
Penjualan mobil secara nasional di Indonesia kembali terjerembab dalam tren negatif yang mengkhawatirkan. Fenomena ini bukan sekadar fluktuasi pasar biasa, melainkan cerminan dari tekanan ekonomi yang lebih dalam, di mana salah satu faktor utamanya adalah harga mobil yang terus melambung tinggi tanpa diimbangi oleh kenaikan pendapatan masyarakat. Kesenjangan yang semakin melebar antara daya beli dan harga kendaraan baru ini menjadi hambatan serius bagi pertumbuhan industri otomotif.
Menurut Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Riyanto, permasalahan utama terletak pada "jarak antara pendapatan dan harga mobil baru yang makin melebar, terutama untuk segmen pembeli mobil di bawah harga Rp 300 jutaan." Pernyataan ini diungkapkan Riyanto saat dihubungi detikOto pada Senin, 14 Juli 2025, menyoroti segmen pasar yang paling sensitif terhadap perubahan harga dan daya beli. Segmen ini, yang secara historis menjadi tulang punggung penjualan mobil di Indonesia, kini merasakan dampak paling berat dari kenaikan harga.
Data terbaru dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengonfirmasi tren suram ini. Penjualan mobil wholesales (distribusi dari pabrik ke dealer) pada periode Januari hingga Juni 2025 tercatat hanya 374.740 unit. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan sebesar 8,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana penjualan wholesales masih mampu mencapai 410.020 unit. Penurunan ini mengindikasikan adanya perlambatan permintaan yang parah dari sisi dealer, yang enggan menimbun stok karena lemahnya serapan pasar.
Baca Juga:
- QJMotor Gemparkan JFK dengan Cito 150: Revolusi Matik Sporty Bergaya Retro Futuristik dengan Fitur Premium
- Fenomena Mobil Listrik China: Mengapa Harganya Memikat Hati Konsumen Indonesia dan Menggeser Dominasi Lainnya.
- Xiaomi Menggebrak Pasar Mobil Listrik: Ambisi Global dan Peluang di Indonesia
- Melacak Jejak Kekayaan Presiden Jokowi: Lonjakan Harta Rp 9 Miliar dan Isi Garasi yang Sederhana
- Honda Vario 125 2025 Meluncur di Malaysia: Penyegaran Tampilan dan Performa Mesin Unggul dari Versi Indonesia
Situasi serupa juga terjadi pada penjualan retail sales (penjualan langsung ke konsumen). Gaikindo melaporkan bahwa retail sales pada Januari-Juni 2025 hanya mencapai 390.467 unit. Angka ini merosot tajam 9,7 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2024, yang mencatat 432.453 unit terjual. Penurunan retail sales yang lebih besar dari wholesales ini semakin menegaskan bahwa konsumen akhir, yakni masyarakat, memang sedang menahan diri untuk membeli kendaraan baru, sebuah indikator jelas melemahnya daya beli.
Riyanto menambahkan bahwa salah satu penyebab utama penjualan mobil baru tidak melonjak signifikan adalah karena pendapatan per kapita rata-rata orang Indonesia tidak dapat mengejar laju kenaikan harga mobil baru. Ia memberikan contoh konkret pada model Low Multi Purpose Vehicles (MPV), salah satu segmen kendaraan paling laris di Indonesia. Dalam sebuah diskusi bertajuk "Solusi Mengatasi Stagnasi Pasar Mobil" di Gedung Kementerian Perindustrian beberapa waktu lalu, Riyanto menjelaskan, "Kenaikan harga mobil periode 2013-2022, misalnya kita ambil MPV entry low, per tahun sudah 7 persenan, lebih besar dari rata-rata inflasi kita. Jadi ini masalahnya."
Kenaikan harga yang melampaui inflasi ini secara langsung menggerus daya beli. Riyanto memaparkan perbandingan yang mencolok: "Pendapatan per kapita kelompok ini dulu gap-nya kecil, misalnya harga Rp 167 juta, pendapatan per kapitanya Rp 155 juta. Kan kecil gap-nya, tapi sekarang pendapatan per kapitanya Rp 218 juta, harga mobilnya Rp 255 juta. Jadi makin lebar." Ilustrasi ini menunjukkan bahwa meskipun pendapatan nominal masyarakat meningkat, daya beli riil mereka terhadap barang-barang besar seperti mobil justru menurun karena kenaikan harga yang lebih agresif. Ini adalah jebakan daya beli yang kini menghantui pasar otomotif nasional.
Pasar mobil Indonesia memang telah menunjukkan stagnasi pada level penjualan sekitar satu jutaan unit per tahunnya selama beberapa waktu. Padahal, jika dilihat dari rasio kepemilikan mobil, Indonesia masih tergolong rendah, yakni sekitar 99 mobil per 1.000 penduduk. Angka ini jauh di bawah negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Thailand atau Malaysia, apalagi negara maju. Potensi pasar yang besar ini, ironisnya, belum dapat dimanfaatkan secara optimal akibat kendala daya beli.
Selain masalah harga mobil yang terkerek naik dan tidak seimbang dengan pendapatan per kapita, terdapat pula faktor-faktor ekonomi makro lainnya yang turut berpengaruh signifikan terhadap penjualan mobil. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar AS, serta tingkat suku bunga acuan yang tinggi, menjadi variabel penting yang tak bisa diabaikan. Pelemahan rupiah membuat komponen impor atau mobil CBU (Completely Built Up) menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya membebani harga jual mobil di pasar domestik. Sementara itu, suku bunga kredit kendaraan yang tinggi secara langsung meningkatkan beban cicilan bulanan, membuat kepemilikan mobil semakin tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.
Fenomena anjloknya penjualan mobil Low Cost Green Car (LCGC) menjadi indikator paling nyata adanya pelemahan signifikan daya beli masyarakat Indonesia. Segmen LCGC, yang dirancang untuk menjadi pilihan mobil terjangkau bagi segmen first-time buyer atau masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, seharusnya menjadi penopang utama penjualan. Namun, ketika segmen ini pun mengalami penurunan drastis, ini menjadi sinyal merah bahwa bahkan lapisan masyarakat dengan daya beli paling sensitif pun sudah kesulitan untuk membeli mobil baru.
Pengamat Otomotif Yannes Pasaribu, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, menguraikan lebih lanjut faktor-faktor yang memperparah kondisi ini. "Kondisi ini diperparah oleh inflasi yang tinggi, kenaikan PPN menjadi 12%, suku bunga kredit kendaraan yang mahal, kenaikan rerata tahunan harga jual mobil baru, serta pelemahan rupiah yang semakin menaikkan harga jual mobil dan biaya cicilan," kata Yannes. Setiap poin yang disebutkan Yannes ini memiliki dampak berantai yang melumpuhkan kemampuan konsumsi masyarakat. Inflasi yang tinggi mengikis pendapatan disposabel, PPN 12% menambah beban langsung pada harga jual, suku bunga kredit yang mahal membuat cicilan tidak terjangkau, dan pelemahan rupiah secara fundamental meningkatkan biaya produksi dan impor kendaraan.
Yannes juga menyoroti aspek makroekonomi yang lebih luas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah 5% dan meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor formal. "Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah 5% dan meningkatnya PHK di sektor formal semakin mengurangi kemampuan konsumsi masyarakat untuk barang tersier seperti mobil," tambahnya. Pertumbuhan ekonomi yang lambat berarti penciptaan lapangan kerja yang minim dan potensi kenaikan upah yang terbatas, sementara PHK secara langsung mengurangi jumlah konsumen potensial di pasar. Kondisi ini secara kolektif meredupkan kepercayaan konsumen untuk melakukan pembelian besar seperti mobil, yang notabene adalah barang tersier.
Melihat kembali sejarah, penjualan mobil tertinggi di Indonesia terjadi pada tahun 2013 yang mencapai puncak 1.229.811 unit. Setelah itu, angka penjualan terus merosot di tahun-tahun berikutnya, meskipun sempat bertahan di level satu jutaan unit per tahun. Periode 2015-2022, pendapatan per kapita Indonesia memang menunjukkan kenaikan, namun hanya tipis karena pertumbuhan ekonomi yang berkisar antara lima persen. Pertumbuhan yang moderat ini tidak cukup kuat untuk menciptakan lompatan signifikan dalam daya beli masyarakat, sehingga menyebabkan penjualan mobil di Indonesia stagnan di level satu juta unit.
Namun, belakangan ini, pasar mobil nasional bahkan semakin sulit untuk tembus ke level satu juta unit. Data terbaru menunjukkan bahwa penjualan mobil di Indonesia pada tahun 2024 hanya mencapai 865.723 unit. Angka ini menurun drastis sebesar 13,9% dibandingkan tahun sebelumnya, 2023, yang masih mampu mencatat penjualan 1.005.802 unit. Penurunan tajam dari ambang batas satu juta unit ini adalah alarm serius bagi industri otomotif, menandakan bahwa tantangan yang dihadapi pasar saat ini jauh lebih kompleks dan mendalam daripada sekadar fluktuasi musiman.
Dampak dari penurunan penjualan ini tidak hanya dirasakan oleh pabrikan mobil, tetapi juga merambat ke seluruh ekosistem industri otomotif, mulai dari dealer, perusahaan pembiayaan, hingga industri komponen dan jasa purna jual. Ribuan tenaga kerja di sektor ini terancam, dan investasi baru bisa tertahan. Pemerintah dan pelaku industri perlu duduk bersama untuk merumuskan strategi komprehensif, mulai dari insentif pajak, kebijakan suku bunga yang lebih pro-konsumen, hingga upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, agar roda industri otomotif nasional dapat kembali berputar dan mencapai potensi pasarnya yang sesungguhnya. Tanpa intervensi yang berarti, prospek penjualan mobil di Indonesia di tahun-tahun mendatang akan tetap diselimuti awan kelabu.
