
Jakarta kembali menjadi pusat perhatian kancah sepak bola nasional menyusul mencuatnya polemik mengenai regulasi jumlah pemain asing dalam kompetisi Super League, yang dioperasikan oleh I.League. Keputusan kontroversial I.League yang mengizinkan setiap klub untuk mengontrak hingga 11 pemain asing, dengan delapan di antaranya diizinkan tampil di lapangan dalam setiap pertandingan, telah memicu reaksi keras dari berbagai pihak, terutama dari pucuk pimpinan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, secara tegas meminta agar kebijakan tersebut direvisi dan kuota pemain asing dikurangi secara signifikan menjadi maksimal tujuh pemain. Permintaan ini bukan sekadar usulan, melainkan cerminan dari visi jangka panjang PSSI untuk pengembangan sepak bola Indonesia, sebuah pandangan yang sepenuhnya didukung oleh Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Eko Setyawan, yang juga menekankan pada kedaulatan PSSI dalam penetapan regulasi kompetisi.
Keputusan I.League yang tiba-tiba melonggarkan kuota pemain asing menjadi 11, dengan 8 di antaranya boleh bermain bersamaan, memang mengejutkan banyak pihak. Sebelumnya, regulasi pemain asing di kompetisi tertinggi Indonesia cenderung lebih ketat, umumnya berkisar antara 3+1 (3 non-Asia, 1 Asia) atau 5-6 pemain. Perubahan drastis ini, meskipun diklaim dapat meningkatkan kualitas dan daya saing liga dengan menarik lebih banyak talenta internasional, justru menimbulkan kekhawatiran besar. Anggapan yang paling santer adalah bahwa kebijakan ini akan semakin mempersempit ruang gerak pemain lokal untuk mendapatkan menit bermain yang layak, bersaing di level tertinggi, dan menunjukkan potensi mereka dalam kompetisi domestik. Hal ini pada gilirannya dikhawatirkan akan menghambat proses regenerasi dan pembinaan pemain muda Indonesia yang menjadi tulang punggung tim nasional di masa depan.
Erick Thohir, yang dikenal dengan visinya yang progresif dan pengalamannya di kancah sepak bola internasional—termasuk sebagai mantan Presiden Inter Milan dan pemilik klub Major League Soccer (MLS) D.C. United—memandang isu ini dari perspektif yang lebih luas. Baginya, kualitas liga memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan fondasi pengembangan pemain lokal. Ia memahami betul bahwa kekuatan tim nasional suatu negara sangat bergantung pada seberapa banyak pemain lokal berkualitas yang dihasilkan oleh kompetisi domestiknya. Oleh karena itu, ia segera bersurat kepada I.League (atau PT Liga Indonesia Baru sebagai operator) untuk meninjau ulang dan mengubah keputusan tersebut. Erick berpendapat bahwa kuota 11 pemain asing terlalu berlebihan dan berpotensi mematikan semangat serta kesempatan bagi bibit-bibit muda Indonesia. Tujuh pemain asing, menurutnya, adalah jumlah yang ideal; cukup untuk menambah kualitas dan daya tarik liga tanpa merugikan prospek pemain lokal.
Dukungan kuat terhadap langkah Erick Thohir datang dari Eko Setyawan, Anggota Exco PSSI yang juga menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jakarta. Eko Setyawan tidak hanya mendukung substansi usulan Erick, tetapi juga menegaskan prinsip fundamental terkait kewenangan penetapan regulasi kompetisi. Menurut Eko, regulasi kompetisi, termasuk aturan mengenai kuota pemain asing, sepenuhnya menjadi wewenang PSSI dan tidak dapat diputuskan secara sepihak oleh operator kompetisi, dalam hal ini PT Liga Indonesia Baru (LIB), bahkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sekalipun.
"Statuta PSSI tahun 2019 Pasal 46 tentang Komite Kompetisi sudah jelas mengatur hal tersebut. Intinya adalah regulasi kompetisi yang menetapkan adalah PSSI," kata Eko Setyawan kepada pewarta, menggarisbawahi poin krusial ini. Pernyataan Eko ini bukan sekadar dukungan pribadi, melainkan penegasan hierarki dan tata kelola dalam struktur sepak bola Indonesia. PSSI, sebagai federasi tertinggi, memiliki otoritas mutlak dalam menetapkan kerangka regulasi, sementara operator liga bertugas untuk menjalankan kompetisi sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan oleh PSSI. Jika operator mengambil keputusan yang bersifat regulatif tanpa persetujuan atau bahkan bertentangan dengan kebijakan PSSI, maka hal itu merupakan pelanggaran terhadap statuta dan prinsip tata kelola yang baik.
Eko Setyawan juga menyoroti dampak jangka panjang dari kebijakan pemain asing yang terlalu longgar dari sudut pandang pembinaan. Sebagai salah satu pemilik sekolah sepak bola (SSB), ia memiliki kepentingan langsung terhadap masa depan para pemain muda. "Saya sebagai salah satu pemilik sekolah sepakbola tentunya harus mendukung pembinaan jangka panjang yang bertujuan bisa bermain di kompetisi profesional Super League dan tim nasional nantinya," sambungnya. Pandangan ini menunjukkan bahwa masalah kuota pemain asing bukan hanya tentang angka di lapangan, tetapi tentang keberlanjutan ekosistem sepak bola Indonesia dari level paling bawah (SSB) hingga ke puncak (tim nasional). Jika pintu menuju kompetisi profesional Super League semakin sulit ditembus oleh pemain lokal karena dominasi pemain asing, maka semangat dan motivasi untuk berinvestasi dalam pembinaan usia dini akan menurun drastis.
Implikasi dari regulasi pemain asing yang berlebihan ini memang sangat serius. Pertama, akan terjadi stagnasi perkembangan pemain lokal. Ketika ada banyak pilihan pemain asing berkualitas yang bisa direkrut dengan harga bersaing, klub cenderung akan memilih mereka daripada memberikan kesempatan lebih banyak kepada pemain lokal yang mungkin membutuhkan waktu lebih untuk berkembang. Ini mengakibatkan menit bermain pemain lokal berkurang drastis, menghambat jam terbang mereka di level kompetitif, dan pada akhirnya memperlambat kematangan teknis dan mental mereka.
Kedua, dampak langsung terhadap kualitas dan kedalaman tim nasional Indonesia. Timnas dibangun dari kumpulan pemain terbaik yang berkompetisi di liga domestik dan luar negeri. Jika liga domestik tidak mampu memproduksi pemain lokal berkualitas yang matang secara reguler karena kurangnya kesempatan bermain, maka stok pemain untuk timnas akan menipis. Alih-alih menghasilkan Egy Maulana Vikri, Witan Sulaeman, atau Pratama Arhan baru yang siap bersaing di level internasional, kita justru akan kesulitan mencari pengganti. Target-target besar PSSI, seperti lolos ke Piala Dunia atau meraih prestasi di level Asia, akan semakin sulit tercapai jika fondasi pemain lokal tidak kuat.
Ketiga, munculnya kesenjangan harga dan pasar pemain. Dengan dominasi pemain asing, nilai pasar pemain lokal bisa tergerus. Klub akan lebih fokus pada perburuan pemain impor, dan talenta lokal yang ada mungkin tidak dihargai sebagaimana mestinya. Ini bisa menciptakan distorsi dalam sistem transfer dan kontrak pemain di dalam negeri.
Meskipun demikian, pertanyaan seputar apakah surat Ketua Umum PSSI kepada PT LIB sudah dibahas dalam rapat Exco PSSI masih menjadi tanda tanya. Eko Setyawan sendiri mengaku belum mengetahui secara pasti. "Saya belum tahu, mungkin sudah ada pembahasan dengan teman-teman Exco yang lain. Silakan tanyakan langsung dengan Pak Ketum (PSSI Erick Thohir)," kata Eko, menunjukkan bahwa proses komunikasi internal PSSI mungkin masih berjalan atau keputusan ini diambil secara cepat mengingat urgensi masalah.
Isu ini juga mengingatkan kita pada perbandingan dengan liga-liga top di Asia yang sukses dalam mengembangkan pemain lokal mereka sambil tetap menjaga kualitas kompetisi. Liga Jepang (J.League) dan Liga Korea Selatan (K-League) adalah contoh yang baik. Kedua liga ini memiliki pembatasan pemain asing yang lebih ketat, biasanya sekitar 3 hingga 5 pemain asing, dengan regulasi yang juga mendorong penggunaan pemain muda lokal. Hasilnya, mereka mampu secara konsisten menghasilkan talenta-talenta kelas dunia yang tidak hanya sukses di liga domestik tetapi juga menjadi andalan tim nasional mereka di Piala Dunia dan kompetisi internasional lainnya. Model ini menunjukkan bahwa keseimbangan antara kualitas liga dan pengembangan pemain lokal sangat mungkin tercapai.
PSSI di bawah kepemimpinan Erick Thohir memang tengah gencar melakukan berbagai pembenahan dan reformasi. Mulai dari perbaikan infrastruktur, pengembangan liga usia muda, program Garuda Select, hingga upaya memberantas mafia bola. Kebijakan kuota pemain asing di Super League adalah salah satu mata rantai penting dalam rangkaian reformasi tersebut. Jika PSSI menginginkan sepak bola Indonesia maju secara holistik, maka regulasi kompetisi harus selaras dengan visi pembinaan jangka panjang. Bukan hanya sekadar mencari keuntungan komersial atau popularitas sesaat dari kehadiran banyak bintang asing.
Ke depannya, sangat penting bagi PSSI dan PT Liga Indonesia Baru untuk duduk bersama dan mencapai kesepahaman. Komunikasi yang transparan dan kolaboratif akan menjadi kunci untuk menyelesaikan polemik ini. PSSI, dengan otoritas yang dimilikinya sesuai Statuta, harus mampu menegaskan keputusannya demi kepentingan nasional yang lebih besar. Sementara PT LIB, sebagai operator, harus memahami bahwa peran mereka adalah menjalankan kompetisi yang mendukung visi federasi, bukan malah menciptakan kebijakan yang bertentangan. Masa depan sepak bola Indonesia, terutama dalam hal ketersediaan dan kualitas pemain lokal untuk tim nasional, sangat bergantung pada keputusan yang diambil terkait regulasi pemain asing ini. Sebuah keputusan yang bijaksana dan berorientasi pada masa depan akan memastikan bahwa Super League tidak hanya menjadi tontonan menarik, tetapi juga ladang subur bagi talenta-talenta lokal untuk tumbuh dan mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.
