Starlink Hentikan Pelanggan Baru di Indonesia, Telkomsel Respons Santai di Tengah Sorotan Kedaulatan Digital

Starlink Hentikan Pelanggan Baru di Indonesia, Telkomsel Respons Santai di Tengah Sorotan Kedaulatan Digital

Layanan internet berbasis satelit Starlink, milik konglomerat teknologi Elon Musk, secara mengejutkan memutuskan untuk menghentikan penambahan jumlah pelanggan baru di wilayah Indonesia. Kabar yang beredar sejak Minggu, 13 Juli 2025, ini memicu beragam respons, salah satunya dari operator seluler terbesar di Indonesia, Telkomsel. Keputusan Starlink ini mengindikasikan adanya kendala kapasitas yang telah "habis terjual" di seluruh wilayah Tanah Air, sebuah pengumuman yang terpampang jelas di situs web resmi penyedia layanan internet orbit rendah (LEO) tersebut.

Menanggapi perkembangan terbaru ini, VP Corporate Communications & Social Responsibility Telkomsel, Saki Hamsat Bramono, memilih untuk memberikan respons yang terkesan santai namun penuh makna. Ditemui awak media di Telkomsel Smart Office, Jakarta, pada Selasa, 15 Juli 2025, Saki berujar, "Saya rasa, ya itu mungkin bagian dari rencana bisnisnya ini, mungkin bisa ditanyakan ke pihak Starlink ya. Jadi, ya kita lihat saja seperti apa nanti." Respons ini, meskipun singkat, mencerminkan posisi Telkomsel yang berada di persimpangan antara kemitraan dan persaingan dengan Starlink. Telkomsel, melalui anak perusahaannya Telkomsat, telah menjalin kerja sama dengan Starlink sejak Juni 2022 untuk segmen bisnis sebagai penyedia backhaul. Namun, dengan ekspansi Starlink ke segmen konsumen pada Mei 2024, dinamika pasar telekomunikasi Indonesia semakin kompleks.

Ketika didesak lebih lanjut mengenai implikasi keputusan Starlink ini terhadap pasar domestik atau strategi Telkomsel, Saki kembali menegaskan bahwa pertanyaan tersebut lebih tepat dialamatkan langsung kepada pihak Starlink. "Silahkan ditanyakan ke Starlink saja, kenapa dia berhenti (tambah) pelanggan," ucapnya, mengisyaratkan bahwa alasan di balik keputusan tersebut sepenuhnya berada di ranah internal Starlink dan tidak menjadi tanggung jawab Telkomsel untuk menjelaskannya. Respons ini juga bisa diinterpretasikan sebagai sikap Telkomsel yang tidak ingin terlalu mencampuri urusan operasional kompetitor, atau bahkan sebagai bentuk menunggu dan melihat strategi selanjutnya dari raksasa satelit tersebut.

Pengumuman dari Starlink bahwa "Layanan Starlink saat ini tidak tersedia untuk pelanggan baru di wilayah Anda karena kapasitasnya telah habis terjual di seluruh Indonesia" menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana sebuah layanan satelit global bisa mengalami "habis terjual" kapasitasnya di sebuah negara kepulauan sebesar Indonesia? Ini mengacu pada keterbatasan jumlah terminal pengguna (user terminal) yang dapat dilayani oleh konstelasi satelit LEO di area geografis tertentu pada satu waktu. Kapasitas sebuah jaringan satelit LEO tidak hanya bergantung pada jumlah satelit di orbit, tetapi juga pada kepadatan pengguna, lokasi stasiun bumi (gateway), serta alokasi pita frekuensi. Jika Starlink memang telah mencapai titik jenuh dalam alokasi kapasitasnya untuk Indonesia, ini bisa berarti bahwa jumlah pengguna aktif telah melampaui batas optimal yang dapat dilayani tanpa mengorbankan kualitas layanan bagi pelanggan yang sudah ada. Prioritas Starlink tampaknya adalah menjaga kualitas layanan bagi pelanggan eksisting, sebuah strategi yang umum dalam pengelolaan jaringan telekomunikasi.

Meskipun demikian, Starlink tetap membuka keran pemesanan bagi calon pelanggan Indonesia yang ingin mengantre untuk mendapatkan layanan internetnya. Ini berarti Starlink masih melihat potensi permintaan yang besar di Indonesia dan memiliki rencana untuk ekspansi kapasitas di masa mendatang. Namun, SpaceX belum mengungkapkan kepastian kapan layanan tersebut akan tersedia kembali bagi pelanggan baru. Situasi "waiting list" ini menyoroti tingginya minat masyarakat Indonesia terhadap alternatif konektivitas, terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau oleh infrastruktur terestrial atau seluler.

Kehadiran Starlink di Indonesia memiliki sejarah yang cukup dinamis. Pada Juni 2022, Starlink pertama kali resmi tersedia untuk pelanggan bisnis di Indonesia melalui kerja sama dengan Telkomsat, anak perusahaan Telkom, sebagai penyedia backhaul. Kemitraan ini memungkinkan Starlink untuk memanfaatkan infrastruktur darat Telkomsat, termasuk stasiun bumi, untuk menghubungkan layanan satelitnya ke jaringan internet nasional. Ini adalah langkah strategis bagi Starlink untuk memasuki pasar Indonesia dengan dukungan lokal. Puncak dari ekspansi Starlink di Indonesia adalah pada Mei 2024, ketika Elon Musk secara langsung hadir di Indonesia untuk meresmikan layanan ritel Starlink yang menyasar segmen konsumen umum. Kehadiran Musk saat itu menjadi sorotan global dan menandai dimulainya era baru persaingan dalam industri penyedia layanan internet di Indonesia. Janji konektivitas di daerah terpencil dan terdepan menjadi daya tarik utama Starlink, meskipun harga perangkat dan langganan bulanan relatif premium dibandingkan penyedia layanan terestrial.

Di sisi lain, kebijakan Pemerintah Indonesia terkait operasional dan investasi Starlink milik Elon Musk telah menjadi sorotan tajam. Banyak pihak, terutama pelaku usaha dalam negeri, menilai sikap pemerintah terlalu lunak dan cenderung memberikan karpet merah bagi Starlink tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap industri satelit nasional. Kekhawatiran utama adalah potensi ketidakadilan dalam persaingan, di mana operator domestik harus tunduk pada berbagai regulasi dan pajak yang mungkin tidak berlaku atau diberikan kelonggaran bagi Starlink.

Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) menjadi salah satu pihak yang paling vokal menyuarakan kekhawatiran ini. Kepala Bidang Media Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI), Firdaus Adinugroho, menegaskan pentingnya perlindungan dan pemberdayaan satelit nasional agar tetap memiliki ruang tumbuh yang adil dan berkelanjutan. Hal ini krusial untuk menjaga kedaulatan dan ketahanan infrastruktur digital Indonesia di masa mendatang. "Prinsip keadilan akses dan pemerataan digital tetap harus menjadi pegangan utama dalam setiap kebijakan konektivitas nasional," kata Firdaus. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan seruan untuk memastikan bahwa persaingan yang sehat dapat terjadi, dan kepentingan nasional tidak tergerus oleh dominasi pemain global.

Keadilan akses berarti semua penyedia layanan, baik domestik maupun asing, harus beroperasi di bawah payung regulasi yang setara, termasuk dalam hal perizinan, kewajiban layanan universal (Universal Service Obligation/USO), perpajakan, hingga kepatuhan terhadap standar data lokal. Pemerataan digital juga tidak hanya berarti ketersediaan koneksi, tetapi juga memastikan bahwa teknologi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat dikelola secara berkelanjutan oleh ekosistem lokal. Jika Starlink beroperasi dengan regulasi yang berbeda atau lebih ringan, hal ini dapat menciptakan "lapangan bermain yang tidak rata" bagi operator satelit dan telekomunikasi lokal yang telah berinvestasi besar di Indonesia, seperti Telkomsat, BRISat, PSN, dan operator lainnya.

Kedaulatan infrastruktur digital menjadi isu strategis yang tak kalah penting. Apabila mayoritas lalu lintas data Indonesia mengalir melalui infrastruktur asing, terutama untuk layanan vital, maka ada potensi kerentanan terhadap keamanan siber dan kontrol data. Oleh karena itu, mendorong pemberdayaan satelit nasional bukan hanya soal bisnis, tetapi juga soal menjaga kemandirian bangsa di era digital. Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), diharapkan dapat meninjau ulang kerangka regulasi yang ada dan memastikan bahwa setiap kebijakan baru mampu menyeimbangkan inovasi teknologi dengan perlindungan industri dalam negeri.

Keputusan Starlink untuk menghentikan pelanggan baru di Indonesia ini juga bisa menjadi momentum bagi pemerintah dan pelaku industri untuk merumuskan strategi konektivitas nasional yang lebih komprehensif. Ini termasuk mendorong investasi pada infrastruktur serat optik dan menara BTS di darat, serta mengembangkan kapasitas satelit geostasioner (GEO) dan LEO milik domestik. Keberadaan Starlink memang membuka peluang baru bagi konektivitas di wilayah yang sulit terjangkau, namun tantangan kapasitas yang kini dihadapi menunjukkan bahwa tidak ada solusi tunggal yang dapat memenuhi semua kebutuhan. Diversifikasi teknologi dan penyedia layanan adalah kunci untuk mencapai ketahanan dan kedaulatan digital yang sejati.

Bagi konsumen, penghentian penambahan pelanggan baru Starlink ini berarti mereka yang berada di daftar tunggu harus bersabar lebih lama. Ini juga mungkin mendorong mereka untuk kembali mempertimbangkan opsi konektivitas lain yang tersedia, baik dari operator seluler maupun penyedia layanan internet lokal. Dinamika pasar ini akan terus berkembang, dan respons dari Starlink terkait rencana ekspansi kapasitasnya di Indonesia akan sangat ditunggu. Sementara itu, pemerintah dan pelaku industri domestik diharapkan dapat mengambil pelajaran dari situasi ini untuk merumuskan kebijakan yang lebih proaktif dan berimbang demi masa depan konektivitas digital Indonesia yang berdaulat dan berkelanjutan.

Starlink Hentikan Pelanggan Baru di Indonesia, Telkomsel Respons Santai di Tengah Sorotan Kedaulatan Digital

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *