
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) secara tegas menyuarakan dukungannya terhadap wacana regulasi yang lebih komprehensif terkait layanan Over-The-Top (OTT), khususnya bagi platform yang menyertakan fitur Voice over Internet Protocol (VoIP) seperti WhatsApp, Skype, Instagram, Zoom, hingga Google Meet. Sikap ini bukan sekadar respons sesaat, melainkan refleksi dari diskusi panjang dan tantangan fundamental yang dihadapi industri telekomunikasi nasional di tengah gelombang disrupsi digital yang masif. Para operator seluler, yang merupakan anggota inti ATSI, melihat kebutuhan mendesak untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih seimbang, di mana semua pemain memiliki kewajiban yang setara, terutama dalam hal menjaga kualitas layanan bagi konsumen.
Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menegaskan bahwa konsensus di antara para operator seluler adalah menyetujui penerapan aturan bagi OTT yang menyediakan layanan VoIP. Namun, persetujuan ini datang dengan syarat krusial: kewajiban bagi para penyedia layanan OTT tersebut untuk memperhatikan dan menjamin kualitas layanan mereka, atau yang dikenal dengan Quality of Service (QoS). Isu QoS ini menjadi titik sentral perdebatan. Selama ini, layanan VoIP, yang memungkinkan percakapan suara dan video ditransformasi menjadi format digital dan dikirim melalui internet, kerap beroperasi tanpa standar kualitas yang jelas. Berbeda dengan layanan telekomunikasi tradisional yang diatur ketat oleh pemerintah terkait QoS, layanan OTT VoIP seringkali bebas dari beban tersebut, menciptakan asimetri regulasi yang merugikan operator lokal dan, pada akhirnya, konsumen.
Marwan mengilustrasikan ketidakadilan ini dengan contoh yang sangat relevan dan sering terjadi. "Kebayang waktu WhatsApp, mohon maaf saya sampaikan, di beberapa bagian misalnya WhatsApp down itu kita bisa protes nggak? Nggak. Justru yang diprotes itu operatornya, tapi kan operator itu penyelenggara dan operator tidak bisa protes," ujarnya saat ditemui di Jakarta. Pernyataan ini menyoroti ironi yang dihadapi operator seluler. Ketika layanan OTT yang berjalan di atas infrastruktur mereka mengalami gangguan, keluhan dan protes dari pelanggan justru dialamatkan kepada operator. Padahal, operator tidak memiliki kendali langsung atas operasional layanan OTT tersebut, apalagi kemampuan untuk menuntut pertanggungjawaban atas gangguan yang terjadi. Ini menciptakan beban reputasi dan operasional yang tidak proporsional bagi operator, sementara penyedia OTT dapat menghindari tanggung jawab langsung terhadap pengguna akhir.
Wacana kewajiban QoS untuk WhatsApp dan sejenisnya, menurut Marwan, masih dalam tahap awal pembahasan. Bentuk implementasinya belum final dan masih memerlukan kajian mendalam dari berbagai pihak. Namun, Marwan memberikan gambaran awal tentang kemungkinan model yang bisa diterapkan, salah satunya adalah skema kuota data khusus untuk mengakses layanan tertentu. Ide di balik skema ini adalah bahwa jika pengguna membayar untuk layanan tertentu, baik itu melalui pembelian kuota khusus atau model berlangganan, maka harus ada jaminan kualitas yang menyertainya. "Kalau bayar, maka akan ada jaminan kualitas, ada refund bukan dari operator tapi dari OTT ini. Teman-teman pengguna juga pelanggan, kalau kualitas bagus kan senang, kan WhatsApp sudah menjadi darah daging pengguna, Instagram, Facebook, TikTok, sudah saatnya, jangan gratis terus," jelasnya.
Pernyataan "jangan gratis terus" ini bukan sekadar keluhan tanpa dasar, melainkan cerminan dari model bisnis yang tidak berkelanjutan dari sudut pandang operator. Operator telekomunikasi telah menginvestasikan triliunan rupiah untuk membangun dan memelihara infrastruktur jaringan yang canggih, mulai dari menara BTS, kabel serat optik, hingga sistem inti jaringan. Infrastruktur inilah yang menjadi tulang punggung bagi operasional layanan OTT. Namun, layanan OTT, yang menghasilkan keuntungan besar dari iklan atau data pengguna, seringkali tidak berkontribusi secara langsung pada biaya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur tersebut. Hal ini menciptakan apa yang disebut "free rider problem," di mana OTT menikmati manfaat dari investasi operator tanpa menanggung beban yang seimbang.
Ketiadaan kewajiban QoS bagi OTT juga berdampak langsung pada pengalaman pengguna. Tanpa standar kualitas yang jelas, pengguna seringkali dihadapkan pada panggilan suara yang putus-putus, video yang pecah-pecah, atau keterlambatan dalam pengiriman pesan. Meskipun pengguna mungkin menyadari bahwa masalahnya ada pada aplikasi, mereka tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk mengajukan keluhan atau menuntut kompensasi. Operator, di sisi lain, dituntut untuk selalu menjaga kualitas jaringan mereka agar aplikasi OTT dapat berjalan lancar, namun tidak memiliki wewenang untuk meminta OTT bertanggung jawab atas kualitas layanan yang mereka sediakan di atas jaringan tersebut.
Lebih lanjut, Marwan menekankan bahwa dorongan ATSI untuk regulasi ini adalah demi keadilan dan kepentingan pengguna. "Karena yang sebenarnya yang diperjuangkan adalah kualitas layanannya," kata Marwan. Ini adalah inti dari argumen ATSI. Mereka tidak ingin menghambat inovasi atau membatasi akses masyarakat terhadap layanan digital yang populer. Sebaliknya, mereka ingin memastikan bahwa layanan-layanan ini beroperasi dengan standar kualitas yang tinggi, yang pada akhirnya akan menguntungkan semua pihak, terutama konsumen. Jika konsumen membayar untuk data yang digunakan untuk mengakses layanan VoIP, mereka berhak mendapatkan kualitas yang sepadan.
Implementasi regulasi QoS untuk OTT VoIP tentu akan menghadapi berbagai tantangan. Pertama, definisi QoS untuk layanan OTT bisa jadi kompleks. Apakah itu latensi, jitter, packet loss, atau kombinasi dari semuanya? Bagaimana mengukur dan memverifikasi kualitas layanan yang disediakan oleh platform global yang beroperasi lintas batas? Kedua, mekanisme pembayaran dan pengembalian dana (refund) juga memerlukan kerangka hukum dan teknis yang jelas. Apakah ini akan menjadi model pay-per-use, berlangganan bulanan, atau bagian dari paket data yang ditawarkan operator? Ketiga, koordinasi antara regulator (Kementerian Komunikasi dan Informatika/Kominfo), operator, dan penyedia OTT global akan menjadi kunci keberhasilan.
Wacana ini juga sejalan dengan tren global di mana banyak negara mulai mempertimbangkan bagaimana mengatur layanan digital yang berkembang pesat. Di Eropa, misalnya, ada diskusi tentang "fair share" atau kontribusi yang adil dari perusahaan teknologi besar terhadap biaya infrastruktur telekomunikasi. Regulator di berbagai belahan dunia semakin menyadari bahwa model regulasi yang ada mungkin tidak lagi relevan untuk menghadapi lanskap digital yang terus berubah. Oleh karena itu, langkah yang diambil ATSI di Indonesia dapat dilihat sebagai bagian dari upaya yang lebih besar untuk menciptakan kerangka regulasi yang adaptif dan pro-konsumen.
Pemerintah, melalui Kominfo, diharapkan dapat menjadi mediator yang efektif dalam menyusun regulasi ini. Keseimbangan antara mendorong inovasi, melindungi kepentingan konsumen, dan memastikan keberlanjutan industri telekomunikasi domestik harus menjadi prioritas. Regulasi yang terlalu ketat dapat menghambat inovasi dan akses, sementara regulasi yang terlalu longgar dapat menciptakan distorsi pasar dan merugikan konsumen dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, tujuan dari desakan ATSI ini adalah menciptakan ekosistem digital yang sehat dan berkelanjutan. Dengan adanya kewajiban QoS, penyedia OTT akan terdorong untuk berinvestasi lebih dalam pada infrastruktur dan teknologi mereka, atau setidaknya memastikan bahwa layanan mereka dapat berjalan optimal di atas jaringan operator. Ini akan menghasilkan pengalaman pengguna yang lebih baik, mengurangi keluhan, dan membangun kepercayaan yang lebih besar terhadap layanan digital. Bagi operator, ini akan menciptakan "level playing field" yang lebih adil, memungkinkan mereka untuk bersaing secara setara dan terus berinvestasi dalam pengembangan jaringan demi kemajuan digital Indonesia. Ini adalah langkah krusial menuju transformasi digital yang tidak hanya cepat, tetapi juga berkualitas dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
