
Sepak bola Indonesia pernah merasakan titik terendah dalam sejarahnya pada tahun 2015, sebuah periode kelam yang diwarnai sanksi FIFA. Pada saat itulah, di tengah keputusasaan yang melanda, Piala Presiden hadir sebagai oase, sebuah panggung harapan yang memberi nafas baru bagi ribuan pesepak bola dan jutaan penggemar. Sanksi FIFA yang dijatuhkan pada 30 Mei 2015 adalah pukulan telak. Federasi Sepak Bola Internasional membekukan PSSI akibat intervensi pemerintah dalam pengelolaan liga domestik. Akibatnya, Indonesia dikucilkan dari segala ajang sepak bola internasional, termasuk Kualifikasi Piala Dunia 2018 dan Kualifikasi Piala Asia 2019. Timnas Indonesia tidak bisa bertanding di level internasional, dan yang lebih menyakitkan, kompetisi resmi di dalam negeri, Liga Super Indonesia (ISL) yang seharusnya menjadi denyut nadi sepak bola profesional, pun terhenti total.
Kondisi tersebut menciptakan prahara finansial dan mental bagi para pelaku sepak bola. Klub-klub terancam bubar, kontrak pemain digantung, dan ribuan orang yang menggantungkan hidupnya pada industri ini, mulai dari pemain, pelatih, ofisial, hingga staf administrasi klub, kehilangan mata pencarian. Suasana ketidakpastian dan kekecewaan melanda seluruh elemen sepak bola nasional. Di tengah kondisi serba tak menentu dan suram itulah, muncullah sebuah gagasan brilian: Piala Presiden 2015. Turnamen ini digagas pada periode Agustus hingga Oktober, mengisi kekosongan kompetisi dan, yang terpenting, memberikan kesempatan bagi para pesepak bola untuk kembali merumput, menyambung hidup, dan menjaga semangat juang mereka.
Gagasan visioner di balik Piala Presiden datang dari Maruarar Sirait, seorang tokoh yang dikenal memiliki perhatian besar terhadap kemajuan sepak bola nasional. Ia menyadari betul betapa krusialnya menciptakan ruang kompetitif yang dapat menjaga moral dan kondisi fisik para pemain, serta memastikan klub-klub tetap eksis di saat liga resmi belum bisa digelar secara normal. Ara, sapaan akrab Maruarar Sirait, membangun fondasi Piala Presiden dari nol, dengan prinsip-prinsip yang sangat jelas dan progresif. Ia menginginkan sebuah turnamen yang profesional, terbuka, dan transparan, sebuah model yang sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap tata kelola sepak bola di Indonesia yang sempat tercoreng.
Salah satu pilar utama yang ditekankan Ara adalah independensi finansial turnamen. Piala Presiden dirancang agar tidak mengandalkan sepeser pun dana dari negara, baik itu APBN, APBD, maupun BUMN. Seluruh dana yang dibutuhkan untuk menggelar ajang bergengsi ini sepenuhnya berasal dari sponsor swasta. Pendekatan ini bukan hanya menunjukkan komitmen terhadap transparansi, tetapi juga membuktikan bahwa sektor swasta memiliki peran vital dalam mendukung kemajuan olahraga tanpa campur tangan pemerintah yang berlebihan. Untuk menjamin akuntabilitas dan kredibilitas yang tak tertandingi, Ara menghadirkan auditor internasional ternama, PricewaterhouseCoopers (PwC), sejak edisi pertama Piala Presiden. Kehadiran PwC memastikan bahwa setiap transaksi keuangan, mulai dari pemasukan sponsor hingga distribusi hadiah dan operasional, diaudit secara ketat, menetapkan standar baru untuk transparansi dalam penyelenggaraan acara olahraga di Indonesia.
Sepuluh tahun berlalu sejak edisi perdana, dan Piala Presiden kini, pada tahun 2025, telah menjelma menjadi salah satu turnamen paling prestisius di Indonesia. Lebih dari itu, reputasinya mulai diakui di level internasional. Setiap edisinya, turnamen ini menunjukkan peningkatan signifikan di berbagai aspek, mulai dari kualitas penyelenggaraan yang semakin matang, fasilitas stadion yang terus ditingkatkan, penerapan teknologi pertandingan yang mutakhir seperti VAR (Video Assistant Referee), hingga nilai hadiah yang terus melambung tinggi. Pada edisi 2025, total hadiah yang diperebutkan mencapai Rp11,8 miliar, sebuah angka fantastis yang mencatat rekor tertinggi dalam sejarah turnamen ini, menegaskan statusnya sebagai ajang yang sangat diidam-idamkan klub-klub.
Piala Presiden 2025 juga mencetak sejarah dengan melakukan gebrakan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk pertama kalinya, turnamen ini tidak hanya diikuti oleh tim-tim lokal Indonesia. Dua klub luar negeri, Oxford United dari Inggris dan Port FC asal Thailand, diundang untuk ambil bagian dalam turnamen yang dijadwalkan berlangsung pada 6-13 Juli 2025. Keikutsertaan tim internasional ini merupakan loncatan kuantum bagi Piala Presiden. Ini bukan hanya meningkatkan daya tarik dan gengsi turnamen di mata global, tetapi juga memberikan pengalaman berharga bagi klub-klub Indonesia untuk mengukur kekuatan mereka melawan tim-tim dari liga yang lebih maju. Para pemain lokal mendapatkan kesempatan langka untuk berkompetisi dengan standar internasional, yang diharapkan dapat memicu peningkatan kualitas dan mental bertanding mereka.
Selama persiapan hingga pelaksanaan Piala Presiden, Maruarar Sirait dikenal sebagai sosok yang sangat progresif dan terlibat langsung. Ia secara rutin turun ke lapangan, memantau secara detail kesiapan panitia pelaksana, memastikan fasilitas stadion memenuhi standar internasional, dan bahkan memberikan perhatian khusus pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem Piala Presiden. Bagi Ara, turnamen ini bukan semata-mata tentang pertandingan sepak bola dan persaingan di lapangan hijau, melainkan juga tentang dampak sosial dan ekonomi yang dapat diberikannya kepada masyarakat luas. Ia percaya bahwa sebuah acara besar seperti Piala Presiden harus mampu menciptakan nilai tambah bagi rakyat.
"Turnamen ini harus membawa manfaat bagi rakyat. Bukan hanya hiburan, tapi juga memberikan peluang bagi UMKM untuk berkembang," ujar Ara dalam berbagai kesempatan, menunjukkan komitmennya terhadap pemberdayaan ekonomi lokal. Ribuan pelaku UMKM, mulai dari penjual makanan dan minuman, suvenir, hingga merchandise klub, mendapatkan panggung untuk menjajakan produk mereka di sekitar stadion, merasakan langsung dampak positif dari keramaian penonton dan penggemar sepak bola. Ini menjadi bukti nyata bahwa Piala Presiden bukan hanya ajang olahraga, tetapi juga motor penggerak ekonomi kerakyatan.
Meskipun menjadi tokoh sentral di balik kesuksesan dan pertumbuhan Piala Presiden yang luar biasa, Maruarar Sirait tak pernah sekalipun mengklaim semua pencapaian itu sebagai hasil kerja pribadi. Ia selalu menekankan bahwa keberhasilan ini lahir dari semangat kolaborasi dan kerja kolektif yang solid. "Ini bukan kerja Superman, ini kerja Super Tim," ujarnya menegaskan filosofi yang dipegangnya teguh. Ia percaya bahwa Piala Presiden dapat terus ada dan berkembang berkat kekompakan serta sinergi antara berbagai pihak: panitia pelaksana yang bekerja keras, sponsor-sponsor swasta yang mendukung secara finansial, klub-klub peserta yang menunjukkan semangat kompetisi, pemerintah daerah yang memberikan izin dan fasilitas, serta yang terpenting, para penggemar setia yang selalu memenuhi stadion dengan antusiasme tak terbatas.
Kini, setelah satu dekade penuh perjuangan dan pertumbuhan, Piala Presiden telah melampaui fungsinya sebagai sekadar ajang persiapan klub-klub jelang musim baru. Ia telah menjelma menjadi simbol kebangkitan sepak bola Indonesia, sebuah monumen nyata dari ketahanan dan optimisme. Lahir dari krisis yang nyaris melumpuhkan, tumbuh dalam semangat kolaborasi dan transparansi yang dijunjung tinggi, Piala Presiden terus melangkah ke level yang lebih tinggi, menetapkan standar baru bagi penyelenggaraan acara olahraga di Indonesia. Keberadaannya membuktikan bahwa dengan visi yang kuat, manajemen yang profesional, dan kerja sama tim yang solid, sepak bola Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan dan bersaing di kancah global. Piala Presiden adalah bukti bahwa dari krisis, lahir kekuatan, dan dari semangat kolektif, terukir sejarah gemilang.
