
Tesla, raksasa mobil listrik yang pernah tak terbantahkan dominasinya di pasar global, kini menghadapi badai sempurna yang mengancam posisinya sebagai pionir. Di tengah persaingan yang semakin sengit dari berbagai penjuru dunia dan minat konsumen yang mulai goyah, merek mobil listrik asal Amerika Serikat ini justru belum menepati janjinya untuk menghadirkan kendaraan dengan harga terjangkau, sebuah strategi yang krusial untuk penetrasi pasar yang lebih luas. Kondisi ini menciptakan tekanan luar biasa bagi perusahaan yang dipimpin oleh Elon Musk tersebut, menyoroti tantangan mendalam yang harus dihadapi untuk mempertahankan relevansinya.
Angka-angka terbaru melukiskan gambaran suram mengenai kinerja penjualan Tesla. Dikutip dari laporan Forbes, lesunya penjualan Tesla terjadi hampir di seluruh pasar utama dunia, menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan. Di Eropa, salah satu pasar kunci yang sebelumnya menunjukkan pertumbuhan pesat, Tesla mencatat penurunan penjualan selama lima bulan berturut-turut. Ini adalah indikasi jelas bahwa daya tarik merek tersebut di Benua Biru mulai memudar, mungkin karena kemunculan opsi-opsi EV baru yang lebih beragam dan kompetitif dari pabrikan lokal maupun Asia.
Situasi serupa terjadi di Amerika Serikat, yang notabene adalah pasar domestik dan basis produksi utama Tesla. Data menunjukkan bahwa penjualan di AS terus melemah, menandakan bahwa bahkan di "kandang sendiri," Tesla kesulitan mempertahankan momentum. Namun, pukulan terbesar mungkin datang dari Tiongkok, pasar mobil listrik terbesar di dunia dan selama ini menjadi motor penggerak pertumbuhan signifikan bagi Tesla. Di Tiongkok, penjualan Tesla dilaporkan turun hingga 15% pada bulan lalu, sebuah angka yang mengkhawatirkan mengingat agresivitas dan inovasi merek-merek EV lokal yang luar biasa di sana.
Baca Juga:
- Xpeng Perkuat Posisi di Indonesia dengan Perakitan Lokal dan Baterai Domestik, Menandai Babak Baru Industri Otomotif Nasional.
- Kontroversi Nama Lepas: Mengurai Identitas Merek Mobil China yang Fenomenal di Indonesia.
- Pungli ‘Hantu’ di Balik Truk ODOL: Beban Rp 150 Juta per Tahun dan Kerugian Triliunan Rupiah Logistik Nasional
- Tragedi di Jalan Tol Spanyol: Diogo Jota dan Adik Tewas dalam Kecelakaan Lamborghini Maut
- Pajak Lebih Murah Bikin Orang Indonesia Kepincut Beli Mobil Listrik
Secara agregat, performa Tesla di kuartal II 2025 jauh dari ekspektasi. Perusahaan hanya mampu mengirimkan 384.122 unit kendaraan listrik ke pasar global. Angka ini tidak hanya turun 14% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, tetapi juga menandai penurunan kuartal ketiga berturut-turut. Ini adalah tren yang sangat meresahkan bagi investor dan analis, yang sebelumnya terbiasa melihat pertumbuhan eksponensial dari Tesla. Penurunan berturut-turut ini mengindikasikan bahwa masalah yang dihadapi Tesla bukan sekadar fluktuasi sesaat, melainkan tantangan struktural yang memerlukan respons strategis yang mendalam.
Salah satu penyebab utama yang sering disebut-sebut oleh analis adalah absennya model entry-level. Salah satu pilar utama visi Elon Musk adalah menghadirkan kendaraan listrik yang terjangkau bagi masyarakat luas, yang akan mendorong adopsi massal. Namun, Model Y versi murah atau model yang lebih kecil dan terjangkau yang sempat digadang-gadang akan meluncur tahun ini, justru ditunda. Penundaan ini menjadi bumerang, karena di saat yang sama, para pesaing justru gencar meluncurkan model-model EV dengan harga lebih kompetitif, merebut pangsa pasar yang seharusnya bisa diisi oleh Tesla. Kegagalan memenuhi janji ini merusak kepercayaan konsumen dan investor, yang telah lama menantikan "Model 2" atau varian yang lebih terjangkau.
Lebih dari sekadar masalah produk, babak belur Tesla di pasar otomotif global juga diperparah oleh berkurangnya minat beli masyarakat Amerika Serikat akan mobil listrik secara umum. Studi yang dilakukan oleh AAA (American Automobile Association) pada Juni 2025 mengungkapkan fakta mengejutkan: minat beli masyarakat AS akan mobil listrik kian menurun drastis. Disebutkan bahwa hanya 16% orang dewasa di Amerika Serikat yang menyatakan ingin membeli EV. Angka ini anjlok signifikan dibandingkan tahun 2022, ketika angkanya masih berada di 25%. Penurunan minat ini disinyalir dipicu oleh beberapa faktor, termasuk kekhawatiran mengenai ketersediaan infrastruktur pengisian daya, biaya awal yang masih tinggi dibandingkan mobil konvensional, kekhawatiran akan depresiasi nilai jual kembali, serta "range anxiety" atau ketakutan kehabisan daya di tengah perjalanan. Jika pasar domestik sendiri menunjukkan keraguan, ini menjadi tantangan fundamental bagi setiap produsen EV, termasuk Tesla.
Selain faktor-faktor pasar dan produk, reputasi pribadi Elon Musk yang belakangan dekat dengan Presiden AS Donald Trump juga disebut-sebut mempengaruhi persepsi konsumen, terutama di segmen pembeli yang sensitif terhadap isu politik dan sosial. Business Insider mencatat bahwa banyak konsumen mulai berpaling dari Tesla karena citra politik Musk yang dianggap kontroversial. Tesla, yang dulunya diasosiasikan dengan inovasi ramah lingkungan dan progresivitas, kini di mata sebagian konsumen tercampur dengan pandangan politik ekstrem. Hal ini dapat menyebabkan "boycott" terselubung dari segmen pembeli yang tidak sepaham dengan pandangan atau afiliasi politik Musk, merusak citra merek yang telah dibangun susah payah.
Di sisi lain, persaingan dari merek mobil listrik Tiongkok semakin tajam dan mendominasi. Pabrikan seperti BYD, Nio, Xpeng, dan Li Auto tidak hanya menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif, tetapi juga inovasi yang cepat, desain menarik, dan fitur-fitur canggih yang disesuaikan dengan pasar lokal. BYD, khususnya, telah melampaui Tesla dalam hal volume penjualan global, menunjukkan bahwa model bisnis yang lebih terintegrasi dan fokus pada efisiensi biaya dapat menghasilkan keunggulan signifikan. Selain itu, pabrikan otomotif tradisional seperti Volkswagen, General Motors, Ford, Hyundai, dan Kia juga semakin gencar meluncurkan model-model EV mereka sendiri dengan harga bersaing dan jaringan diler yang mapan, memberikan lebih banyak pilihan kepada konsumen dan mengikis pangsa pasar Tesla.
Tesla juga disebut salah strategi dalam menghadapi perang di skena otomotif global yang semakin ketat. Di saat banyak merek lain mulai mengalihkan fokus ke kendaraan hybrid sebagai alternatif transisi yang lebih diterima pasar, atau berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan EV yang lebih terjangkau dan praktis, Tesla justru makin fokus ke teknologi futuristik seperti robotaxi dan kecerdasan buatan (AI). Meskipun visi jangka panjang Musk untuk mobilitas otonom dan AI sangat ambisius, fokus yang terlalu dini pada proyek-proyek masa depan ini dianggap mengalihkan sumber daya dan perhatian dari bisnis utamanya saat ini, yang masih sangat bergantung pada penjualan mobil listrik dan baterai. Investor dan pasar mengharapkan hasil konkret dari penjualan mobil, bukan hanya janji-janji teknologi masa depan yang masih jauh dari realisasi komersial massal.
Solusi Elon Musk: Pecat Orang Kepercayaannya
Di tengah situasi sulit dan tekanan yang memuncak ini, CEO Tesla Elon Musk mengambil keputusan drastis yang mengejutkan banyak pihak. Ia memecat Omead Afshar, Kepala Operasional untuk wilayah Amerika Utara dan Eropa. Pemecatan ini menjadi sorotan karena Afshar dikenal sebagai salah satu orang kepercayaan Musk yang paling setia dan berdedikasi. Afshar bergabung dengan Tesla sejak tahun 2017 sebagai insinyur, dan dengan cepat naik pangkat menjadi Wakil Presiden yang membawahi operasional di dua pasar terbesar Tesla. Ia adalah sosok penting yang bertanggung jawab atas kelancaran produksi dan pengiriman di wilayah-wilayah kunci tersebut.
Pemecatan Afshar dilakukan menjelang tutup kuartal II 2025, periode yang penuh tekanan karena angka penjualan yang mengecewakan. Langkah ini diyakini sebagai upaya Musk untuk merespons tekanan yang kian besar dari investor dan publik yang menuntut pertanggungjawaban atas kinerja buruk perusahaan. Dalam lingkungan korporat, pemecatan eksekutif senior sering kali menjadi sinyal bahwa kepemimpinan puncak menyalahkan kinerja bawahan atas masalah yang terjadi, atau sebagai upaya untuk menunjukkan kepada pasar bahwa langkah-langkah serius sedang diambil untuk mengatasi krisis.
Forbes bahkan menulis, "Afshar selama ini dikenal sebagai tangan kanan Musk. Bahkan dia yang memimpin perayaan peluncuran robotaxi Tesla di Austin bulan lalu." Fakta bahwa Afshar, yang begitu dekat dengan visi futuristik Musk dan bertanggung jawab atas operasional sehari-hari, dipecat, mengirimkan gelombang kejutan. Ini menunjukkan tingkat frustrasi yang tinggi di jajaran manajemen Tesla, dan bisa jadi merupakan upaya untuk "membersihkan rumah" atau mencari kambing hitam di tengah badai. Namun, pertanyaan besar tetap ada: apakah pemecatan satu orang kepercayaan akan cukup untuk mengatasi masalah fundamental yang lebih luas, mulai dari strategi produk, persaingan, hingga citra merek?
Masa depan Tesla, yang pernah dianggap tak tergoyahkan dan menjadi tolok ukur inovasi otomotif, kini berada di persimpangan jalan yang krusial. Perusahaan harus cepat beradaptasi, memenuhi janji-janji produk yang terjangkau, meninjau kembali strategi fokusnya, dan mungkin yang terpenting, memperbaiki hubungan dengan konsumen yang semakin kritis. Kegagalan untuk melakukan perubahan mendasar ini dapat berakibat fatal, mengancam dominasi yang telah dibangun Tesla selama bertahun-tahun di era mobil listrik.
