
Kekalahan memalukan 0-4 dari Paris Saint-Germain (PSG) di semifinal Piala Dunia Antarklub 2025 menjadi alarm keras bagi Real Madrid dan pelatih baru mereka, Xabi Alonso. Insiden tersebut tidak hanya menandai debut yang bencana bagi Alonso, tetapi juga secara terang-terangan menyoroti masalah fundamental dalam keseimbangan tim, terutama terkait minimnya kontribusi defensif dari dua megabintang andalan mereka, Kylian Mbappe dan Vinicius Junior. Masalah ini kini menjadi sorotan tajam, dan Alonso, yang baru saja kembali ke Santiago Bernabeu setelah sukses gemilang bersama Bayer Leverkusen, didukung penuh untuk membereskan persoalan tersebut, bahkan jika itu berarti harus mengambil keputusan berani terhadap para pemain berlabel superstar.
Kembalinya Xabi Alonso ke Real Madrid sebagai pelatih kepala adalah salah satu kisah yang paling dinanti dalam sepak bola Eropa. Mantan gelandang legendaris Spanyol ini, yang pernah menjadi pilar tak tergantikan di lini tengah Los Blancos selama lima musim (2009-2014), tiba dengan reputasi yang menjulang tinggi berkat pencapaiannya bersama Bayer Leverkusen. Di bawah asuhannya, Leverkusen bertransformasi dari tim papan tengah menjadi kekuatan dominan di Bundesliga, bahkan sempat mencatatkan rekor tak terkalahkan yang fantastis dan meraih gelar liga secara dramatis. Filosofi permainannya yang menekankan pada organisasi, intensitas tinggi, dan kemampuan transisi cepat, telah memukau banyak pengamat. Kedatangan Alonso diharapkan dapat mengembalikan Los Blancos ke tangga juara setelah musim 2024/2025 yang relatif mengecewakan tanpa gelar utama. Namun, lebih dari sekadar perburuan trofi, tantangan terbesar yang langsung terbentang di hadapannya adalah bagaimana memadukan dua talenta ofensif paling eksplosif di dunia, Kylian Mbappe dan Vinicius Junior, ke dalam sistemnya.
Turnamen debut Alonso di Piala Dunia Antarklub 2025 seharusnya menjadi ajang perkenalan yang mulus, namun berakhir dengan bencana yang memilukan. Real Madrid, yang biasanya tampil dominan di kompetisi seperti ini, justru tersingkir secara menyakitkan di semifinal setelah dibantai PSG dengan skor telak 0-4. Kekalahan tersebut bukan hanya soal skor, tetapi juga bagaimana cara kekalahan itu terjadi. Madrid terlihat kewalahan menghadapi serangan balik cepat PSG, dengan celah besar yang terekspos di sisi sayap pertahanan mereka. Yang paling mencolok adalah minimnya kontribusi defensif dari Mbappe dan Vinicius, dua pemain yang secara alami cenderung fokus pada aspek menyerang.
Kylian Mbappe, yang baru saja bergabung dengan Real Madrid dengan ekspektasi setinggi langit, dan Vinicius Junior, yang telah menjadi ikon klub dalam beberapa musim terakhir, adalah dua penyerang sayap dengan kecepatan, dribel, dan insting mencetak gol yang luar biasa. Kombinasi mereka di atas kertas menjanjikan mimpi buruk bagi setiap lini pertahanan lawan. Namun, di bawah filosofi Alonso, yang sangat menekankan pada pertahanan kolektif dan kerja keras dari setiap individu di lapangan, peran mereka tidak bisa lagi hanya terbatas pada serangan. Alonso dikenal sebagai pelatih yang menuntut setiap pemainnya untuk terlibat aktif dalam fase bertahan, mulai dari lini depan melakukan pressing hingga lini belakang menjaga kerapatan. Dalam pertandingan melawan PSG, terlihat jelas bahwa Mbappe dan Vinicius kerap enggan turun membantu pertahanan, meninggalkan celah besar yang dieksploitasi oleh lawan. Hal ini bertentangan langsung dengan keinginan Alonso yang menginginkan setiap pemain, terlepas dari status bintangnya, untuk menjadi bagian dari unit pertahanan yang solid.
Mantan pemain bintang Real Madrid, Gareth Bale, yang juga pernah mengalami tekanan luar biasa sebagai salah satu "Galacticos" di Santiago Bernabeu, memberikan dukungannya kepada Xabi Alonso. Bale percaya bahwa Alonso akan membuat serangkaian perubahan drastis untuk menegakkan filosofinya. Bale, yang juga dikenal karena kecepatannya dan sesekali dikritik karena kurangnya kontribusi defensifnya sendiri selama di Madrid, memahami betul dinamika klub dan ekspektasi yang ada. "Kurasa jika Anda melihat apa yang sudah dia lakukan di Leverkusen, ya, dan sekarang dia bisa dibilang punya pemain-pemain yang lebih baik untuk diajak bekerja dan aku membayangkan anggaran belanja pemain yang lebih besar," kata Bale kepada ESPNFC TV. Pendapat Bale ini menyoroti bahwa Alonso memiliki modal besar—baik dari segi kualitas pemain maupun dukungan finansial—untuk membangun tim sesuai keinginannya.
Lebih lanjut, Bale menyoroti aspek krusial dari kepemimpinan Alonso: "Jadi, kurasa Xabi mendapatkan rasa hormat dari para pemainnya dan mereka akan bermain untuk dia. Jadi aku menduga ada perubahan-perubahan besar, dan aku berekspektasi mereka untuk bermain seperti yang dia mau dan jika tidak, kurasa Xabi tidak takut untuk menepikan siapapun." Pernyataan Bale ini sangat penting. Ini menunjukkan bahwa Alonso, dengan karisma dan otoritas yang dibangunnya sebagai pemain top dan pelatih sukses, akan menuntut kepatuhan taktis dari semua pemainnya. Ini termasuk tidak segan untuk memarkir pemain-pemain yang tak menerapkan ide-idenya di atas lapangan, sekalipun itu adalah Kylian Mbappe atau Vinicius Junior, dua aset paling berharga Real Madrid. Ancaman "bench" bagi superstar adalah alat manajemen yang kuat, namun juga berisiko tinggi.
Sejarah Real Madrid dipenuhi dengan cerita tentang upaya menyeimbangkan individualisme bintang dengan kebutuhan kolektif tim. Era "Galacticos" awal 2000-an, dengan pemain seperti Zinedine Zidane, Luis Figo, Ronaldo Nazario, dan David Beckham, adalah contoh klasik. Pelatih seperti Vicente del Bosque berhasil meramu tim yang sukses memenangkan Liga Champions, namun setelah kepergiannya, pelatih lain seperti Carlos Queiroz kesulitan menjaga keseimbangan tersebut, terutama ketika tekanan untuk memainkan semua bintang menjadi terlalu besar. Madrid selalu dikenal sebagai klub yang memprioritaskan permainan menyerang yang indah dan menghibur, namun kesuksesan jangka panjang selalu membutuhkan fondasi pertahanan yang kuat. Alonso, dengan latar belakangnya sebagai gelandang bertahan yang cerdas dan pelatih yang disiplin, diharapkan membawa kembali keseimbangan itu.
Tantangan bagi Alonso bukan hanya sekadar membuat Mbappe dan Vinicius mau bertahan, tetapi juga bagaimana mengintegrasikan mereka ke dalam sistem yang lebih besar tanpa mengurangi potensi ofensif mereka yang luar biasa. Ini mungkin melibatkan penyesuaian formasi, peran spesifik, atau bahkan sesi video intensif untuk menunjukkan pentingnya posisi dan kerja tanpa bola. Manajemen manusia akan menjadi kunci. Alonso harus bisa meyakinkan para bintang ini bahwa kontribusi defensif mereka bukan hanya untuk tim, tetapi juga untuk efektivitas serangan mereka sendiri, karena tim yang solid akan lebih mudah mendapatkan bola kembali dan melancarkan serangan.
Perjalanan Alonso di Real Madrid baru saja dimulai, dan insiden di Piala Dunia Antarklub 2025 adalah ujian pertamanya yang sesungguhnya. Tekanan untuk meraih gelar dan memadukan talenta-talenta luar biasa seperti Mbappe dan Vinicius sangatlah besar. Namun, dengan dukungan dari manajemen klub, anggaran belanja yang besar, dan reputasi sebagai pelatih yang tak kenal kompromi dalam filosofi permainannya, Alonso memiliki semua modal untuk sukses. Masa depan Real Madrid, dan bagaimana dua bintang terbesarnya beradaptasi dengan tuntutan sistem Xabi Alonso, akan menjadi salah satu cerita paling menarik untuk disaksikan di dunia sepak bola. Keberanian Alonso untuk menepikan pemain sekalipun itu seorang superstar, jika memang diperlukan, akan menjadi penanda apakah ia bisa mengubah Real Madrid menjadi tim yang lebih seimbang dan tangguh, atau justru terjebak dalam dilema "Galacticos" yang sudah sering terjadi sebelumnya.
