
Pasar otomotif Indonesia di paruh pertama tahun 2025 menghadapi tantangan signifikan, terutama pada segmen Low Cost Green Car (LCGC). Penjualan mobil LCGC menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan, menyusut tajam dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengungkapkan bahwa total penjualan wholesales (distribusi dari pabrik ke dealer) mobil LCGC pada Januari-Juni 2025 hanya mencapai 64.063 unit. Angka ini menandai penurunan drastis sebesar 28,5 persen, atau setara dengan minus 25.580 unit, dibandingkan kinerja semester pertama tahun lalu. Penurunan ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri dan pengamat otomotif, mengingat LCGC selama ini menjadi tulang punggung penjualan mobil di Tanah Air, terutama bagi konsumen yang mencari kendaraan roda empat dengan harga terjangkau.
Meskipun pasar LCGC secara keseluruhan lesu, persaingan di antara model-model yang ada tetap sengit. Di tengah gejolak ini, Daihatsu Sigra berhasil mempertahankan posisinya sebagai raja di segmen LCGC. Model Multi Purpose Vehicle (MPV) tujuh penumpang ini mencatatkan penjualan wholesales tertinggi dengan total 21.029 unit sepanjang semester pertama 2025. Keunggulan Sigra terletak pada kapasitas penumpangnya yang besar, efisiensi bahan bakar, dan harga yang relatif terjangkau, menjadikannya pilihan favorit bagi keluarga Indonesia yang membutuhkan mobil fungsional untuk mobilitas sehari-hari.
Menyusul di posisi kedua adalah Honda Brio Satya. City car lima penumpang yang dikenal lincah dan irit ini terdistribusi sebanyak 18.233 unit. Desain modern, performa responsif, dan reputasi Honda dalam hal kualitas dan purnajual menjadi daya tarik utama bagi konsumen urban. Meskipun bukan mobil keluarga besar, Brio Satya tetap diminati sebagai kendaraan pribadi atau komuter harian.
Baca Juga:
- Fenomena “Mobil Bekas 0 Kilometer”: Ketika Unit Baru Menjadi “Bekas” dan Membanjiri Pasar Global
- Xpeng Resmikan Perakitan Lokal Pertama di Luar China, Targetkan Pasar MPV dan SUV Premium Indonesia.
- Honda Pertahankan Posisi Tiga Terlaris di Indonesia dengan Penjualan Kuat di Semester Pertama 2025 dan Optimisme Menjelang GIIAS
- Pemutihan Pajak Kendaraan Diperpanjang: ‘Ada yang Bangkit dari Kubur’
- Persaingan Sengit Big Skutik 150cc: Honda PCX 160 Terbaru Lawan Yamaha NMAX Turbo di Juli 2025
Posisi ketiga dalam daftar LCGC terlaris ditempati oleh kembaran Daihatsu Sigra, yakni Toyota Calya. Model MPV tujuh penumpang ini berhasil membukukan penjualan sebanyak 14.359 unit. Keberhasilan Calya, serupa dengan Sigra, menunjukkan bahwa preferensi masyarakat Indonesia terhadap mobil keluarga berkapasitas besar dengan harga terjangkau masih sangat kuat. Kepercayaan terhadap merek Toyota, jaringan purnajual yang luas, serta nilai jual kembali yang stabil juga menjadi faktor pendorong popularitas Calya.
Di urutan keempat, Daihatsu Ayla menunjukkan performa yang cukup stabil dengan total penjualan 6.434 unit. Sebagai city car lima penumpang, Ayla menawarkan desain yang kompak, efisien, dan cocok untuk penggunaan di perkotaan. Kehadiran Ayla memberikan pilihan bagi konsumen yang mencari kendaraan ekonomis dengan dimensi lebih kecil, mudah bermanuver, dan irit bahan bakar.
Melengkapi lima besar mobil LCGC terlaris adalah Toyota Agya, yang merupakan kembaran dari Daihatsu Ayla. Agya mengisi tempat terakhir dengan distribusi sebanyak 4.008 unit. Meskipun penjualan Agya sedikit di bawah Ayla, keduanya tetap menjadi pilihan bagi segmen konsumen yang menginginkan city car kompak dari pabrikan Jepang yang terpercaya. Baik Ayla maupun Agya, dengan segala kelebihannya, masih berjuang di tengah tantangan pasar LCGC yang secara umum mengalami penurunan signifikan.
Penurunan penjualan LCGC ini tak lepas dari lonjakan harga yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. LCGC, yang awalnya diluncurkan pada tahun 2013 dengan tujuan menyediakan mobil baru yang paling terjangkau bagi masyarakat Indonesia, kini tidak lagi semurah dulu. Pada awal peluncurannya, harga termurah LCGC berkisar di angka Rp 76 jutaan, bahkan ada yang menyebut sekitar Rp 85 jutaan. Namun, pada semester pertama 2025, harga termurah LCGC sudah mencapai sekitar Rp 138 jutaan, dan untuk varian tertinggi, harganya bahkan menembus angka Rp 200 juta. Kenaikan harga yang drastis ini, hampir mencapai tiga kali lipat dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, telah mengubah lanskap pasar dan daya beli konsumen.
Pengamat Otomotif, Yannes Pasaribu, menyoroti fenomena ini dengan kekhawatiran mendalam. "Harga mobil kini tidak lagi proporsional dengan daya beli karena lonjakan harga LCGC yang signifikan, dari tahun 2013 sekitar kurang lebih Rp 85 jutaan jadi mendekati ke Rp 200 juta di 2025. Sejak diluncurkan pertama kali, jauh melampaui kenaikan pendapatan yang hanya sekitar 50-70%," jelas Yannes kepada detikOto pada Senin (14/7/2025). Pernyataan Yannes menggarisbawahi kesenjangan yang kian melebar antara kenaikan harga kendaraan dan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Jika pendapatan hanya meningkat sekitar 50-70% sementara harga mobil melonjak hingga 200-an persen, maka kepemilikan mobil baru menjadi semakin sulit dijangkau oleh segmen menengah ke bawah yang menjadi target utama LCGC.
Konsep LCGC sendiri awalnya adalah program pemerintah yang bertujuan untuk mendorong industri otomotif nasional, menyediakan kendaraan ramah lingkungan yang efisien bahan bakar, dan yang paling penting, terjangkau bagi masyarakat luas. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah memberikan berbagai insentif, salah satunya adalah pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil-mobil yang memenuhi kriteria LCGC, seperti batasan kapasitas mesin (umumnya 1.000 cc hingga 1.200 cc untuk bensin), konsumsi bahan bakar yang irit, serta tingkat kandungan lokal yang tinggi. Berkat keistimewaan ini, harga LCGC menjadi sangat kompetitif dan berhasil memicu ledakan penjualan mobil di Indonesia.
Momen puncak keberhasilan program LCGC terlihat pada tahun 2013, di mana penjualan mobil di Indonesia secara keseluruhan berhasil menembus angka lebih dari 1 juta unit, dengan torehan tertinggi yang belum pernah terpecahkan lagi, yakni mencapai 1.229.811 unit. LCGC menjadi katalisator bagi peningkatan kepemilikan mobil di Indonesia, membuka akses bagi jutaan keluarga untuk memiliki kendaraan pribadi baru. Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan kebijakan, insentif PPnBM tersebut mulai dikurangi, bahkan dihapuskan untuk beberapa jenis kendaraan, termasuk LCGC, yang kini dikenakan skema pajak normal.
Selain inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang, harga mobil LCGC juga sangat dipengaruhi oleh instrumen pajak. Tahun ini, LCGC tetap masuk dalam kategori barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif baru sebesar 12%. Kenaikan PPN ini secara langsung memengaruhi harga jual akhir kendaraan kepada konsumen. "Kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN menjadi 12% ditambah inflasi harga komponen, depresiasi rupiah, serta pungutan pajak daerah (opsen), semakin memperparah beban biaya pembelian kendaraan entry-level ini," jelas Yannes Pasaribu lebih lanjut.
Inflasi harga komponen produksi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun impor, turut membebani biaya produksi pabrikan. Komponen-komponen penting seperti baja, plastik, karet, dan komponen elektronik yang harganya terus naik, secara otomatis akan diteruskan ke harga jual mobil. Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama Dolar Amerika Serikat, juga memiliki dampak signifikan. Banyak komponen kunci dalam perakitan mobil, meskipun mobil tersebut memenuhi syarat kandungan lokal, tetap mengandalkan impor. Ketika rupiah melemah, biaya impor komponen tersebut menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya menaikkan harga jual mobil.
Ditambah lagi, adanya pungutan pajak daerah seperti Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan opsen, yang merupakan bagian dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dipungut oleh pemerintah daerah, semakin menambah beban finansial bagi calon pembeli. Meskipun opsen biasanya merupakan persentase kecil dari PKB, akumulasi dari berbagai pajak dan biaya ini secara signifikan meningkatkan harga on-the-road sebuah mobil LCGC.
Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan "badai sempurna" yang menekan daya beli konsumen terhadap mobil LCGC. Bagi banyak keluarga muda atau individu yang baru pertama kali ingin memiliki mobil, LCGC adalah pilihan paling realistis. Namun, dengan harga yang kini menembus Rp 200 juta untuk varian tertinggi, pilihan ini menjadi semakin tidak terjangkau. Konsumen mungkin mulai mempertimbangkan opsi lain, seperti mobil bekas, atau menunda pembelian mobil sama sekali. Sebagian lainnya mungkin mengalihkan perhatian ke segmen mobil lain yang dianggap menawarkan nilai lebih dengan selisih harga yang tidak terlalu jauh, seperti MPV atau SUV segmen bawah.
Dampak jangka panjang dari penurunan penjualan LCGC ini bisa sangat luas. Ini tidak hanya memengaruhi profitabilitas pabrikan dan dealer, tetapi juga dapat memperlambat pertumbuhan industri otomotif secara keseluruhan. Jika segmen entry-level yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan mengalami stagnasi, maka target penjualan mobil nasional akan sulit tercapai. Selain itu, ini juga bisa menghambat program pemerintah untuk meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Para pelaku industri dan pemerintah perlu duduk bersama untuk mencari solusi. Apakah perlu ada peninjauan ulang terhadap kebijakan fiskal untuk segmen mobil yang menyasar masyarakat menengah ke bawah? Atau apakah ada strategi lain untuk menekan biaya produksi dan mendongkrak daya beli? Tanpa intervensi yang tepat, mimpi memiliki mobil baru yang terjangkau bagi banyak masyarakat Indonesia mungkin akan semakin jauh dari kenyataan. Pasar LCGC berada di persimpangan jalan, dan masa depannya akan sangat bergantung pada bagaimana tantangan harga dan daya beli ini dapat diatasi secara komprehensif.
