
Industri karoseri bus di Indonesia menghadapi tantangan serius seiring dengan pelemahan ekonomi nasional yang berdampak langsung pada daya beli konsumen dan, secara berantai, pada permintaan armada transportasi. Fenomena ini tercermin jelas dari pengakuan PT Laksana Bus Manufaktur, salah satu pemain kunci di sektor karoseri asal Ungaran, Semarang, yang mengklaim adanya penurunan permintaan bus hingga 10% pada semester pertama tahun 2025. Penurunan ini bukan sekadar fluktuasi biasa, melainkan indikasi adanya tekanan signifikan yang menghantam rantai pasok dan operasional industri transportasi darat.
Direktur Teknik PT Laksana Bus Manufaktur, Stefan Arman, menyampaikan kekhawatiran tersebut kepada wartawan di Ungaran pada Selasa, 15 Juli 2025. "Di industri bus juga ada penurunan di semester pertama 2025 ini. Ada koreksi sekitar 10%. Cukup lumayan ya," ujar Stefan, menegaskan bahwa angka 10% merupakan koreksi yang substansial dan patut menjadi perhatian serius bagi pelaku industri. Angka ini merepresentasikan ratusan unit bus yang tidak terjual, mengingat kapasitas produksi Laksana yang mencapai 1.200 hingga 1.500 unit per tahun.
Stefan menjelaskan, ada beberapa faktor fundamental yang berkontribusi pada menurunnya daya beli operator bus, yang pada akhirnya menekan permintaan karoseri. Faktor pertama adalah kondisi makroekonomi Indonesia yang menunjukkan tren pelemahan. Gejala pelemahan ekonomi ini meliputi inflasi yang cenderung tinggi, suku bunga acuan yang menjaga stabilitas namun menekan sektor riil, serta potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang turut mempengaruhi pasar domestik. Ketika daya beli masyarakat menurun, prioritas pengeluaran bergeser dari kegiatan leisure atau perjalanan jarak jauh ke kebutuhan pokok. Hal ini secara langsung mengurangi frekuensi dan volume perjalanan menggunakan transportasi umum, termasuk bus. Operator bus, yang pendapatannya sangat bergantung pada jumlah penumpang, tentu akan menunda atau mengurangi investasi pada armada baru jika prospek pendapatan tidak menjanjikan.
Baca Juga:
- Deklarasi Megah Pajero Lovers Indonesia: Menyatukan Hobi, Membangun Komunitas, Menebar Manfaat Sosial.
- Estimasi Biaya Perpanjangan SIM Terbaru 2024: Siapkan Dana Hingga Rp 265 Ribu, Termasuk Kenaikan Biaya Tes Psikologi
- Xpeng Resmikan Perakitan Lokal Pertama di Luar China, Targetkan Pasar MPV dan SUV Premium Indonesia.
- Dominasi Kijang Innova Tak Tergoyahkan, Suzuki Fronx dan Denza D9 Melesat di Pasar Otomotif Indonesia Juni 2025
- Kecelakaan Maut Tol Batang: Pajero Hancur Lebur, Tiga Jiwa Melayang Diduga Akibat Sopir Mengantuk
Namun, selain faktor ekonomi makro, Stefan juga menyoroti adanya faktor kalender yang unik dan memiliki dampak signifikan pada siklus pembelian bus oleh operator. "Kami melihat ada faktor kalender, di mana Lebaran yang posisinya makin awal makin maju dan mendekati awal tahun. Jadi momen Lebaran yang biasanya menjadi momen besar untuk industri otomotif karoseri ini, itu menjadi mepet, menjadi satu sama lain," sambung Stefan. Penjelasannya merujuk pada pergeseran kalender Hijriah yang menyebabkan Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya maju sekitar 10-11 hari dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2025, Lebaran jatuh lebih awal di awal tahun, memperpendek jendela waktu bagi operator bus untuk mempersiapkan armada baru.
Secara tradisional, operator bus akan memanfaatkan momen puncak Lebaran sebagai penopang pendapatan utama mereka sepanjang tahun. Untuk mengantisipasi lonjakan penumpang, mereka biasanya akan membeli bus baru atau meremajakan armada antara tiga hingga empat bulan sebelum Lebaran. Jangka waktu ini krusial untuk proses pemesanan, produksi karoseri, pengurusan perizinan, hingga persiapan operasional bus baru. "Sedangkan kalau tahun ini kan sudah mulai selisihnya antara awal tahun, sampai Lebaran cuma ada waktu dua bulan lebih," tambah Stefan. Waktu yang mepet ini menjadi dilema besar bagi operator. Dengan hanya dua bulan lebih, proses pengadaan bus baru menjadi sangat terburu-buru, berisiko tinggi, dan mungkin tidak efisien dari segi perencanaan finansial maupun operasional.
Keterbatasan waktu ini dapat menyebabkan beberapa skenario. Pertama, operator mungkin memutuskan untuk menunda pembelian bus baru hingga tahun berikutnya, berharap siklus Lebaran kembali memberikan jeda waktu yang lebih ideal. Kedua, mereka mungkin memilih untuk mengoptimalkan armada yang sudah ada, melakukan perawatan intensif, atau bahkan menyewa bus dari pihak lain untuk memenuhi kebutuhan puncak. Ketiga, bagi operator yang terlanjur memesan, mereka mungkin menghadapi tekanan biaya lebih tinggi untuk mempercepat produksi atau pengiriman. Dampak kumulatif dari skenario-skenario ini adalah penurunan permintaan yang signifikan bagi produsen karoseri seperti Laksana.
Sebagai informasi, PT Laksana Bus Manufaktur merupakan salah satu raksasa di industri karoseri Indonesia dengan rekam jejak panjang dan reputasi yang solid. Dengan kapasitas produksi antara 1.200 hingga 1.500 unit bus setiap tahunnya, Laksana mampu memenuhi berbagai segmen pasar. Ragam produk bus Laksana pun sangat bervariasi, mulai dari bus medium yang cocok untuk angkutan kota atau pariwisata jarak pendek, bus dek tinggi (high decker) yang populer untuk angkutan antar kota antar provinsi (AKAP) dengan bagasi luas dan kenyamanan ekstra, hingga bus double decker yang menawarkan kapasitas penumpang lebih besar dan pengalaman perjalanan premium. Keberagaman produk ini menunjukkan kemampuan adaptasi dan inovasi Laksana dalam memenuhi kebutuhan pasar yang dinamis. Lebih jauh, Laksana juga telah merambah teknologi masa depan dengan kemampuan memproduksi bodi bus listrik, menunjukkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan dan tren elektrifikasi transportasi. Namun, sekalipun dengan diversifikasi dan inovasi ini, perusahaan tidak kebal terhadap gejolak pasar yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan kalender.
Di sisi lain, penurunan pembelian bus oleh operator ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Fenomena ini juga dibarengi dengan penurunan jumlah penumpang bus secara keseluruhan di tahun 2025. Data menunjukkan bahwa pada periode April-Mei 2025, jumlah penumpang bus mengalami penurunan drastis hingga 23%. Angka ini sangat mengkhawatirkan karena langsung mencerminkan berkurangnya aktivitas perjalanan masyarakat menggunakan transportasi umum darat. Penurunan penumpang sebesar ini bisa diinterpretasikan sebagai indikator nyata dari dampak pelemahan daya beli konsumen. Masyarakat mungkin mengurangi perjalanan yang tidak esensial, beralih ke moda transportasi yang lebih murah jika memungkinkan, atau bahkan menggunakan kendaraan pribadi yang dianggap lebih fleksibel dan hemat jika perjalanan dilakukan berkelompok.
Selain faktor ekonomi, persaingan dengan moda transportasi lain juga turut berkontribusi pada penurunan jumlah penumpang bus. Kereta api, terutama dengan pengembangan jaringan dan peningkatan kualitas layanan, menjadi pilihan menarik bagi banyak penumpang. Demikian pula dengan maskapai penerbangan berbiaya rendah yang menawarkan tiket promo, mampu menarik sebagian segmen penumpang bus untuk perjalanan jarak jauh. Munculnya berbagai platform ride-sharing dan semakin banyaknya kepemilikan kendaraan pribadi juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan dalam pergeseran preferensi perjalanan masyarakat.
Kombinasi antara penurunan permintaan bus dari operator dan anjloknya jumlah penumpang menciptakan lingkaran setan yang kompleks bagi industri transportasi darat. Operator enggan berinvestasi pada armada baru karena jumlah penumpang menurun, sementara karoseri menghadapi tantangan produksi karena pesanan berkurang. Situasi ini menuntut adaptasi dan strategi baru dari seluruh ekosistem industri bus, mulai dari produsen karoseri, operator bus, hingga pemerintah sebagai regulator. Inovasi dalam efisiensi bahan bakar, peningkatan kualitas layanan, pengembangan rute-rute baru yang menjanjikan, serta eksplorasi teknologi seperti bus listrik, dapat menjadi kunci untuk melewati masa sulit ini. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri juga krusial dalam merumuskan kebijakan yang mendukung pemulihan dan pertumbuhan berkelanjutan sektor transportasi darat yang vital bagi mobilitas masyarakat dan perekonomian nasional.
