
Anggota Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Prana Putra Sohe, belakangan ini menjadi sorotan tajam publik menyusul laporan yang dilayangkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Bukan terkait kinerja legislasi atau isu kebijakan, melainkan dugaan pelanggaran etika yang berasal dari gestur tak senonoh saat siaran langsung di media sosial TikTok. Insiden ini membuka kembali perdebatan mengenai batasan etika pejabat publik di ruang digital, sekaligus mengundang rasa ingin tahu publik terhadap sisi lain dari kehidupan Prana Putra Sohe, termasuk profil kekayaannya yang tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan isi garasinya.
Insiden Kontroversial di TikTok Live
Laporan terhadap Prana Putra Sohe diajukan ke MKD pada tanggal 25 Juni 2025. Aduan tersebut berpusat pada sebuah video siaran langsung di TikTok yang menampilkan Prana melakukan gestur yang secara luas ditafsirkan sebagai isyarat bernuansa seksual atau tidak pantas secara etika. Video tersebut disiarkan pada tanggal 19 Juni 2025, sekitar pukul 12.40 WIB, dan dengan cepat menyebar, memicu reaksi beragam dari masyarakat. Sebagai seorang pejabat publik, setiap gerak-gerik, apalagi yang terekam dan disiarkan secara langsung di platform dengan jangkauan luas seperti TikTok, akan menjadi perhatian serius.
Baca Juga:
- Honda CBR150R CyberRoar 2025: Perwujudan Kekuatan Harimau dalam Edisi Terbatas
- IMI Usung ‘Coffee Morning’ Bulanan, Perkuat Jembatan Komunikasi Komunitas Otomotif di Era Transformasi
- Honda dan Yamaha Menggemparkan Brno dengan Uji Coba Privat Strategis, Luca Marini Kembali dan Yamaha Kebut Pengembangan Mesin V4 Revolusioner
- Antena Menjulang dan Bendera Kecil: Kunci Keselamatan Mobil Double Cabin di Jantung Pertambangan
- Biaya Perpanjangan SIM Terbaru: Strategi Hemat Tes Psikologi Hingga Ratusan Ribu Rupiah
Dalam sidang MKD DPR yang berlangsung pada Selasa, 15 Juli 2025, dengan agenda penjelasan teradu, Wakil Ketua MKD DPR Adang Daradjatun secara gamblang menyampaikan inti laporan tersebut. "Mengadukan Saudara dugaan pelanggaran atas gestur yang tidak pantas secara etika simbol yang secara luas dikenal sebagai isyarat seksual dan disiarkan dalam live streaming dalam media sosial TikTok pada tanggal 19 Juni pukul 12.40 WIB," ujar Adang, menegaskan bobot etika yang terkandung dalam aduan tersebut. Mahkamah Kehormatan Dewan memiliki mandat untuk menjaga marwah dan kehormatan lembaga DPR, dan kasus-kasus terkait etika anggota merupakan prioritas dalam penanganannya.
Pembelaan Prana Putra Sohe: Ketidaksadaran dan Niat yang Berbeda
Menanggapi laporan tersebut, Prana Putra Sohe memberikan penjelasan panjang lebar di hadapan anggota MKD. Ia bersikeras bahwa ketidaktahuan menjadi faktor utama di balik insiden tersebut. Menurut Prana, video kontroversial itu diambil di tengah masa reses Komisi XIII DPR pada tanggal 19 Juni 2025. Sesi live streaming tersebut, menurut Prana, bukanlah agenda formal atau sesuatu yang ia rencanakan. Ia mengaku tidak sadar bahwa salah satu temannya tengah melakukan siaran langsung di TikTok.
"Nah, di antara sela-sela itu sebelum kegiatan reses makan siang itu, di tempat saya, ada teman-teman tadi bertiga sedang mengobrol di video yang tadi dilihat. Kemudian, saya diajak masuk ke dalam frame video tersebut. Pertama saya tidak tahu kalau itu live TikTok, terus terang saya tidak tahu, demi Allah, dan kemudian saya masuk di situ," ujar Prana, mencoba menjelaskan kronologi kejadian dari sudut pandangnya. Ia menggambarkan obrolan saat live TikTok dalam situasi yang sangat santai dan informal, layaknya percakapan biasa antar teman.
Dalam momen yang santai itu, Prana lantas mendapat pertanyaan yang ia sebutkan sebagai pertanyaan "rahasia awet muda." Alih-alih menjawab secara verbal dengan kata-kata yang mungkin dianggapnya terlalu vulgar atau tidak pantas, Prana mengatakan ia lebih memilih untuk menjawab menggunakan gestur mengapit ibu jari di antara jari telunjuk dan tengah. Gestur ini, dalam konteks tertentu, memang dikenal memiliki konotasi seksual yang kuat di berbagai budaya, meskipun Prana berdalih tidak ada niatan untuk menyampaikan konten yang bernuansa pornografi atau sensual.
"Saya berdalih tidak ada niatan untuk menyampaikan konten yang bernuansa pornografi atau sensual," tegas Prana. Pembelaannya mengarah pada argumen bahwa niatnya adalah untuk menghindari pengucapan kata-kata eksplisit, dan gestur tersebut dianggapnya sebagai alternatif yang lebih "halus" dalam konteks obrolan santai tersebut. Namun, terlepas dari niat pribadi Prana, persepsi publik terhadap gestur semacam itu, terutama dari seorang pejabat negara yang disiarkan secara luas, bisa sangat berbeda dan merusak citra integritas. Kasus ini menyoroti kompleksitas komunikasi di era digital, di mana sebuah tindakan kecil dapat memiliki dampak besar dan multifaset.
Menelusuri Jejak Kekayaan: LHKPN dan Garasi Prana Putra Sohe
Di tengah badai etika yang menerpa, profil finansial Prana Putra Sohe turut menjadi perhatian publik. Seperti semua penyelenggara negara, Prana memiliki kewajiban untuk melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Data LHKPN ini menjadi jendela transparan bagi publik untuk melihat aset dan liabilitas para pejabat.
Dikutip dari LHKPN yang terakhir kali disampaikan oleh Prana Putra Sohe pada 25 Maret 2025, total kekayaannya mencapai angka fantastis Rp 11.721.488.938, atau sekitar Rp 11,7 miliar. Angka ini menempatkannya dalam jajaran pejabat dengan kekayaan yang cukup substansial. Namun, perlu dicermati bahwa angka ini merupakan total bersih setelah dikurangi utang yang signifikan.
Mayoritas harta Prana terkonsentrasi pada aset tidak bergerak, yaitu tanah dan bangunan. Nilai aset tanah dan bangunan miliknya mencapai Rp 21.231.220.000 (Rp 21,2 miliar). Besarnya nilai properti ini seringkali menunjukkan adanya investasi besar di sektor properti, yang dapat berupa rumah tinggal pribadi, properti investasi, atau aset lain yang terkait dengan kepemilikan lahan dan bangunan. Aset properti seringkali menjadi komponen terbesar dalam kekayaan banyak pejabat, mengingat potensi apresiasi nilainya dari waktu ke waktu.
Sementara itu, kas dan setara kas yang dimilikinya relatif kecil jika dibandingkan dengan total kekayaan bersih atau aset propertinya, yakni sebesar Rp 52.068.938 (sekitar Rp 52 juta). Hal ini bisa mengindikasikan bahwa sebagian besar likuiditasnya telah dialokasikan ke dalam aset yang kurang likuid seperti properti.
Salah satu detail menarik dalam LHKPN Prana adalah besaran utangnya. Ia tercatat memiliki utang sebesar Rp 10.315.000.000 (Rp 10,3 miliar). Besarnya utang ini adalah faktor kunci yang menjelaskan mengapa total kekayaan bersihnya "hanya" Rp 11,7 miliar, meskipun asetnya mencapai Rp 21,2 miliar. Utang ini bisa berasal dari pinjaman bank untuk pembelian properti, investasi bisnis, atau bentuk pembiayaan lainnya. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar aset yang dimilikinya mungkin diperoleh melalui mekanisme pembiayaan, bukan sepenuhnya dari modal pribadi yang bebas utang.
Isi Garasi: Sederhana di Tengah Kekayaan Miliaran
Salah satu aspek yang paling sering menjadi sorotan dalam LHKPN adalah daftar kendaraan bermotor yang dimiliki oleh seorang pejabat. Ini seringkali menjadi indikator gaya hidup dan preferensi pribadi. Dalam garasinya, Prana Putra Sohe hanya mencatatkan satu unit kendaraan roda empat. Kendaraan tersebut adalah Toyota Innova Venturer 2.4 A/T tahun 2018, yang ditaksir memiliki nilai Rp 390 juta.
Toyota Innova Venturer adalah varian tertinggi dari lini Innova, sebuah Multi-Purpose Vehicle (MPV) keluarga yang dikenal tangguh, nyaman, dan populer di kalangan menengah ke atas di Indonesia. Pilihan mobil ini mencerminkan pilihan yang pragmatis dan fungsional, daripada pilihan yang mengedepankan kemewahan atau eksklusivitas. Keberadaan hanya satu mobil ini cukup menarik, mengingat total kekayaan bersihnya yang mencapai miliaran rupiah. Banyak pejabat publik dengan profil kekayaan serupa seringkali memiliki koleksi kendaraan yang lebih beragam dan mewah, mulai dari sedan mewah hingga SUV premium. Fakta bahwa Prana hanya mendaftarkan satu unit Innova Venturer, dengan status perolehan "hasil sendiri" (bukan warisan atau hibah), bisa diinterpretasikan sebagai indikasi prioritas pengeluaran atau investasi yang lebih terfokus pada aset tidak bergerak seperti tanah dan bangunan.
Refleksi Etika dan Transparansi di Era Digital
Kasus Prana Putra Sohe ini sekali lagi membuka kembali diskusi penting mengenai etika pejabat publik di era digital. Media sosial, yang awalnya dipandang sebagai jembatan komunikasi langsung dengan rakyat, kini juga menjadi ladang ranjau etika bagi para politikus. Batas antara kehidupan pribadi dan profesional seorang pejabat publik menjadi semakin kabur, dan setiap tindakan, bahkan yang dianggap sepele atau dilakukan dalam konteks informal, dapat terekam, menyebar luas, dan memengaruhi persepsi publik terhadap integritas seluruh institusi.
Mahkamah Kehormatan Dewan memiliki peran krusial dalam menjaga marwah dan kehormatan lembaga legislatif. Putusan MKD dalam kasus ini akan menjadi preseden penting mengenai standar etika yang diharapkan dari anggota dewan di tengah lanskap media sosial yang terus berkembang. Di sisi lain, transparansi kekayaan melalui LHKPN tetap menjadi alat vital untuk membangun kepercayaan publik, meskipun perlu pemahaman mendalam tentang komponen-komponennya seperti utang yang dapat memengaruhi total bersih kekayaan.
Proses di MKD masih bergulir, dan publik menantikan putusan yang akan diambil. Kasus ini menjadi pengingat penting bagi setiap pejabat negara akan tanggung jawab moral dan etika yang melekat pada jabatan mereka, terutama di tengah arus informasi digital yang tak terbendung, di mana setiap gestur dan setiap aset menjadi sorotan.
