Ternyata Ini Sebabnya Jalan Tol Dalam Kota Lebih Terang Ketimbang Ruas Lainnya

Ternyata Ini Sebabnya Jalan Tol Dalam Kota Lebih Terang Ketimbang Ruas Lainnya

Pengamatan lebih lanjut menunjukkan bahwa penerangan di Tol Dalam Kota memang sangat optimal, dilengkapi dengan deretan lampu jalan yang memancarkan cahaya kuat, memastikan visibilitas maksimal bagi pengendara. Hal ini sangat wajar mengingat kepadatan lalu lintas yang tinggi, kompleksitas persimpangan, dan lingkungan perkotaan yang padat di sekitarnya. Sebaliknya, di Tol Jagorawi, khususnya di beberapa segmen yang membentang di area yang lebih terbuka dan minim permukiman, penerangan jalan umum (PJU) bisa dibilang sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Di area-area ini, mata pengemudi sepenuhnya bergantung pada iluminasi yang dipancarkan dari lampu depan mobil mereka, yang bagi sebagian orang mungkin terasa kurang nyaman atau bahkan menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan. Namun, di balik perbedaan ini, terdapat alasan kuat yang mendasari kebijakan penerangan jalan tol di Indonesia.

Usut punya usut, perbedaan tingkat penerangan ini secara fundamental mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 47 Tahun 2023 tentang Alat Penerangan Jalan. Regulasi ini tidak hanya berlaku untuk jalan tol, tetapi juga mengatur secara umum penempatan dan pemasangan alat penerangan jalan di berbagai jenis infrastruktur jalan. Dalam konteks jalan bebas hambatan atau jalan tol, Permenhub tersebut menegaskan bahwa penempatan dan pemasangan penerangan harus mempertimbangkan berbagai faktor krusial. Faktor-faktor tersebut meliputi fungsi jaringan jalan, geometri jalan (seperti tikungan tajam, tanjakan, turunan), situasi arus lalu lintas (kepadatan, kecepatan), aspek keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, serta keberadaan perlengkapan jalan terpasang lainnya. Dengan demikian, keputusan untuk memasang atau tidak memasang penerangan, serta tingkat intensitasnya, bukanlah sembarangan melainkan berdasarkan analisis komprehensif terhadap kondisi spesifik setiap ruas jalan.

Lebih jauh lagi, catatan dari detikOto menguatkan bahwa kebijakan penerangan jalan tol di Indonesia juga sudah selaras dengan Standard International Road Design. Standar internasional ini memberikan panduan yang jelas mengenai lokasi-lokasi spesifik yang memang wajib dilengkapi dengan penerangan jalan. Lokasi-lokasi tersebut mencakup area-area strategis dan berisiko tinggi yang memerlukan visibilitas ekstra untuk menjamin keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas. Pertama, adalah daerah rawan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) atau yang dikenal sebagai area black spot. Area black spot adalah segmen jalan yang memiliki catatan angka kecelakaan yang tinggi atau sering terjadi tindak kriminalitas, sehingga memerlukan penerangan maksimal untuk meningkatkan kewaspadaan dan keamanan.

Baca Juga:

Kedua, penerangan wajib dipasang menjelang gerbang tol. Area ini merupakan titik transisi di mana kendaraan melambat, berhenti untuk transaksi, dan kemudian berakselerasi kembali. Kepadatan kendaraan yang fluktuatif dan aktivitas transaksi memerlukan visibilitas yang sangat baik untuk mencegah kecelakaan dan memastikan kelancaran proses. Ketiga, di area simpang susun atau interchange. Simpang susun adalah struktur kompleks dengan banyak jalur yang saling berpotongan atau bercabang, membutuhkan konsentrasi tinggi dari pengemudi. Penerangan yang memadai sangat vital untuk membantu pengemudi mengenali rambu-rambu, memilah jalur, dan melakukan manuver dengan aman, terutama saat malam hari. Terakhir, dan ini adalah poin krusial yang menjelaskan mengapa Tol Dalam Kota begitu terang, adalah ruas tol dalam kota.

Jasa Marga, sebagai salah satu operator jalan tol terbesar di Indonesia, menjelaskan bahwa kewajiban penerangan di seluruh ruas jalan Tol Dalam Kota secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 16 Tahun 2014. Regulasi ini secara eksplisit mewajibkan pemasangan penerangan di sepanjang jalan tol yang melintasi wilayah perkotaan. Alasan di balik kebijakan ini sangat logis: tol dalam kota umumnya memiliki volume lalu lintas yang sangat tinggi, dengan banyak akses masuk dan keluar, serta seringkali berdekatan dengan area permukiman atau pusat bisnis. Kondisi ini menuntut tingkat visibilitas yang optimal untuk mengakomodasi pergerakan kendaraan yang padat dan kompleks, serta mengurangi risiko kecelakaan. Selain itu, pencahayaan juga disesuaikan dengan jenis perkerasan jalan berdasarkan Permenhub Nomor 47 Tahun 2023, memastikan bahwa material jalan pun mendukung efektivitas penerangan.

Sementara itu, untuk ruas tol yang tampak gelap, seperti sebagian Tol Jagorawi, pencahayaan dari sorot lampu mobil tetap dianggap cukup. Desain jalan tol modern telah mempertimbangkan aspek ini dengan sangat matang. Ruas tol di bawah pengelolaan Jasa Marga, misalnya, telah didesain dengan perkerasan jalan yang reflektif. Ini berarti permukaan jalan dirancang untuk memantulkan cahaya lampu kendaraan secara efektif, sehingga meskipun tidak ada lampu jalan, garis marka jalan, rambu, dan kontur jalan tetap terlihat jelas oleh pengemudi yang mengandalkan lampu depan mobil mereka. Desain reflektif ini tidak hanya menghemat energi dan biaya operasional yang sangat besar jika seluruh ruas tol harus diterangi, tetapi juga mengurangi potensi light pollution atau polusi cahaya yang bisa mengganggu ekosistem sekitar.

Penerapan sistem penerangan jalan tol juga dilakukan dengan mekanisme yang canggih dan efisien. Terdapat dua cara utama untuk menyalakan lampu penerangan jalan tol: manual dan otomatis. Metode manual, meskipun masih digunakan di beberapa titik atau untuk kondisi darurat, melibatkan penggunaan saklar untuk mengaktifkan atau menonaktifkan lampu. Namun, mayoritas lampu penerangan jalan tol modern telah dioperasikan secara otomatis. Sistem otomatis ini menggunakan sensor cahaya yang dikenal sebagai Light Dependent Resistor (LDR) atau dengan pengatur waktu (timer). Sensor LDR akan mendeteksi tingkat cahaya alami di lingkungan sekitar. Ketika intensitas cahaya alami menurun di bawah ambang batas tertentu, sensor akan secara otomatis mengirimkan sinyal untuk menyalakan lampu. Sebaliknya, saat cahaya alami meningkat di pagi hari, lampu akan padam secara otomatis. Penggunaan timer memungkinkan pengaturan waktu penyalaan dan pemadaman yang presisi berdasarkan jadwal harian yang telah ditentukan.

Lampu penerangan jalan ini juga tidak dinyalakan setiap waktu, melainkan mengikuti periode waktu tertentu untuk efisiensi energi. Periode waktu penyalaan umumnya dimulai pada pukul 18.00 hingga 06.00, atau disesuaikan dengan waktu matahari terbenam dan terbit. Kuat pencahayaan yang digunakan pada jam-jam operasional ini biasanya sebesar 100% dari kapasitas maksimalnya untuk memastikan visibilitas optimal selama jam-jam gelap. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan akan keselamatan, efisiensi operasional, dan kepatuhan terhadap regulasi.

Secara keseluruhan, perbedaan tingkat penerangan di ruas jalan tol bukanlah sebuah kebetulan atau kelalaian, melainkan cerminan dari strategi desain dan operasional yang terencana dengan baik. Ini adalah upaya untuk menciptakan sistem transportasi yang aman, efisien, dan berkelanjutan. Dengan memahami dasar regulasi, standar desain internasional, serta pertimbangan teknis dan ekonomis di baliknya, kita dapat melihat bahwa jalan tol yang "gelap" tidak selalu berarti tidak aman. Justru, hal tersebut menunjukkan bahwa setiap keputusan telah dipertimbangkan secara matang untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya tanpa mengorbankan keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan. Jasa Marga dan operator tol lainnya terus berinovasi, termasuk dengan mempertimbangkan teknologi penerangan pintar di masa depan, untuk terus meningkatkan kualitas layanan dan keamanan di seluruh jaringan jalan tol di Indonesia.

Ternyata Ini Sebabnya Jalan Tol Dalam Kota Lebih Terang Ketimbang Ruas Lainnya

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *