Teror Digital Mantan Kekasih: Ketika Aplikasi Jadi Senjata Penuh Ancaman

Teror Digital Mantan Kekasih: Ketika Aplikasi Jadi Senjata Penuh Ancaman

Aplikasi smartphone yang seharusnya mempermudah dan memperkaya konektivitas kita, kini disalahgunakan menjadi alat teror yang mengerikan, terutama dalam konteks hubungan asmara yang kandas. Fenomena ini, yang seringkali melibatkan mantan kekasih, telah menjadi momok menakutkan bagi banyak individu, dan sayangnya, tidak hanya terjadi di luar negeri melainkan juga merebak di Indonesia. Kasus-kasus nyata menunjukkan betapa rapuhnya batas antara ruang digital dan keamanan pribadi, mengubah platform komunikasi dan belanja menjadi medan pertempuran psikologis yang intens.

Popularitas aplikasi media sosial, perpesanan instan, dan belanja online telah menciptakan ekosistem digital yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, di balik kemudahan dan efisiensinya, tersembunyi potensi penyalahgunaan yang mampu menimbulkan dampak destruktif. Dua insiden yang menimpa perempuan di Indonesia baru-baru ini menjadi bukti nyata betapa parahnya teror digital dapat merenggut ketenangan dan rasa aman korban.

Kasus pertama menyoroti kisah pilu seorang mahasiswi Universitas Negeri Gorontalo (UNG) berinisial SD, 22 tahun, yang harus berhadapan dengan teror tak berujung dari mantan pacarnya, R. Motif di balik aksi keji ini adalah sakit hati yang mendalam karena diputuskan. Sejak Agustus 2023, hidup SD berubah menjadi mimpi buruk ketika ia mulai dibanjiri kiriman paket Cash on Delivery (COD) secara masif. Jumlahnya sungguh mencengangkan: lebih dari 400 paket yang terdiri dari berbagai barang, mulai dari barang elektronik mahal, lemari, pakaian, hingga makanan.

Setiap hari, SD harus menghadapi kedatangan kurir yang membawa paket-paket tak diinginkan, memaksanya untuk berinteraksi dengan dunia luar yang menjadi perpanjangan tangan teror sang mantan. Ini bukan hanya sekadar gangguan; ini adalah bentuk pelecehan sistematis yang dirancang untuk menciptakan kekacauan dan tekanan psikologis tiada henti. Bayangkan beban mental yang harus ditanggung seseorang ketika setiap bel pintu atau notifikasi kurir menjadi sumber kecemasan baru. Proses penolakan paket yang berulang-ulang juga menciptakan kerumitan logistik bagi SD, kurir, dan bahkan platform marketplace yang digunakan pelaku.

Ali Rajab, kuasa hukum SD, mengungkapkan betapa parahnya ancaman yang diterima kliennya. Pelaku, R, tidak hanya berhenti pada pengiriman paket COD. Ia juga melontarkan ancaman verbal melalui telepon, dengan kalimat yang menusuk jiwa: "Kamu akan saya buat stres sampai mati." Pernyataan ini menunjukkan niat jahat pelaku untuk menghancurkan mental korban, membuatnya hidup dalam ketakutan dan tekanan konstan. Modus operandi pelaku melibatkan penggunaan dua akun Facebook untuk melancarkan aksinya melalui marketplace, menunjukkan perencanaan dan ketekunan dalam meneror. Kasus ini, yang berawal pada Agustus 2023, baru mencuat ke publik dan diberitakan oleh detikSulsel pada Maret 2024, setelah korban memutuskan untuk mencari perlindungan hukum karena sudah tidak sanggup menanggung teror sendirian. Peristiwa ini menjadi pengingat pahit akan kerentanan platform belanja online yang bisa disalahgunakan sebagai senjata.

Tidak hanya di Gorontalo, teror digital serupa juga terjadi di Bekasi pada Mei 2025 (asumsi tahun yang dimaksud adalah 2024, mengingat konteks berita). Seorang wanita berinisial VPS, 21 tahun, yang tinggal di Cibitung, Bekasi, menjadi korban teror brutal dari mantan pacarnya, RSD, 43 tahun. Ancaman yang diterima VPS jauh lebih mengerikan dan langsung mengarah pada keselamatan fisik serta nyawanya: ancaman mutilasi dan disiram air keras.

Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi, hubungan asmara antara korban dan pelaku yang terjalin pada tahun 2023 berakhir setelah VPS memutuskan hubungannya. Namun, keputusan tersebut tidak diterima oleh RSD, yang kemudian melampiaskan kemarahannya melalui serangkaian teror digital. Pelaku secara berulang mengirimkan pesan-pesan ancaman melalui WhatsApp, sebuah aplikasi perpesanan yang sangat personal dan seringkali menjadi gerbang komunikasi utama. Isi pesan tersebut sangat gamblang dan sadis: "ingin mutilasi korban," dan "menyiram wajah korban dengan air keras."

Ancaman semacam ini menimbulkan ketakutan yang luar biasa bagi korban, tidak hanya secara psikologis tetapi juga ancaman nyata terhadap keselamatan fisiknya. WhatsApp yang seharusnya menjadi sarana komunikasi pribadi, berubah menjadi medium penyebaran teror yang menakutkan. Rasa takut akan ancaman fisik yang sedemikian ekstrem membuat VPS merasa sangat terancam dan akhirnya melaporkan kejadian ini ke polisi. Kasus ini kini tengah diselidiki oleh pihak kepolisian, menunjukkan keseriusan aparat dalam menangani kejahatan siber yang berdampak pada keselamatan jiwa.

Kedua kasus ini menggambarkan sisi gelap dari kemajuan teknologi dan kompleksitas hubungan manusia. Ketika sebuah hubungan berakhir, terutama jika ada pihak yang tidak dapat menerima perpisahan, aplikasi digital bisa menjadi saluran bagi emosi negatif seperti dendam, obsesi, dan keinginan untuk mengontrol. Psikologi di balik pelaku teror digital seringkali melibatkan kombinasi dari rasa tidak aman, narsisme, ketidakmampuan mengelola penolakan, serta keinginan untuk mendominasi dan mengendalikan mantan pasangannya. Mereka menggunakan teknologi untuk memperpanjang cengkeraman mereka, bahkan setelah hubungan fisik berakhir. Bagi pelaku, teror digital mungkin terasa aman karena ada jarak fisik, namun dampaknya pada korban bisa jauh lebih merusak daripada kekerasan fisik. Korban merasa tidak memiliki tempat aman, karena teror dapat menjangkau mereka kapan saja dan di mana saja melalui perangkat pribadi mereka.

Dampak psikologis dari teror digital sangat serius. Korban seringkali mengalami kecemasan, depresi, gangguan tidur, paranoid, dan bahkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Mereka hidup dalam ketakutan konstan, merasa privasi mereka dilanggar, dan seringkali mengisolasi diri dari lingkungan sosial karena rasa malu atau takut akan ancaman yang terus-menerus. Selain itu, teror COD seperti yang dialami SD juga dapat menimbulkan kerugian finansial, baik langsung maupun tidak langsung, serta membuang waktu dan energi yang berharga untuk menangani masalah logistik yang tidak perlu.

Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami teror digital semacam ini, penting untuk segera mengambil langkah-langkah perlindungan. Pertama dan terpenting, dokumentasikan semua bukti. Simpan tangkapan layar pesan, log panggilan, email, atau bukti transaksi yang mencurigakan. Setiap detail kecil dapat menjadi kunci dalam proses hukum. Kedua, blokir semua komunikasi dari pelaku di semua platform yang memungkinkan. Ini mungkin tidak menghentikan teror sepenuhnya, tetapi dapat mengurangi paparan langsung.

Ketiga, jangan ragu untuk mencari perlindungan hukum. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, dapat menjadi landasan hukum untuk menuntut pelaku teror digital. Pasal-pasal terkait ancaman (misalnya Pasal 29 UU ITE tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti), pencemaran nama baik, atau penyebaran informasi palsu dapat diterapkan. Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga memiliki pasal-pasal yang relevan, seperti Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan atau ancaman.

Melaporkan ke pihak kepolisian, khususnya unit siber atau reskrim, adalah langkah krusial. Aparat penegak hukum memiliki kemampuan untuk melacak jejak digital dan mengidentifikasi pelaku, bahkan jika mereka menggunakan akun palsu atau nomor tidak dikenal. Penting juga untuk mencari dukungan dari keluarga, teman, atau profesional kesehatan mental. Jangan menghadapi situasi mengerikan ini sendirian.

Kasus-kasus seperti yang dialami SD dan VPS adalah pengingat keras bahwa kemajuan teknologi membawa serta tanggung jawab besar. Baik pengguna maupun pengembang platform harus lebih sadar akan potensi penyalahgunaan dan bekerja sama untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman. Bagi korban, keberanian untuk berbicara dan mencari bantuan adalah langkah pertama menuju pemulihan dan keadilan. Sungguh sebuah kejadian yang mengerikan ketika sebuah hubungan bisa menjadi sangat toksik dan berubah menjadi teror digital yang tak terbayangkan. Jangan ragu untuk meminta perlindungan hukum dan pastikan Anda mendapatkan keadilan serta keamanan yang layak.

Teror Digital Mantan Kekasih: Ketika Aplikasi Jadi Senjata Penuh Ancaman

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *