
Jakarta – Komite Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (KORMI) kini tengah membuka lebar peluang bagi olahraga tradisional Pacu Jalur untuk unjuk gigi dan dilombakan di panggung bergengsi Festival Olahraga Masyarakat Nasional (Fornas). Wacana ini mencuat setelah olahraga khas Kuantan Singingi, Riau, tersebut mendadak menjadi sorotan publik luas, baik di kancah nasional maupun internasional. Pemicunya tak lain adalah sosok mungil penari cilik Pacu Jalur, Rayyan Arkan Dikha, yang kini akrab disapa "Aura Farming", yang aksinya menari di atas jalur sukses mencuri perhatian jutaan pasang mata dan viral di berbagai platform media sosial.
Rayyan Arkan Dikha, dengan segala keluguan dan semangatnya saat menarikan gerakan-gerakan khas di atas perahu panjang yang melaju kencang, telah menjadi ikon baru yang tak terduga. Penampilannya yang autentik dan penuh energi tidak hanya menghibur, tetapi juga berhasil mengangkat kembali citra dan pesona Pacu Jalur ke permukaan. Dari yang sebelumnya mungkin hanya dikenal di kalangan terbatas, kini Pacu Jalur menjadi perbincangan hangat, memicu rasa ingin tahu masyarakat tentang sejarah dan keunikan tradisi yang telah mengakar kuat di bumi Kuantan Singingi tersebut. Fenomena "Aura Farming" ini membuktikan bagaimana sebuah elemen kecil dalam tradisi dapat memiliki daya ungkit yang luar biasa untuk memperkenalkan warisan budaya kepada khalayak yang lebih luas, bahkan hingga menjangkau ranah olahraga nasional.
Mengutip informasi dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi, Pacu Jalur bukanlah sekadar perlombaan biasa; ia adalah pesta rakyat yang menjadi kebanggaan tak terhingga bagi masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi. Akar sejarahnya terentang jauh ke belakang, dimulai pada abad ke-17. Pada masa itu, "jalur" – sebutan untuk perahu panjang – bukanlah sekadar alat olahraga, melainkan tulang punggung transportasi utama bagi warga desa yang bermukim di sepanjang Sungai Kuantan. Sungai ini membentang membelah Rantau Kuantan, wilayah strategis yang terbentang antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Jalur-jalur ini digunakan untuk segala keperluan, mulai dari mengangkut hasil bumi seperti padi dan perkebunan, hingga sebagai sarana mobilitas sehari-hari antar desa. Dengan panjang mencapai 25 hingga 30 meter dan mampu menampung 40 hingga 60 pendayung, jalur-jalur ini merupakan mahakarya kearifan lokal, yang dibuat dari sebatang pohon utuh yang dipahat dan diukir dengan detail.
Seiring berjalannya waktu, seiring dengan perkembangan infrastruktur darat, fungsi jalur sebagai alat transportasi utama bergeser. Namun, semangat kebersamaan dan kegembiraan yang melekat pada aktivitas mendayung jalur tak luntur begitu saja. Justru, aktivitas ini bertransformasi menjadi sebuah kompetisi yang meriah, lahirnya tradisi Pacu Jalur yang kita kenal sekarang. Perlombaan ini bukan hanya adu kecepatan dan kekuatan otot, melainkan juga pertunjukan harmoni, kekompakan, dan seni. Setiap jalur memiliki kru yang terdiri dari berbagai peran penting: ada "tukang kemudi" yang menentukan arah, "tukang concang" yang bertugas memberi aba-aba irama dayung, "tukang timbo" yang memastikan air tidak menggenang, dan yang paling mencolok, "tukang tari" atau penari di haluan jalur, yang gerakan-gerakannya diyakini dapat memberikan semangat dan bahkan "kekuatan mistis" bagi perahu dan para pendayung. Inilah peran yang diemban oleh Rayyan Arkan Dikha, yang membuat aksi menarinya begitu fenomenal.
Menyambut positif viralnya olahraga Pacu Jalur, KORMI melihat ini sebagai momentum yang sangat tepat. Apalagi, persiapan menuju Fornas 2025 yang akan berlangsung di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 26 Juli hingga 1 Agustus mendatang sudah semakin matang. Ajang dua tahunan ini diperkirakan akan diikuti oleh sekitar 12.000 pegiat olahraga masyarakat dari 37 provinsi di seluruh Indonesia. Saat ini, KORMI telah membawahi 105 induk olahraga yang bervariasi, mulai dari olahraga tradisional, olahraga kebugaran, hingga olahraga petualangan. Potensi Pacu Jalur untuk masuk dalam daftar olahraga yang dipertandingkan di Fornas berikutnya menjadi semakin besar.
"Ini memang momen pas banget ya ada Fornas tiba-tiba ada pacu jalur viral. Ini masuk ke dalam ke olahraga tradisional kreasi budaya sebenarnya, maka bukan tak mungkin Fornas selanjutnya bisa jadi pacu jalur dipertandingkan. Karena untuk Fornas kali ini pacu jalur belum (masuk)," jelas Wakil Ketua Umum KORMI, Ibnu Riza Pradipto, saat ditemui di kawasan Sudirman, Kamis (10/7/2025). Pernyataan Ibnu Riza ini menegaskan komitmen KORMI untuk terus membuka pintu bagi keberagaman olahraga masyarakat, khususnya yang berakar pada tradisi dan budaya lokal. "Jadi kita tak pernah menutup kemungkinan, bahwa banyak olahraga tradisional yang akan masuk. Banyak olahraga tradisional yang masing-masing provinsi punya," imbuhnya, menunjukkan visi inklusif KORMI dalam merangkul seluruh potensi olahraga dari Sabang sampai Merauke.
Meskipun Pacu Jalur belum dapat dipertandingkan di Fornas 2025, sinyal positif dari KORMI adalah angin segar bagi pelestarian dan promosi olahraga tradisional. Ibnu Riza Pradipto, yang juga menjabat sebagai Ketua Pelaksana Fornas 2025, saat ini tengah fokus untuk memaksimalkan penyelenggaraan festival olahraga masyarakat tersebut. Ia memaparkan tiga Key Performance Indicator (KPI) utama yang menjadi tolok ukur keberhasilan Fornas kali ini, yaitu awareness, attendance, dan economic impact.
KPI pertama adalah awareness atau kesadaran. "Pertama awareness, untuk masyarakat tahu apa ini olahraga masyarakat?" tutur Ibnu. Ini menjadi tantangan besar, mengingat Fornas, sebagai ajang olahraga non-prestasi yang berfokus pada rekreasi dan partisipasi masyarakat, masih belum sepopuler Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Olimpiade di mata publik. KORMI berupaya keras agar masyarakat lebih memahami esensi dan keberadaan olahraga masyarakat, yang berbeda dengan olahraga prestasi yang berorientasi pada medali dan pemecahan rekor. Olahraga masyarakat lebih menekankan pada kebugaran, kegembiraan, interaksi sosial, dan pelestarian budaya. Kampanye masif melalui media, program edukasi, dan kolaborasi dengan berbagai pihak akan digencarkan untuk meningkatkan pemahaman ini.
KPI kedua adalah attendance atau kehadiran. "Kedua attendance, bagaimana mereka bisa datang ke sini untuk menyaksikan langsung olahraga yang dipertandingkan apa saja sih olahraga masyarakat. Karena sampai detik ini Fornas mungkin banyak yang belum tahu. Kalau PON dan Olimpiade pasti tahu, tapi Fornas ini banyak yang belum tahu," jelas Ibnu. Untuk mencapai target kehadiran yang tinggi, KORMI akan menciptakan Fornas 2025 sebagai sebuah festival yang menarik, bukan hanya kompetisi. Berbagai atraksi pendukung, area interaktif, pameran budaya, dan tentu saja, jadwal pertandingan yang mudah diakses akan menjadi daya tarik. Momen viral seperti Rayyan Arkan Dikha dan Pacu Jalur diharapkan dapat menjadi magnet tambahan, memicu rasa penasaran masyarakat untuk datang dan melihat langsung keunikan olahraga masyarakat Indonesia.
KPI ketiga, dan yang tidak kalah penting, adalah economic impact atau dampak ekonomi. "Yang ketiga adalah economic impact, setiap pegiat olahraga yang datang itu punya perputaran uang di tuan rumah. Jadi hotel, ekonomi kreatif, UMKM dan lain-lain itu yang kita maksimalkan untuk KPI," tegas Ibnu. Fornas 2025 di NTB diharapkan dapat menjadi mesin penggerak ekonomi lokal. Kedatangan belasan ribu pegiat olahraga, official, dan penonton dari seluruh provinsi akan menciptakan gelombang perputaran uang yang signifikan. Hotel-hotel, penginapan, restoran, transportasi lokal, dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang menjual oleh-oleh, kerajinan tangan, atau kuliner khas NTB akan merasakan dampak positifnya secara langsung. Selain itu, sektor ekonomi kreatif seperti produksi media, event organizer lokal, hingga industri pariwisata akan mendapatkan dorongan besar. Ini bukan hanya tentang olahraga, tetapi juga tentang bagaimana olahraga dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Dengan adanya Fornas, KORMI tidak hanya mewadahi kompetisi, tetapi juga mempromosikan gaya hidup sehat, kebersamaan, dan pelestarian budaya. Potensi Pacu Jalur untuk bergabung di Fornas selanjutnya menjadi simbol harapan bagi banyak olahraga tradisional lain di Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke, setiap daerah memiliki kekayaan olahraga dan permainan rakyat yang unik, yang jika dikelola dan dipromosikan dengan baik, dapat menjadi daya tarik nasional maupun internasional. Fenomena "Aura Farming" telah membuktikan bahwa keunikan lokal, ketika berpadu dengan kekuatan media sosial, mampu menciptakan resonansi yang luar biasa. KORMI, dengan visinya, siap menjadi jembatan bagi warisan budaya ini untuk bersinar di panggung nasional, memastikan bahwa olahraga masyarakat tidak hanya menjadi bagian dari masa lalu, tetapi juga bagian yang hidup dan berkembang dari masa depan bangsa.
