
Insiden kecelakaan beruntun yang melibatkan sebuah Toyota Fortuner hitam di Jalan Ahmad Yani, tepatnya di depan Halte TransJakarta Utan Kayu, Jakarta Timur, pada Jumat (11/7) sekitar pukul 06.30 WIB, telah membuka tabir fenomena gelap penggunaan pelat nomor dinas palsu di jalan raya Ibu Kota. Kecelakaan yang menabrak lima kendaraan lain ini bukan hanya menjadi sorotan karena dampak kerusakan yang ditimbulkannya, tetapi juga karena terungkapnya modus operandi baru dalam upaya menghindari penegakan hukum lalu lintas, khususnya sistem tilang elektronik atau ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement). Polisi dengan cepat mengidentifikasi bahwa kendaraan mewah tersebut ternyata menggunakan pelat nomor dinas palsu, sebuah praktik yang semakin marak dan meresahkan masyarakat.
Investigasi awal oleh pihak kepolisian mengungkapkan bahwa Toyota Fortuner hitam yang terlibat dalam kecelakaan tersebut memang sengaja dipasangi pelat nomor dinas palsu. Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Komaruddin, secara gamblang menjelaskan motif di balik penggunaan pelat palsu ini: untuk menghindari jepretan kamera ETLE. “Salah satu fakta yang kemarin, baru-baru ini terjadi, kecelakaan lalu lintas yang di Rawamangun atau beruntun, itu ternyata TNKB (tanda nomor kendaraan bermotor/pelat nomor)-nya menggunakan TNKB palsu,” terang Kombes Komaruddin. Ia menambahkan, “(Penggunaan pelat dinas palsu) untuk menghindari capture-an kamera (ETLE). Karena sekarang untuk kendaraan dinas pun ter-capture oleh kamera itu. Bukan hanya kendaraan masyarakat, tapi kendaraan dinas juga ter-capture oleh ETLE.”
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa sistem ETLE yang semakin canggih telah dirancang untuk mencatat setiap pelanggaran lalu lintas, tanpa pandang bulu, termasuk yang dilakukan oleh kendaraan dinas resmi. Polisi menegaskan bahwa target penindakan ETLE adalah perilaku pengemudi, bukan semata-mata objek kendaraan. Untuk memastikan efektivitas sistem ini dan mencegah penyalahgunaan, Dirlantas Polda Metro Jaya telah berkoordinasi erat dengan Pusat Polisi Militer (POM) TNI dan Propam Mabes Polri. Kolaborasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh kendaraan dinas, baik militer maupun kepolisian, juga tunduk pada aturan yang sama dan akan teridentifikasi jika melakukan pelanggaran. Ini merupakan langkah progresif dalam menegakkan prinsip kesetaraan di mata hukum dan menciptakan ketertiban di jalan raya.
Baca Juga:
- Giring Ganesha: Dari Panggung Musik ke Kursi Komisaris BUMN, Ini Harta dan Koleksi Kendaraannya.
- Pedro Acosta Frustrasi, Mengincar Ducati di Tengah Krisis KTM: Duel Ambisi dan Realitas MotoGP 2025
- Petualangan Epik Mercedes Jip Indonesia Menjelajahi Keindahan Sumatera: Meneroka Swarnadwipa dengan Semangat Kebersamaan dan Bakti Sosial
- Penjualan Mobil LCGC Anjlok Drastis: Sinyal Pelemahan Daya Beli dan Berakhirnya Era Mobil Murah Indonesia
- Recall Mesin Nissan dan Infiniti: Hampir Setengah Juta Unit Terancam, Penggantian Mesin Jadi Opsi Terburuk
Namun, insiden Fortuner di Utan Kayu ini bukanlah kasus pertama yang melibatkan penggunaan pelat dinas palsu, khususnya pada kendaraan jenis SUV (Sport Utility Vehicle) seperti Toyota Fortuner atau Mitsubishi Pajero Sport. Sudah beberapa kali kejadian serupa terungkap, di mana warga sipil atau oknum tidak bertanggung jawab sengaja memakai atribut ala TNI maupun Polri, mulai dari pelat nomor hingga strobo dan sirine, untuk kepentingan pribadi. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa kendaraan seperti Fortuner kerap menjadi pilihan untuk praktik ilegal semacam ini, dan apa yang sebenarnya dicari oleh para pelaku?
Praktisi keselamatan berkendara sekaligus Director Training Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI), Sony Susmana, memberikan pandangannya terkait motif di balik penggunaan pelat nomor instansi tertentu. Menurutnya, ada persepsi dan ekspektasi yang salah kaprah di masyarakat mengenai fasilitas yang melekat pada kendaraan dinas. “Ada beberapa jenis kendaraan yang digunakan oleh pihak TNI/Polri sebagai alat transportasi kedinasan dan beberapa dilengkapi alat bantu seperti strobo, pelat nomor dan warna khusus. Masyarakat atau oknum yang tidak bertanggung jawab dalam hal ini banyak memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas kelancaran di jalan umum, sehingga segala cara dilakukan supaya tidak kena macet, menerobos barikade dan lain-lain,” jelas Sony.
Pandangan Sony Susmana ini menguatkan dugaan bahwa motif utama di balik penggunaan pelat dinas palsu adalah untuk mendapatkan perlakuan istimewa di jalanan. Dengan pelat dinas, mereka berharap bisa melewati kemacetan tanpa hambatan, menerobos jalur yang dilarang, atau bahkan menghindari pemeriksaan petugas. Ada semacam "privilese" yang diasosiasikan dengan kendaraan dinas, yang kemudian dimanfaatkan secara tidak sah oleh oknum-oknum ini. Fortuner, dengan citranya yang gagah dan seringkali identik dengan kendaraan dinas pejabat atau militer, menjadi pilihan yang populer untuk melancarkan aksi penipuan ini. Citra kuat dan berwibawa yang melekat pada Fortuner seolah memberikan legitimasi semu bagi para pengguna pelat palsu untuk bertindak semena-mena di jalan raya.
Sony Susmana juga mengingatkan bahwa petugas resmi mendapatkan fasilitas khusus seperti prioritas di jalan atau penggunaan strobo dan sirine karena mereka menjalankan tugas negara yang mendesak. Ini bukan hak istimewa yang bisa diikuti atau dicontoh sembarangan oleh masyarakat sipil. “Jadi banyak masyarakat yang tidak paham dalam melihat dan memahami, sehingga mencontoh yang tidak benar. Pesan saya, mulailah disiplin dari diri sendiri, bukan mencontoh dari yang tidak baik,” tegasnya. Pesan ini relevan mengingat banyak masyarakat yang mungkin melihat perilaku oknum ini dan menganggapnya sebagai hal yang wajar, padahal jelas-jelas melanggar hukum dan etika berlalu lintas.
Di luar konteks penghindaran ETLE dan pencarian prioritas, penggunaan pelat dinas palsu juga mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam budaya berlalu lintas di Indonesia. Ada mentalitas "ingin cepat dan mudah" yang terkadang mengabaikan aturan dan norma. Penggunaan atribut dinas palsu, baik pelat nomor, strobo, sirine, bahkan stiker instansi tertentu, adalah manifestasi dari mentalitas tersebut. Ini menciptakan ketidakadilan di jalan, di mana sebagian orang merasa berhak mendapatkan perlakuan khusus hanya karena penampilan kendaraan mereka.
Secara hukum, penggunaan pelat nomor palsu merupakan pelanggaran serius. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), penggunaan pelat nomor yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh kepolisian atau yang palsu dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal 280 UU LLAJ menyebutkan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana kurungan paling lama 5 (lima) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Lebih jauh lagi, jika penggunaan pelat palsu ini disertai dengan niat untuk melakukan penipuan atau bahkan tindakan kriminal lainnya, maka ancaman pidana yang lebih berat dapat dikenakan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti pemalsuan surat atau penipuan.
Selain itu, jika penggunaan pelat dinas palsu ini disertai dengan upaya penyamaran sebagai anggota TNI atau Polri, maka pelaku juga dapat dijerat dengan pasal penipuan atau penyamaran jabatan yang tidak sah, yang diatur dalam KUHP. Penyamaran identitas atau atribut dinas instansi resmi sangat berbahaya karena dapat merusak citra institusi dan bahkan digunakan untuk melakukan tindak kejahatan yang lebih serius, seperti penipuan, pemerasan, atau bahkan perampokan.
Pemerintah dan aparat penegak hukum terus berupaya memerangi praktik ilegal ini. Sosialisasi mengenai bahaya dan sanksi penggunaan pelat palsu terus digalakkan. Razia kendaraan secara berkala juga dilakukan untuk menjaring para pelaku. Kolaborasi antara kepolisian lalu lintas dengan Polisi Militer dan Propam Mabes Polri menjadi kunci untuk memastikan bahwa penindakan dilakukan secara komprehensif, tidak hanya menyasar warga sipil tetapi juga oknum-oknum yang mungkin menyalahgunakan wewenang atau fasilitas dinas. Langkah ini penting untuk menjaga wibawa institusi TNI dan Polri, serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu.
Fenomena pelat dinas palsu pada Toyota Fortuner ini adalah cerminan kompleks dari masalah disiplin lalu lintas, etika berkendara, dan penegakan hukum di Indonesia. Insiden di Utan Kayu ini harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk lebih serius dalam menanggulangi praktik ilegal ini. Masyarakat diimbau untuk tidak meniru perilaku yang melanggar hukum, melainkan menjadi agen perubahan menuju budaya berlalu lintas yang lebih tertib dan patuh aturan. Dengan kesadaran kolektif dan penegakan hukum yang konsisten, diharapkan jalan raya Indonesia dapat menjadi tempat yang lebih aman, adil, dan tertib bagi semua pengguna. Disiplin diri adalah kunci utama, karena pada akhirnya, keamanan dan ketertiban lalu lintas adalah tanggung jawab bersama.
