Profil Jurist Tan, Eks Stafsus Nadiem Jadi Tersangka Korupsi Chromebook

Profil Jurist Tan, Eks Stafsus Nadiem Jadi Tersangka Korupsi Chromebook

Profil Jurist Tan sendiri adalah cerminan dari jejak karier yang gemilang di sektor teknologi dan kebijakan publik. Ia bukan sosok sembarangan. Bersama Nadiem Makarim dan Brian Cu, Jurist adalah salah satu pionir di balik lahirnya Gojek, sebuah startup ride-hailing yang kemudian bertransformasi menjadi raksasa teknologi GoTo. Kiprahnya di Gojek, yang dimulai dari tahap awal pengembangan, memberikan Jurist reputasi sebagai individu dengan pemahaman mendalam tentang inovasi dan ekosistem digital. Tak hanya itu, latar belakang akademiknya pun tak kalah mentereng; ia merupakan lulusan Yale University, Amerika Serikat, sebuah institusi pendidikan kelas dunia, tempat ia menempuh studi Magister Administrasi Publik dalam Pembangunan Internasional (MPA/ID). Gelar ini mengindikasikan ketertarikannya pada persinggungan antara kebijakan publik dan pembangunan, sebuah bidang yang seharusnya sangat relevan dengan tugasnya di Kemendikbudristek. Meskipun memiliki rekam jejak yang impresif, Jurist Tan dikenal memiliki profil pribadi yang cukup tertutup. Informasi detail mengenai tempat dan tanggal lahir, serta keyakinan agamanya, tidak banyak terungkap ke publik, menambah kesan misteri pada sosoknya.

Peran Jurist Tan di Kemendikbudristek dimulai pada periode 2020-2024, di mana ia dipercaya menjabat sebagai Staf Khusus Mendikbudristek Bidang Pemerintahan di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim. Posisi staf khusus adalah jabatan strategis yang bertugas memberikan masukan dan saran langsung kepada menteri terkait kebijakan dan arah pemerintahan di sektor yang diampu. Dalam kapasitasnya ini, Jurist memiliki akses ke informasi dan pengambilan keputusan penting terkait program-program kementerian, termasuk inisiatif besar seperti digitalisasi pendidikan. Namun, peran strategis inilah yang kini menjadi sorotan tajam Kejagung. Jurist, bersama staf khusus lainnya, Fiona Handayani, diduga kuat terlibat dalam upaya mengarahkan kajian teknis pengadaan perangkat digital agar secara spesifik memilih Chromebook sebagai solusi utama untuk program digitalisasi pendidikan.

Dugaan ini menjadi krusial karena kajian teknis sebelumnya, yang dilakukan pada tahun 2018-2019, justru menyimpulkan bahwa perangkat berbasis Chrome OS seperti Chromebook tidak efektif untuk diterapkan secara luas di Indonesia. Alasannya cukup mendasar: keterbatasan infrastruktur internet yang belum merata di seluruh pelosok negeri. Chromebook sangat bergantung pada koneksi internet untuk fungsionalitas penuh, karena sebagian besar aplikasi dan data disimpan di cloud. Keputusan untuk tetap memilih Chromebook, mengabaikan rekomendasi awal yang komprehensif, mengindikasikan adanya "permufakatan jahat" yang disinyalir oleh Kejagung. Modus operandi ini diduga melibatkan manipulasi data dan rekomendasi untuk memuluskan pengadaan perangkat yang mungkin tidak optimal, namun menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook ini berakar dari program ambisius digitalisasi pendidikan yang digagas Kemendikbudristek di era Nadiem Makarim, dengan tujuan mulia untuk meningkatkan akses dan kualitas pembelajaran melalui teknologi. Proyek raksasa ini menelan anggaran yang fantastis, mencapai sekitar Rp 9,9 triliun. Rinciannya adalah Rp 6,3 triliun berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK), yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk mendukung program-program pendidikan, dan Rp 3,5 triliun dari dana satuan pendidikan yang dikelola langsung oleh sekolah. Besarnya anggaran ini menunjukkan skala proyek dan potensi kerugian negara jika terjadi penyelewengan.

Kejagung menduga bahwa dalam proses pengadaan ini, telah terjadi permufakatan jahat yang sistematis. Salah satu aspek kunci adalah manipulasi kajian teknis yang secara sengaja mengabaikan rekomendasi penggunaan laptop berbasis Windows, yang dianggap lebih fleksibel dan mandiri tanpa koneksi internet yang stabil, demi memilih Chromebook berbasis Chrome OS milik Google. Keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan, mengingat kondisi geografis dan infrastruktur Indonesia yang beragam.

Pada tanggal 15 Juli 2024, Jurist Tan resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung, bersama tiga individu lainnya: Ibrahim Arief (mantan konsultan teknologi yang diduga berperan dalam menyusun kajian teknis yang bias), Sri Wahyuningsih (mantan Direktur Sekolah Dasar), dan Mulyatsyah (mantan Direktur SMP). Ketiganya adalah pejabat atau pihak yang memiliki posisi krusial dalam rantai pengambilan keputusan dan implementasi proyek. Kejagung secara eksplisit menyatakan bahwa Jurist memiliki peran sentral dalam menyusun analisis dan rekomendasi yang secara spesifik mengarahkan pengadaan ke Chromebook. Untuk mendukung penyidikan, tim Kejagung telah melakukan penggeledahan di berbagai lokasi. Salah satunya adalah apartemen Jurist di Ciputra World 2, Jakarta Selatan, pada 21 Mei 2024. Dari penggeledahan ini, penyidik berhasil menyita 24 barang bukti, termasuk laptop, ponsel, dan sejumlah dokumen penting seperti buku agenda, yang diharapkan dapat mengungkap jaringan dan bukti-bukti keterlibatan lebih lanjut.

Kasus ini juga semakin kompleks dengan mencuatnya spekulasi mengenai adanya konflik kepentingan yang serius, terutama karena hubungan Jurist Tan dengan Google. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa suami Jurist adalah seorang petinggi Google Asia Tenggara, yang juga berkewarganegaraan Australia. Fakta ini memicu dugaan kuat adanya intervensi atau setidaknya pengaruh dari pihak Google dalam keputusan pengadaan Chromebook, mengingat Google adalah pengembang dan pemilik sistem operasi Chrome OS yang digunakan pada Chromebook. Potensi konflik kepentingan ini diperkuat oleh fakta bahwa Google juga diketahui berinvestasi di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk, perusahaan hasil merger Gojek (yang didirikan Nadiem Makarim) dan Tokopedia. Jaringan hubungan ini menciptakan potensi "lingkaran setan" di mana keputusan pengadaan pemerintah bisa saja dipengaruhi oleh kepentingan korporasi besar. Untuk mendalami dugaan ini, Kejagung bahkan telah melakukan penggeledahan di kantor GoTo pada 8 Juli 2024 dan memeriksa sejumlah mantan petinggi perusahaan tersebut, termasuk Melissa Siska Juminto dan Andre Soelistyo.

Namun, proses penyidikan menghadapi tantangan besar karena Jurist Tan beberapa kali mangkir dari panggilan pemeriksaan Kejagung. Alasan yang disampaikan adalah ia sedang berada di luar negeri untuk mengajar. Hingga kini, Kejagung belum berhasil menahan Jurist karena lokasinya belum diketahui secara pasti. Situasi ini tentu mempersulit upaya penyidikan dan penuntasan kasus. Meskipun demikian, Jurist telah dicekal untuk bepergian ke luar negeri bersama dua staf khusus lainnya, Fiona Handayani dan Ibrahim Arief, untuk mencegah pelarian lebih lanjut.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), melalui Koordinator Boyamin Saiman, secara aktif mengikuti dan mendesak Kejagung untuk bertindak lebih tegas. MAKI mengklaim telah mendapatkan informasi bahwa Jurist Tan berada di Australia selama sekitar dua bulan terakhir. Boyamin menyebut Jurist Tan diduga pernah terlihat di Kota Sydney dan di sekitar kota pedalaman Alice Spring. Informasi ini, menurut Boyamin, akan segera disampaikan kepada tim penyidik Kejagung untuk membantu proses pengejaran dan pemulangan Jurist Tan. MAKI juga mendesak Kejagung untuk segera menerbitkan red notice kepada Jurist Tan melalui Interpol di kantor pusatnya di Lyon, Prancis. Red notice adalah permintaan kepada penegak hukum di seluruh dunia untuk menemukan dan menahan seseorang yang dicari dengan tujuan ekstradisi atau tindakan hukum serupa. Penerbitan red notice akan menjadi langkah krusial dalam upaya memulangkan Jurist Tan ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Selain itu, MAKI juga mendesak Kejagung untuk terus mengembangkan pengusutan kasus ini dan menetapkan tersangka lain jika ditemukan bukti yang cukup. Desakan paling kontroversial adalah untuk mendalami dugaan keterlibatan Nadiem Makarim. Boyamin Saiman secara tegas menyatakan bahwa jika ditemukan minimal dua alat bukti yang cukup, maka semestinya Kejagung menetapkan Nadiem sebagai tersangka. Permintaan ini didasarkan pada prinsip tanggung jawab seorang menteri terhadap program yang dijalankan di bawah kepemimpinannya. Meskipun Nadiem Makarim belum disebut sebagai pihak yang terlibat langsung dalam kasus korupsi, statusnya sebagai pimpinan tertinggi Kemendikbudristek saat proyek ini berjalan membuatnya menjadi subjek pengawasan dan potensi penyelidikan lebih lanjut.

Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook ini bukan hanya tentang kerugian finansial negara yang mencapai triliunan rupiah, tetapi juga tentang pengkhianatan terhadap amanah publik dan potensi kegagalan program digitalisasi pendidikan yang vital bagi masa depan bangsa. Keterlibatan mantan pejabat strategis, dugaan konflik kepentingan, dan upaya pelarian tersangka menyoroti kompleksitas dan tantangan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menantikan ketegasan Kejagung dalam menuntaskan kasus ini, membawa semua pihak yang terlibat ke meja hijau, dan memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum, demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.

Profil Jurist Tan, Eks Stafsus Nadiem Jadi Tersangka Korupsi Chromebook

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *