
Kejadian nahas ini bermula pada Jumat sore, 4 Juli (tanggal 2025 disebutkan dalam sumber asli, mengindikasikan kemungkinan kesalahan penulisan atau laporan hipotetis di masa depan), ketika La Noti meninggalkan rumahnya di Kelurahan Majapahit, Kecamatan Batauga, dengan tujuan ke kebunnya. Tujuannya sederhana: memberi makan ternaknya. Sebuah rutinitas harian yang biasa ia jalani, namun kali ini menjadi perjalanan terakhirnya. "Korban ini pamit ke kebun mau memberi makan ternaknya, tapi tidak pulang-pulang ke rumah," tutur Kapolsek Batauga, AKP Masud Gunawan, kepada awak media, menggambarkan awal mula kekhawatiran yang melanda keluarga korban.
Seiring berjalannya waktu, kegelisahan keluarga La Noti semakin memuncak. Malam tiba, namun sosok La Noti tak kunjung kembali. Biasanya, ia akan pulang sebelum gelap. Keluarga dan tetangga mulai merasakan firasat buruk. Panggilan telepon tak dijawab, dan kekhawatiran itu berubah menjadi kecemasan yang mendalam. Mereka mencoba mencari di sekitar rumah dan jalur menuju kebun, namun tanpa hasil. Akhirnya, dengan semakin bertambahnya waktu dan tidak adanya kabar, pada keesokan harinya, Sabtu, 5 Juli, keluarga memutuskan untuk meminta bantuan warga sekitar dan aparat desa untuk melakukan pencarian skala besar.
Puluhan warga bersama-sama menyisir area kebun dan hutan di sekitarnya. Medan yang cukup berat dengan semak belukar lebat dan pepohonan rindang menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pencarian ini. Setiap sudut diperiksa, setiap jejak dicari, dengan harapan menemukan La Noti dalam kondisi selamat. Suasana tegang menyelimuti rombongan pencari. Sekitar pukul 15.40 Wita, setelah berjam-jam pencarian yang melelahkan dan penuh harap-harap cemas, salah satu anggota tim pencari tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya tertuju pada sebuah gumpalan besar di semak-semak yang tak jauh dari area kebun milik korban. Gumpalan itu adalah seekor ular piton, dengan kondisi perut yang membuncit secara tidak wajar dan tampak kesulitan bergerak.
Kecurigaan langsung menyelimuti pikiran warga. Meskipun jarang, kisah-kisah tentang piton yang memangsa hewan besar, bahkan manusia, sudah menjadi bagian dari cerita rakyat di daerah tersebut. "Curiga warga dapat ular piton, kondisinya perut besar dan tidak bergerak-gerak," jelas AKP Masud Gunawan, menggambarkan momen penemuan yang memicu kengerian. Tanpa menunggu lama, dengan keberanian yang luar biasa, warga bergotong royong untuk menangkap ular raksasa sepanjang lima meter tersebut. Proses penangkapan berlangsung hati-hati namun sigap, mengingat bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh reptil predator ini. Setelah berhasil dilumpuhkan dan diikat, warga dihadapkan pada sebuah keputusan berat: membelah perut ular tersebut untuk memastikan apa yang ada di dalamnya. Sebuah keputusan yang didorong oleh naluri dan harapan tipis sekaligus ketakutan akan kenyataan yang mungkin terungkap.
Dengan menggunakan alat seadanya, perut ular piton itu pun dibelah. Apa yang mereka temukan di dalamnya adalah pemandangan yang mengerikan dan menyayat hati. Tergulung di dalam perut ular, ditemukanlah jasad La Noti, sang petani yang hilang. Kondisinya sudah meninggal dunia, menjadi korban keganasan predator hutan tersebut. "Setelah dibelah, ternyata korban La Noti dalam kondisi meninggal dunia," imbuh Masud, mengonfirmasi tragedi yang tak terbayangkan ini. Penemuan ini segera menyebar luas, mengguncang seluruh komunitas Buton Selatan dan memicu keprihatinan yang mendalam.
Insiden ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia, khususnya di Pulau Sulawesi. Beberapa tahun terakhir, telah ada beberapa kasus serupa di mana manusia menjadi korban serangan dan dimangsa oleh ular piton raksasa. Hal ini memunculkan pertanyaan serius tentang interaksi antara manusia dan satwa liar, terutama di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan habitat alami mereka.
Bahaya Ular Piton: Mengungkap Predator yang Sering Disalahpahami
Ular piton, atau yang secara ilmiah dikenal sebagai Sanca Batik (Malayopython reticulatus), merupakan spesies ular piton asli yang mendiami wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dikenal sebagai ular terpanjang di dunia, dan menempati posisi ketiga sebagai ular terberat setelah anaconda hijau dan ular piton Burma, sanca batik adalah predator yang sangat ditakuti di habitatnya. Meskipun sangat jarang, ular ini memiliki kapasitas untuk menyerang dan menelan manusia utuh-utuh, sebuah fakta mengerikan yang berulang kali terbukti di wilayah seperti Sulawesi.
Dikutip dari detikINET yang mengacu pada Britannica, ular piton batik terpanjang yang pernah tercatat memiliki ukuran mencapai 10 meter. Habitat alaminya meliputi hutan tropis di Indonesia, Filipina, dan wilayah lain di Asia Tenggara. Ironisnya, meskipun ukurannya sangat besar dan kemampuannya sebagai predator puncak, ular ini sebenarnya sangat jarang memangsa manusia.
Bruce Jayne, seorang profesor ilmu biologi dari Universitas Cincinnati, memberikan perspektif ilmiah terkait fenomena ini. Menanggapi berita serupa di Indonesia pada tahun 2022, di mana seorang wanita juga ditemukan ditelan ular piton, Jayne menyatakan, "Ini sangat jarang terjadi." Menurutnya, meskipun ada kasus di mana ular memangsa manusia, sebagian besar melibatkan piton dengan ukuran yang sangat besar dan manusia yang bertubuh relatif kecil. "Piton butuh waktu sangat lama untuk mencapai ukuran sangat besar. Hasilnya, sebenarnya hanya ada sedikit ular piton yang berukuran sangat besar," papar Jayne. Umumnya, piton berukuran maksimal sekitar 6,5 meter, meskipun ada beberapa individu yang bisa tumbuh lebih panjang dari itu.
Jayne menjelaskan faktor-faktor yang mungkin terlibat dalam keputusan seekor piton untuk memangsa manusia. "Hal ini memang terjadi pada kesempatan tertentu dan ada beberapa hal yang terlibat dalam memakan manusia. Pertama, apakah ular itu lapar? Lalu apakah calon mangsa cukup dekat?" cetusnya, seperti dikutip dari People. Ular piton memiliki lubang penginderaan panas di sepanjang mulutnya yang sangat sensitif, berfungsi untuk membantu mereka mendeteksi mangsa, terutama di kegelapan atau di area dengan visibilitas rendah. Jika ada sesuatu yang muncul dan mengeluarkan panas serta bergerak, hal tersebut bisa menjadi target yang menarik bagi piton yang sedang lapar. "Beberapa piton yang saya pelihara di lab sangat agresif mencari makan. Kadang mereka akan menyerang bagian depan kandang jika seseorang berjalan karena mereka melihat gerakan dan juga ada tanda panas dari orang yang berjalan di dekat sangkar," ungkap Jayne, memberikan gambaran tentang perilaku mencari makan mereka.
Namun, kabar baiknya adalah, sebagian besar orang sebenarnya dapat melarikan diri jika berhadapan dengan piton. "Ular ini sebenarnya tak terlalu cepat. Piton yang besar dan berat sangat lambat. Jadi, biasanya, orang mudah menjauh dari ular piton dan ia takkan mengejar kecuali seseorang tak dapat berjalan dengan kecepatan wajar," tambah Jayne. Ini menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, kecepatan manusia masih lebih unggul dibandingkan dengan piton yang besar dan lambat, memberikan kesempatan untuk melarikan diri jika bertemu tanpa diserang secara tiba-tiba.
Meskipun demikian, piton memiliki kemampuan untuk menyerang dengan sangat cepat dalam jarak dekat. Jangkauan serangan mereka biasanya sepertiga hingga setengah dari panjang tubuhnya, bahkan kadang lebih. Jika seekor piton besar menyerang, itu bisa sangat berbahaya karena kekuatan mereka yang luar biasa. Gigi piton, meskipun tidak digunakan untuk mengunyah, sangat tajam seperti jarum. Fungsi utamanya adalah menjebak mangsa yang akan ditelan utuh. "Ujung gigi tersebut mengarah ke belakang mulut, sehingga ketika mangsa atau manusia coba keluar dari mulutnya, gigi tersebut tenggelam lebih dalam. Jadi, sangat sulit melepaskan diri. Gigi mereka sangat khusus untuk menjaga mangsa tetap di dalam mulut," jelas Jayne, menggambarkan betapa efektifnya mekanisme penangkapan mangsa piton. Setelah mangsa berhasil ditangkap, piton akan menggunakan tubuhnya yang berotot untuk melilit dan mengkonstriksi mangsanya hingga berhenti bernapas.
Secara umum, ular piton hampir secara eksklusif merupakan hewan pemakan mamalia, meskipun mereka kadang-kadang juga memangsa reptil lain, termasuk buaya kecil. Makanan utama mereka biasanya adalah tikus dan hewan kecil lainnya. Namun, begitu mereka mencapai ukuran tertentu, piton tidak lagi tertarik pada tikus karena kalori yang didapatkan tidak sebanding dengan energi yang dikeluarkan untuk memburu dan mencerna. Pada dasarnya, mereka dapat tumbuh sebesar mangsanya, dan seiring bertambahnya ukuran, pola makan mereka pun berubah menjadi hewan yang lebih besar. Makanan mereka kemudian dapat mencakup hewan sebesar babi atau bahkan sapi muda. Kasus manusia yang dimangsa, meskipun jarang terjadi, sudah beberapa kali terkonfirmasi oleh hewan yang satu ini, seperti yang menimpa La Noti.
Refleksi dan Pencegahan
Tragedi yang menimpa La Noti di Buton Selatan menjadi pengingat pahit akan batas tipis antara kehidupan manusia dan alam liar. Insiden semacam ini, meskipun langka, menggarisbawahi pentingnya kesadaran akan keberadaan satwa liar di sekitar pemukiman, terutama di daerah-daerah yang masih memiliki hutan lebat. Perubahan habitat akibat deforestasi, ekspansi pertanian, atau berkurangnya populasi mangsa alami piton, dapat mendorong predator ini mendekat ke pemukiman manusia dalam upaya mencari makan, sehingga meningkatkan potensi konflik.
Pemerintah daerah dan lembaga konservasi perlu bekerja sama untuk memberikan edukasi kepada masyarakat yang tinggal di wilayah berisiko tinggi. Edukasi ini bisa meliputi cara mengidentifikasi keberadaan ular piton, langkah-langkah pencegahan, serta prosedur yang harus dilakukan jika bertemu dengan ular besar. Masyarakat juga perlu memahami pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem agar populasi mangsa alami piton tetap terjaga, sehingga ular-ular ini tidak perlu mencari makan di luar habitat aslinya.
Bagi keluarga La Noti, kepergiannya adalah duka yang mendalam dan trauma yang tak terlupakan. Bagi Buton Selatan, insiden ini adalah peringatan keras tentang kekuatan alam yang tak terduga. Semoga tragedi ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk lebih menghargai dan memahami interaksi kompleks antara manusia dan satwa liar, serta berupaya menciptakan koeksistensi yang lebih aman dan berkelanjutan di masa depan.
