Viral Final Sepakbola Tarkam di Banjarnegara Ricuh, 3 Polisi Terluka

Viral Final Sepakbola Tarkam di Banjarnegara Ricuh, 3 Polisi Terluka

Viral Final Sepakbola Tarkam di Banjarnegara Ricuh, 3 Polisi Terluka

Suasana meriah yang semula menyelimuti Lapangan Kayuares, Desa Kayuares, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara, pada Minggu, 6 Juli 2025, mendadak berubah menjadi palagan kekacauan. Laga final sepak bola antarkampung (tarkam) dalam ajang Open Tournament Indonesia Stars Championship 2025 yang mempertemukan dua tim kebanggaan lokal, Potato Reborn dan GRKP FC, berakhir tragis dengan kericuhan massal yang melukai setidaknya tiga personel kepolisian dan satu warga sipil. Insiden memilukan ini, yang terekam dalam berbagai video dan kemudian viral di media sosial, menjadi pengingat pahit akan tantangan besar dalam mengelola antusiasme sepak bola di tingkat akar rumput.

Turnamen sepak bola tarkam, atau antarkampung, adalah denyut nadi utama persepakbolaan Indonesia di banyak daerah. Di Banjarnegara, seperti di banyak kabupaten lain, kompetisi semacam ini bukan sekadar ajang olahraga, melainkan sebuah pesta rakyat yang dinanti-nanti. Ia menjadi wadah bagi bakat-bakat lokal untuk unjuk gigi, sekaligus hiburan murah meriah yang menyatukan seluruh elemen masyarakat. Gengsi dan kebanggaan kampung dipertaruhkan, menciptakan atmosfer persaingan yang intens namun seharusnya tetap dalam koridor sportivitas. Open Tournament Indonesia Stars Championship 2025 adalah salah satu perhelatan akbar yang berhasil menarik ribuan penonton dari berbagai pelosok Banjarnegara dan sekitarnya. Sejak babak penyisihan, setiap pertandingan selalu disesaki penonton, menunjukkan betapa besar animo masyarakat terhadap sepak bola lokal. Puncaknya adalah laga final ini, di mana euforia telah memuncak sejak pagi hari, dengan para suporter berbondong-bondong memadati lapangan, membawa spanduk, genderang, dan segala atribut dukungan untuk tim jagoan mereka.

Pertandingan final antara Potato Reborn dan GRKP FC berlangsung sengit sejak peluit kick-off dibunyikan. Kedua tim menampilkan permainan menyerang dan jual beli serangan, membuat penonton di tribun dan pinggir lapangan tak henti-hentinya berteriak dan bersorak. Skor sempat imbang tanpa gol hingga babak kedua berjalan. Namun, ketegangan mulai terasa saat wasit mengambil beberapa keputusan yang dianggap kontroversial oleh kubu Potato Reborn dan para pendukungnya. Puncaknya terjadi di menit-menit akhir pertandingan, saat GRKP FC berhasil mencetak gol kedua, mengubah kedudukan menjadi 0-2. Gol tersebut, menurut sebagian suporter Potato Reborn, diwarnai pelanggaran yang tidak disadari wasit, atau setidaknya, wasit gagal melihatnya.

Kekecewaan itu memuncak menjadi kemarahan massal yang tak terbendung. Sebelum pertandingan benar-benar usai, ratusan penonton yang didominasi oleh pendukung tim yang merasa dirugikan mulai merangsek masuk ke dalam lapangan. Awalnya hanya sekelompok kecil, namun dengan cepat diikuti oleh massa yang lebih besar, menciptakan gelombang manusia yang tak terkendali. Situasi yang semula riuh dengan sorakan, kini berubah menjadi suara gemuruh teriakan kemarahan, disusul dengan lemparan benda-benda keras. Botol air mineral, batu, hingga potongan bambu yang sebelumnya digunakan sebagai penyangga spanduk, mendadak beterbangan ke arah lapangan, menargetkan wasit, pemain lawan, bahkan aparat keamanan yang berjaga.

Video insiden ini dengan cepat menyebar dan menjadi viral di berbagai platform media sosial, salah satunya diunggah oleh akun Instagram @infoseptarbanjarnegara. Rekaman tersebut dengan jelas memperlihatkan kondisi lapangan yang sudah kacau balau, dengan kepulan debu dan kerumunan massa yang melempari petugas yang berusaha mengamankan situasi. "Dari tragedi Kanjuruhan, sepakbola kita tidak pernah belajar," demikian narasi yang menyertai video tersebut, sebuah kalimat pendek namun sarat makna yang menyentil luka lama dalam dunia sepak bola Indonesia. Perbandingan dengan tragedi Kanjuruhan bukan tanpa alasan. Meskipun skala dan dampaknya berbeda jauh, insiden di Banjarnegara ini kembali menunjukkan kerapuhan manajemen keamanan pertandingan, terutama dalam mengendalikan emosi massa yang berlebihan, serta pentingnya evaluasi ulang terhadap standar operasional prosedur (SOP) pengamanan di setiap level kompetisi.

Dikonfirmasi terpisah pada Senin, 7 Juli 2025, Kepala Bagian Operasi (Kabag Ops) Polres Banjarnegara, Kompol Priyo Jatmiko, membenarkan adanya kerusuhan dalam laga final tersebut. "Benar terjadi kerusuhan kemarin pada laga final. Supporter banyak yang masuk lapangan," ujarnya saat ditemui di Mapolres Banjarnegara. Ia menambahkan bahwa akibat dari kejadian ini, empat orang mengalami luka-luka. "Ada 4 orang yang mengalami luka-luka, 3 dari petugas polisi, dan dari warga laporan yang masuk ke kami 1 orang," rinci Kompol Priyo.

Para korban rata-rata mengalami luka lecet di bagian kepala, mulai dari pipi, kening, hingga dagu. Luka-luka tersebut disebabkan oleh lemparan batu dan potongan bambu yang dilemparkan oleh massa yang marah. "Untuk luka, semuanya lecet-lecet ada yang di pipi, dagu dan kening. Itu karena ada lemparan batu, dan bambu juga," jelas Kompol Priyo. Beruntung, kondisi semua korban saat ini sudah membaik setelah mendapatkan penanganan medis. Mereka segera dilarikan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan perawatan, menunjukkan respons cepat dari pihak berwenang dalam menangani korban.

Kompol Priyo lebih lanjut menyampaikan bahwa pemicu utama kerusuhan ini adalah kekecewaan penonton terhadap keputusan wasit yang dianggap merugikan tim Potato Reborn. Meskipun demikian, laga final tetap dilanjutkan di tengah kekacauan dan akhirnya dimenangkan oleh GRKP FC dengan skor akhir 0-2. Keputusan untuk melanjutkan pertandingan di tengah situasi yang tidak kondusif mungkin akan menjadi bahan evaluasi tersendiri bagi panitia dan pihak keamanan.

Dalam upaya mengantisipasi potensi kerusuhan, Kompol Priyo Jatmiko mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerjunkan personel pengamanan dalam jumlah besar. "Jumlah petugas yang diterjunkan ada 500 personel itu dari Polri dan juga dari TNI," tambahnya. Jumlah ini terbilang sangat besar untuk ukuran turnamen tarkam, menunjukkan bahwa pihak keamanan telah menyadari potensi kerawanan yang mungkin terjadi. Pihak kepolisian juga mengklaim telah menjalankan pengamanan sesuai SOP yang berlaku. Namun, insiden ini tetap menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas SOP tersebut dalam menghadapi gelombang emosi massa yang sulit diprediksi.

Meskipun aparat telah berupaya maksimal, gelombang kekecewaan yang memuncak menjadi kemarahan massa membuktikan bahwa faktor emosi dalam sepak bola, terutama di tingkat akar rumput, seringkali lebih dominan daripada logika. Pengamanan yang berlapis, bahkan dengan jumlah personel yang besar, terkadang tidak cukup untuk menahan gelombang amuk massa yang sudah terbakar. Insiden ini juga menjadi cerminan bahwa edukasi suporter, manajemen pertandingan yang lebih ketat, serta pengawasan wasit yang transparan, adalah elemen-elemen krusial yang perlu terus diperbaiki.

Pasca-insiden, pihak kepolisian Banjarnegara menyatakan akan melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengidentifikasi provokator dan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kericuhan tersebut. "Kami akan terus mendalami insiden ini dan mencari siapa dalang di baliknya. Kekerasan dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan," tegas Kompol Priyo, mengindikasikan adanya kemungkinan proses hukum bagi mereka yang terbukti melakukan tindak kekerasan atau provokasi. Evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan turnamen semacam ini di masa mendatang juga menjadi agenda penting. Koordinasi antara panitia penyelenggara, aparat keamanan, dan tokoh masyarakat perlu diperkuat untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang.

Bagi masyarakat Banjarnegara, insiden ini meninggalkan jejak kekhawatiran. Sepak bola yang seharusnya menjadi pemersatu dan hiburan, kini tercoreng oleh aksi kekerasan. Seorang warga setempat, Ibu Titin (45), yang turut menyaksikan pertandingan, mengungkapkan kekecewaannya. "Kami datang untuk menonton, untuk bersenang-senang, bukan untuk melihat kerusuhan seperti ini. Kasihan anak-anak yang ikut menonton jadi ketakutan," ujarnya dengan nada sedih. Kejadian ini juga berpotensi mempengaruhi izin dan penyelenggaraan turnamen tarkam di masa depan, mengingat risiko keamanan yang semakin tinggi.

Pelajaran dari tragedi Kanjuruhan yang berulang kali digaungkan tampaknya belum sepenuhnya meresap ke setiap lapisan ekosistem sepak bola Indonesia, dari level profesional hingga akar rumput. Pentingnya komunikasi yang baik antara wasit, pemain, dan ofisial, serta pemahaman akan etika suporter, harus terus digalakkan. Sepak bola adalah gairah, namun gairah itu harus disalurkan secara positif, bukan menjadi pemicu kericuhan yang membahayakan keselamatan banyak pihak. Insiden di Banjarnegara ini adalah alarm keras bagi kita semua: bahwa di balik gemuruh sorakan dan euforia pertandingan, tersimpan potensi bahaya yang harus diantisipasi dan dikelola dengan sangat serius. Masa depan sepak bola tarkam, yang begitu dicintai masyarakat, akan sangat bergantung pada seberapa baik semua pihak belajar dari setiap insiden, dan berkomitmen untuk menciptakan lingkungan pertandingan yang aman dan kondusif bagi semua.

Viral Final Sepakbola Tarkam di Banjarnegara Ricuh, 3 Polisi Terluka

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *