
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) angkat bicara terkait sorotan tajam publik mengenai fenomena kuota internet hangus yang diklaim berpotensi menelan kerugian hingga Rp 63 triliun per tahun. Dalam respons resminya, Komdigi menegaskan bahwa sistem kuota internet yang berlaku saat ini telah sesuai dengan kerangka regulasi yang ditetapkan pemerintah, khususnya Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Telekomunikasi. Pernyataan ini disampaikan sebagai klarifikasi di tengah meningkatnya keluhan konsumen dan desakan dari berbagai pihak untuk meninjau ulang kebijakan tersebut.
Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital, Kementerian Komdigi, Denny Setiawan, menjelaskan bahwa Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2021 secara eksplisit mengatur dan memperbolehkan penerapan sistem paket kuota oleh operator seluler. "Pada dasarnya sistem paket kuota yang saat ini diterapkan oleh operator seluler diperbolehkan secara regulasi," ujar Denny di Jakarta, Rabu (16/7/2025). Ia menambahkan bahwa regulasi tersebut menyebutkan "paket layanan dibatasi jenis layanan dalam volume (kuota) atau waktu tertentu ke dalam satu jenis tarif." Ketentuan ini menjadi landasan hukum bagi operator untuk merancang berbagai penawaran paket data yang bervariasi sesuai kebutuhan pasar.
Menurut Komdigi, ada beberapa alasan fundamental di balik diperbolehkannya skema kuota ini. Salah satunya adalah kemampuan operator seluler untuk memprediksi kapasitas jaringan yang harus disediakan dalam memberikan layanannya kepada pelanggan. Prediksi kapasitas ini krusial untuk menjaga stabilitas dan kualitas layanan internet. Dengan adanya sistem berbasis volume (kuota) dan jangka waktu, operator dapat merencanakan investasi infrastruktur, alokasi bandwidth, serta pemeliharaan jaringan secara lebih efisien. Tanpa prediktabilitas ini, operator akan kesulitan mengelola fluktuasi trafik yang bisa sangat ekstrem.
Lebih lanjut, Komdigi menjelaskan bahwa penerapan skema kuota yang ditawarkan operator seluler juga memberikan keuntungan harga yang lebih kompetitif bagi konsumen. Paket kuota memungkinkan operator mengelola trafik jaringan lebih efisien karena penggunaan data lebih terprediksi berdasarkan paket internet yang sudah dibeli pelanggan. Hal ini berbanding terbalik dengan skema "unlimited" tanpa batas waktu atau volume yang seringkali memicu penyalahgunaan atau penggunaan sporadis yang tidak efisien, yang pada akhirnya dapat memaksa operator menaikkan harga dasar untuk menutupi risiko tersebut.
Denny Setiawan menekankan bahwa apabila fluktuasi trafik jaringan tidak dapat diantisipasi dengan penyediaan cadangan kapasitas yang memadai, maka hal tersebut dapat menyebabkan network congestion atau kepadatan jaringan. Kepadatan jaringan ini secara langsung berdampak pada menurunnya kualitas layanan internet, di mana koneksi menjadi lemot, buffering sering terjadi, dan pengalaman pengguna secara keseluruhan terganggu. Fenomena ini, yang dikenal sebagai bottleneck dalam infrastruktur jaringan, sangat dihindari oleh operator untuk menjaga Quality of Service (QoS) mereka.
"Pengguna non-kuota cenderung menggunakan data secara sporadis, penggunaan data yang tiba-tiba tinggi dapat menyebabkan lonjakan permintaan akses jaringan yang sulit dikelola, dan sebaliknya penggunaan data yang rendah menyebabkan kapasitas idle, sehingga operator berpotensi mengenakan biaya lebih tinggi untuk menutup risiko ini," tutur Denny. Ia mengilustrasikan bahwa tanpa sistem kuota, operator akan berhadapan dengan dua skenario ekstrem: lonjakan trafik mendadak yang membanjiri jaringan atau kapasitas yang menganggur (idle) karena penggunaan yang minim. Keduanya sama-sama tidak efisien secara operasional dan finansial, yang pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih mahal atau kualitas layanan yang buruk. Penyediaan cadangan kapasitas yang besar untuk mengantisipasi penggunaan sporadis ini juga akan berakibat pada peningkatan harga sebagai kompensasi penyediaan cadangan kapasitas tersebut.
Kendati Komdigi mempertahankan skema kuota data sebagai sistem yang sesuai aturan dan memberikan manfaat operasional bagi operator serta harga yang lebih murah bagi sebagian besar pelanggan, polemik terkait sisa kuota data yang hangus setelah masa aktif berakhir tetap menjadi perhatian serius. Isu kuota hangus ini telah memicu kekecewaan di kalangan konsumen yang merasa dirugikan karena data yang sudah mereka bayar tidak dapat digunakan sepenuhnya. Menanggapi hal ini, pemerintah melalui Komdigi akan mendorong operator seluler untuk lebih transparan terkait penggunaan paket internet yang dipakai pelanggan.
"Sistem kuota memberikan manfaat yang lebih besar kepada pelanggan, terkait isu kuota hangus, Komdigi akan mendorong operator lebih transparan sebagai win-win solution," kata Denny. Konsep transparansi yang didorong Komdigi mencakup berbagai aspek, mulai dari informasi detail mengenai sisa kuota, notifikasi masa berlaku yang lebih sering dan jelas, hingga kemungkinan opsi-opsi bagi pelanggan untuk mengelola sisa kuota mereka. Meskipun tidak disebutkan secara spesifik opsi seperti rollover kuota (sisa kuota ditambahkan ke paket berikutnya) atau konversi sisa kuota menjadi layanan lain (misalnya pulsa atau SMS), dorongan transparansi ini diharapkan dapat membuka ruang diskusi dan inovasi bagi operator untuk menawarkan solusi yang lebih fleksibel dan berpihak pada konsumen. Misalnya, operator bisa menyediakan paket tambahan dengan harga terjangkau untuk menguras sisa kuota yang akan hangus, atau memberikan opsi perpanjangan masa aktif dengan biaya minimal.
Polemik ini semakin memanas setelah Indonesia Audit Watch (IAW) mengklaim menemukan potensi kerugian akibat praktik kuota internet hangus menyentuh angka fantastis, yaitu Rp 63 triliun per tahun. IAW menyebutkan bahwa paket data yang tidak terpakai oleh pelanggan ini sebagai kerugian, tidak hanya bagi konsumen tetapi juga secara implisit terhadap potensi penerimaan negara dari sektor telekomunikasi. Meskipun mekanisme perhitungan IAW tidak dijelaskan secara rinci dalam laporan ini, angka tersebut diasumsikan mewakili nilai agregat dari seluruh kuota data yang tidak terpakai dan hangus di seluruh Indonesia dalam kurun waktu satu tahun. Perspektif IAW ini menyoroti bahwa meskipun operator telah menerima pembayaran penuh, sebagian dari layanan yang dibayar konsumen tidak terealisasi, dan nilai tersebut seolah "menguap" tanpa ada manfaat bagi konsumen maupun negara dalam bentuk pajak atau kontribusi lainnya.
Pandangan IAW ini menciptakan narasi bahwa ada ketidakadilan dalam sistem yang berlaku, di mana konsumen membayar penuh namun tidak mendapatkan nilai penuh dari pembelian mereka. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang etika bisnis dan tanggung jawab sosial operator telekomunikasi. Dari sudut pandang konsumen, kuota hangus adalah bentuk kerugian finansial yang nyata, meskipun Komdigi berargumen bahwa sistem kuota pada dasarnya menawarkan harga yang lebih murah.
Perdebatan mengenai kuota internet hangus ini bukan hanya isu teknis atau regulasi semata, melainkan juga menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan kepercayaan publik. Di era digital yang semakin bergantung pada konektivitas internet, akses yang adil dan transparan menjadi hak dasar bagi banyak orang. Pemerintah, dalam hal ini Komdigi, dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan kepentingan operator yang perlu menjaga keberlangsungan bisnis dan kualitas layanan, dengan hak-hak konsumen yang menginginkan nilai maksimal dari uang yang mereka keluarkan.
Langkah Komdigi untuk mendorong transparansi adalah awal yang baik, namun mungkin perlu diikuti dengan dialog yang lebih mendalam antara regulator, operator, dan perwakilan konsumen. Diskusi ini diharapkan dapat menghasilkan solusi yang lebih komprehensif, mungkin berupa revisi regulasi di masa mendatang, atau setidaknya kesepakatan standar operasional yang lebih menguntungkan konsumen tanpa mematikan inovasi dan investasi operator. Masa depan industri telekomunikasi Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana keseimbangan ini dapat dicapai, demi terciptanya ekosistem digital yang adil, efisien, dan inklusif bagi seluruh masyarakat.
