainnya boccia, suka fashion show juga. Jadi saat aku suruh isi (formulir) aku isi lah," tambahnya, menggambarkan bagaimana kesempatan ini datang di luar dugaan, mengingat minat Diva yang lebih condong ke arah seni dan olahraga individu seperti boccia, bukan sepak bola.
Proses seleksi untuk menjadi pendamping pemain ini cukup ketat. Wiwik menjelaskan bahwa mereka diminta mengirimkan foto full body Diva, dan ada kekhawatiran tersendiri mengenai bagaimana Diva akan beradaptasi dengan situasi baru dan keramaian. "Ya mudah-mudahan Diva tidak tantrum dan alhamdullilah selama sekolah ia tidak tantrum. Dan Diva lolos setelah diseleksi," ungkap Wiwik lega, mengisyaratkan bahwa keberhasilan Diva melewati seleksi adalah bukti kemandirian dan kemampuannya untuk beradaptasi. Ini adalah kali pertama bagi Diva mendapatkan kesempatan sebesar ini, dan Wiwik merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
"Dia paham apa yang kami bicarakan dan kami kasih arahan supaya mendengarkan kakak (panitia) bicara. Alhamdullilah dia selalu mau," kata Wiwik, menjelaskan bahwa Diva memiliki pemahaman yang baik dan kooperatif. Persiapan yang paling utama bagi Wiwik adalah memastikan kesehatan putrinya dan memberikan arahan yang jelas agar Diva fokus dan tidak berbuat nakal. "Saya persiapkan Diva yang penting dia sehat saja. Saya juga mengajarkan Diva supaya tak nakal, dan fokus mendengarkan arahan Kakak (panitia). Diva jawab, ‘oke, oke’," kenang Wiwik, menirukan jawaban polos namun meyakinkan dari putrinya.
Rasa bangga Wiwik sebagai orang tua tak terbendung. "Suatu kebanggaan buat orang tua karena menurut saya itu istilah kata normal saja belum tentu kesempatan ini. Bangga banget punya anak seperti Diva ternyata bisa terpilih menjadi pendamping Timnas," ucapnya, menunjukkan betapa berharganya kesempatan ini, bahkan bagi anak-anak tanpa disabilitas sekalipun. Kesempatan ini menjadi validasi bahwa anak-anak berkebutuhan khusus, seperti Diva, juga memiliki potensi dan berhak mendapatkan pengalaman luar biasa yang sama.
Diva sendiri, dengan senyum manisnya, mengungkapkan perasaannya. "Senang masuk ke dalam (di lapangan)," kata Diva singkat namun penuh makna. Gadis cilik yang kini duduk di kelas 4 SD SLB Negeri 3 Karet Tengsin ini tampaknya memahami betul keistimewaan momen tersebut, meskipun ekspresinya masih polos. Kebahagiaan sederhana dari seorang anak yang mendapatkan kesempatan untuk berada di tengah lapangan megah bersama para idolanya.
Perasaan bangga yang serupa juga dirasakan oleh Laela, 45 tahun, orang tua dari Qisthi Syakira. "Ini kesempatan pertama. Senang banget, pengalaman langka, masa mau dilewatkan," ujarnya dengan antusias. Laela melihat ini sebagai sebuah anugerah, sebuah momen yang tak akan terulang lagi, dan tentu saja tak boleh dilewatkan. Qisthi, menurut Laela, adalah anak yang aktif dan kerap mengikuti berbagai kegiatan, mulai dari menggambar hingga berenang. Aktivitas-aktivitas ini mungkin telah membentuk karakter Qisthi menjadi lebih mandiri dan adaptif, memudahkannya dalam menghadapi kesempatan baru ini. Qisthi saat ini menempuh pendidikan di kelas 2 Sekolah Dasar (SD) SLB Negeri 3 Karet Tengsin, sekolah yang sama dengan Diva.
"Kalau persiapan hampir sama. Beri pengarahan kepada anaknya," ujar Laela, yang berasal dari Cengkareng, Jakarta Barat. Ia menekankan pentingnya komunikasi dan bimbingan kepada anak agar mereka siap secara mental dan emosional menghadapi pengalaman baru ini.
Inisiatif ini bukan sekadar seremoni pra-pertandingan biasa. Lebih dari itu, ini adalah manifestasi nyata dari komitmen terhadap inklusi sosial dan pemberdayaan. Bagi anak-anak dengan down syndrome dari POTADS, kesempatan ini adalah jembatan untuk membuktikan bahwa disabilitas bukanlah penghalang untuk berpartisipasi dan bersinar di panggung publik. POTADS sendiri adalah organisasi yang secara konsisten berjuang untuk hak-hak, pendidikan, dan kesejahteraan anak-anak dengan down syndrome, serta mengadvokasi penerimaan mereka di masyarakat. Dengan melibatkan anak-anak ini di acara sebesar Piala AFF U-23, pesan yang disampaikan sangat jelas: setiap individu, terlepas dari kondisi fisiknya, memiliki tempat dan nilai yang sama dalam masyarakat. Ini adalah langkah maju dalam mengubah stigma dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.
Di sisi lain, kehadiran anak-anak kolong jembatan dari Rumah Belajar Merah Putih juga membawa dimensi sosial yang mendalam. Anak-anak ini, yang seringkali hidup dalam keterbatasan dan kurangnya akses terhadap pendidikan serta fasilitas dasar, mendapatkan secercah harapan dan inspirasi. Rumah Belajar Merah Putih adalah salah satu dari banyak inisiatif akar rumput yang berjuang untuk memberikan pendidikan dan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak jalanan atau mereka yang tinggal di lingkungan marginal. Bagi anak-anak ini, kesempatan untuk berada di SU GBK, bersalaman dengan pahlawan sepak bola nasional, dan merasakan atmosfer pertandingan kelas internasional adalah sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Ini bukan hanya tentang sepak bola, tetapi tentang memberikan pengalaman berharga, menumbuhkan rasa percaya diri, dan menunjukkan bahwa mereka juga memiliki potensi untuk meraih mimpi, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi mereka.
Peran olahraga, khususnya sepak bola, sebagai alat pemersatu dan agen perubahan sosial, kembali terbukti. Sepak bola memiliki kekuatan untuk menjangkau semua lapisan masyarakat, meruntuhkan tembok-tembok perbedaan, dan membangun jembatan persahabatan serta pengertian. Momen ketika anak-anak istimewa ini melangkah berdampingan dengan para pemain Timnas Indonesia U-23 adalah gambaran ideal dari masyarakat yang kita impikan: masyarakat yang peduli, menerima, dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu.
Bagi para pemain Timnas Indonesia U-23 sendiri, kehadiran anak-anak ini mungkin juga menjadi pengingat akan tujuan yang lebih besar di balik kompetisi. Selain berjuang untuk kemenangan dan kebanggaan negara, mereka juga menjadi inspirasi dan harapan bagi generasi muda, termasuk mereka yang selama ini mungkin merasa terpinggirkan. Interaksi singkat di lorong stadion dan di lapangan itu bisa jadi meninggalkan jejak yang tak terhapuskan, baik bagi anak-anak maupun para pemain.
Inisiatif seperti ini harus terus didorong dan diperbanyak di berbagai sektor, tidak hanya di dunia olahraga. Ini adalah contoh nyata bagaimana kolaborasi antara komunitas, organisasi sosial, dan pihak penyelenggara acara besar dapat menciptakan dampak positif yang jauh melampaui batas-batas pertandingan. Ini adalah pesan bahwa inklusi bukanlah sekadar kata-kata manis di atas kertas, melainkan tindakan nyata yang membawa perubahan.
Pada akhirnya, malam di SU GBK itu akan menjadi lebih dari sekadar pertandingan sepak bola. Ini akan menjadi perayaan kemanusiaan, keberanian, dan semangat juang. Sebuah bukti bahwa kebahagiaan sejati seringkali ditemukan dalam memberi dan berbagi, serta dalam menciptakan ruang bagi setiap individu untuk bersinar. Senyum Diva, Qisthi, dan 20 anak lainnya di bawah sorot lampu stadion akan menjadi pengingat abadi bahwa di balik gemuruh kompetisi, ada hati-hati yang peduli dan tangan-tangan yang siap merangkul, demi masa depan yang lebih inklusif dan penuh harapan bagi semua anak Indonesia.
